Semarang, CyberNews. Buku elektronik kini dipandang menjadi tren potif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas masyarakat. Berkembangnya buku elektronik tak lepas dari perkembangan teknologi sehingga internet kini tak jadi perangkat istimewa lagi.
"Dengan internet, mahasiswa dan dosen bisa mengakses buku elektronik secara gratis dan tak perlu susah mencari buku di beberapa toko buku. Tinggal mengklik suatu alamat website, kita bisa mendapat pengetahuan luas dalam buku elektronik, apalagi buku ini bisa dikirimkan lewat file digital secara langsung ke banyak orang," kata Prof Dr Abu Suud, mantan Rektor Unimus dalam seminar nasional "Eksistensi Buku dan Ebook di Era Globalisasi" di aula gedung Muhammadiyah Semarang.
Guru besar Emeritus Unnes sekaligus kolumnis rubrik Gayeng Semarang Suara Merdeka CyberNews itu menuturkan, dengan maraknya buku elektronik, seharusnya wawasan dan rasionalitas masyarakat semakin berkembang. "Namun, rasionalitas itu harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, norma yang berlaku, dan ajaran agama. Kalau tidak, akan timbul persepsi yang salah kaprah terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, seperti munculnya orang-orang liberal dan teroris," ujar Prof Abu.
Sementara Dosen Ilmu Perpustakaan Undip, Bahrul Ulumi mengatakan, buku elektronik memiliki kelebihan yang tak dimiliki buku cetak, yakni mudah dibawa dan diduplikasi, ukuran fisik relatif lebih kecil, dan pencarian lebih mudah. Meki demikian, Bahrul memandang, perlu ada perbaikan pada sistem dan konten buku elektronik. Sebab, kedepan diprediksi buku elektronik akan lebih menonjol ketimbang buku versi cetak.
"Jangan sampai kita ketinggalan dengan bangsa lain," kata dia.
Lalu, kapan nasib buku elektronik bisa lebih dominan ketimbang buku cetak? Menurut Bahrul, buku elektronik akan menggantikan buku cetak manakala produksi buku elektronik murah dan kemudahan penggunaan buku elektronik lebih baik.
"Di Indonesia, penulis buku elektronik masih sangat jarang dan baru Kemendiknas yang berani secara massal membuatnya dalam buku elektronik sekolah (BSE), karena masalah hak cipta dan pemberian royalti belum diperhatikan. Padahal, dalam membuat buku elektronik, penulis juga butuh upaya yang sama sepeti penulis buku cetak," ujarnya.
available at http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/10/03/6677703 Oktober 2010 | 22:46 wib
Selasa, 26 Oktober 2010
Senin, 11 Oktober 2010
Profesi VS Pekerjaan
bahrul ulumi
“Sule... sule.... sule....”
Kata sule sangat akrab di telinga saya sebab setiap hari penjaja sule selalu lewat depan rumah. Sule di sini bukanlah nama seorang komedian terkenal yang ada di TV, tapi merupakan akronim dari susu kedelai. Penjaja sule saat ini tergolong kreatif. Rasa sule tidak terjebak dengan rasa kedelai saja, tapi sekarang sudah bervareasi. Ada rasa melon, strowberry atau yang lainnya. Kalaupun warnanya putih, rasa kedelainya tidak dominan.
Sebenarnya yang menarik perhatian saya bukan pada rasa sule, tapi pada penjaja sulenya. Dulu, pekerjaan penjaja sule adalah sebagai karyawan pabrik tekstil terkenal yang terletak di Kaliwungu. Namun karena pemilik modal bangkrut, maka penjaja sule ganti pekerjaan. Kalau dihitung, barangkali penjaja sule sudah berganti pekerjaan beberapa kali, dari menjadi pegawai pabrik seleb (gilingan padi) sampai sebagai asisten ternak bebek. Sering bergantinya pekerjaan tersebut menandakan bahwa penjual sule bukan tipe orang yang mudah menyerah terhadap suatu keadaan. Dalam perhatian saya, dia tipe pekerja keras dan tidak terlalu mikir gengsi dirinya. Yang penting baginya punya kerjaan yang menghasilkan uang secara halal.
Seperti biasanya, pagi ini dia menjajakan sulenya lewat depan rumah. Dia sudah melewati jalan yang benar sebab anak saya termasuk penggemar susu kedelai racikannya, di samping tetangga kanan kiri menyukai susu kedelainya. Ketika dia mengambilkan sulenya ada seseorang bertanya padanya:
“Ji, ganti profesi ni”
Penjaja sulepun secara tangkas menjawab
“Ya, untuk ngubah nasib”
JI merupakan panggilan singkat Haji. Dari sini ketahuan kalau penjaja sule adalah seseorang yang bergelar haji. Memang dia sudah berangkat haji pada tahun 2006. Penjaja sule memang tergolong beruntung sebab dia mendapatkan ongkos dari orang tuanya untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima.
Dari perbincangan singkat di atas ada istilah yang menggelitik, yaitu kata profesi untuk menanyakan pekerjaan penjaja sule. Kata profesi ini sebenarnya tidak pas bila dilekatkan dengan pekerjaan penjaja sule. Seseorang tidak perlu sekolah pada jurusan tertentu untuk menjajakan sule. Marketing bisa dipelajari secara akademis, tapi kalau sekedar berjualan sule keliling kampung tidak perlu untuk memasuki kuliah pada jurusan tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan dsb) tertentu. Sedang pekerjaan adalah barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dsb.).
Singkat kata, menjual sule bukanlah suatu profesi tapi pekerjaan. Jadi bila ada seseorang menanyakan profesi pada penjaja sule rasanya tidak tepat. Sesuatu dikatakan profesi manakala dilakukan dengan berlatar bekalang pendidikan terntentu, yang tentu membutuhkan keahlian khas. Penjaja sule tidak memerlukan keahlian yang khas. Hal ini sangat berbeda dengan profesi pengacara umpamanya. Seseorang boleh membela orang lain karena suatu kasus tertentu. Tapi pembela kasus tersebut tidak mesti disebut sebagai pengacara. Pengacara berlatang belakang pendidikan Sarjana Hukum. Jadi dia berlatar belakang pendidikan tertentu dalam hal ini adalah kajian hukum, dan dia harus bergelar sarjana hukum.
Katagori profesipun tidak terbatas pada kelulusan kesarjanaan. Sulistyo basuki (2009) mensinyalir ada 3 ciri yang mendasari sebuah profesi, yaitu 1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimuali ketika seseorang selesai memperoleh gelar kesarjanaannya. 2. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahlian yang rata-rata tidak diketahui oleh orang awam. 3. Tenaga terlatih memberikan jasa pada masyarakat. Profesi berorientasi memberikan jasa pada kepentingan umum.
Di samping ketiga ciri di atas masih ada 3 ciri tambahan lainnya, yaitu 1. Adanya proses lisensi atau sertifikat. 2. Adanya organisasi profesi, dan 3. Otonom dalam pekerjaanya.
Masyarakat pada umumnya mencampuradukkan penggunaan istilah profesi dan pekerjaan, termasuk lembaga pemerintahan. Sebagai ilustrasi, profesi/pekerjaan dalam kartu tanda penduduk (KTP) hanya ada beberapa saja, yaitu swasta, pegawai negeri sipil, polisi, TNI, dan mungkin dokter. KTP yang di dalamnya tertera tanda tangan camat ternyata hanya mengenal profesi tersebut di atas.
Dari beberapa profesi di atas, mungkin yang agak janggal adalah pegawai negeri sipil dan swasta. Bisa jadi seseorang dimasukkan sebagai pegawai negeri sipil karena mengajar di perguruan tinggi negeri, sementara seorang lainnya dimasukkan swasta sebab dia mengajar di perguruan tinggi swasta. Mereka dibedakan menjadi PNS dan swasta, padalah mereka sama-sama sebagai pengajar perguruan tinggi.
Pemilihan istilah yang tidak tepat kadang membuat telinga kita tidak nyaman mendengarnya.
Jadi, tidak usah kaget kalau nanti ada istilah “berprofesi sebagai PSK” atupun “pekerjaanya sebagai dokter” muncul di media massa, sebab memang kedua istilah tersebut digunakan secara tidak tepat.
Bibliografi
Profesi tersedia di http://kamusbahasaindonesia.org/profesi (12-10-10)
Sulistyo-Basuki (2009) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
“Sule... sule.... sule....”
Kata sule sangat akrab di telinga saya sebab setiap hari penjaja sule selalu lewat depan rumah. Sule di sini bukanlah nama seorang komedian terkenal yang ada di TV, tapi merupakan akronim dari susu kedelai. Penjaja sule saat ini tergolong kreatif. Rasa sule tidak terjebak dengan rasa kedelai saja, tapi sekarang sudah bervareasi. Ada rasa melon, strowberry atau yang lainnya. Kalaupun warnanya putih, rasa kedelainya tidak dominan.
Sebenarnya yang menarik perhatian saya bukan pada rasa sule, tapi pada penjaja sulenya. Dulu, pekerjaan penjaja sule adalah sebagai karyawan pabrik tekstil terkenal yang terletak di Kaliwungu. Namun karena pemilik modal bangkrut, maka penjaja sule ganti pekerjaan. Kalau dihitung, barangkali penjaja sule sudah berganti pekerjaan beberapa kali, dari menjadi pegawai pabrik seleb (gilingan padi) sampai sebagai asisten ternak bebek. Sering bergantinya pekerjaan tersebut menandakan bahwa penjual sule bukan tipe orang yang mudah menyerah terhadap suatu keadaan. Dalam perhatian saya, dia tipe pekerja keras dan tidak terlalu mikir gengsi dirinya. Yang penting baginya punya kerjaan yang menghasilkan uang secara halal.
Seperti biasanya, pagi ini dia menjajakan sulenya lewat depan rumah. Dia sudah melewati jalan yang benar sebab anak saya termasuk penggemar susu kedelai racikannya, di samping tetangga kanan kiri menyukai susu kedelainya. Ketika dia mengambilkan sulenya ada seseorang bertanya padanya:
“Ji, ganti profesi ni”
Penjaja sulepun secara tangkas menjawab
“Ya, untuk ngubah nasib”
JI merupakan panggilan singkat Haji. Dari sini ketahuan kalau penjaja sule adalah seseorang yang bergelar haji. Memang dia sudah berangkat haji pada tahun 2006. Penjaja sule memang tergolong beruntung sebab dia mendapatkan ongkos dari orang tuanya untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima.
Dari perbincangan singkat di atas ada istilah yang menggelitik, yaitu kata profesi untuk menanyakan pekerjaan penjaja sule. Kata profesi ini sebenarnya tidak pas bila dilekatkan dengan pekerjaan penjaja sule. Seseorang tidak perlu sekolah pada jurusan tertentu untuk menjajakan sule. Marketing bisa dipelajari secara akademis, tapi kalau sekedar berjualan sule keliling kampung tidak perlu untuk memasuki kuliah pada jurusan tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan dsb) tertentu. Sedang pekerjaan adalah barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dsb.).
Singkat kata, menjual sule bukanlah suatu profesi tapi pekerjaan. Jadi bila ada seseorang menanyakan profesi pada penjaja sule rasanya tidak tepat. Sesuatu dikatakan profesi manakala dilakukan dengan berlatar bekalang pendidikan terntentu, yang tentu membutuhkan keahlian khas. Penjaja sule tidak memerlukan keahlian yang khas. Hal ini sangat berbeda dengan profesi pengacara umpamanya. Seseorang boleh membela orang lain karena suatu kasus tertentu. Tapi pembela kasus tersebut tidak mesti disebut sebagai pengacara. Pengacara berlatang belakang pendidikan Sarjana Hukum. Jadi dia berlatar belakang pendidikan tertentu dalam hal ini adalah kajian hukum, dan dia harus bergelar sarjana hukum.
Katagori profesipun tidak terbatas pada kelulusan kesarjanaan. Sulistyo basuki (2009) mensinyalir ada 3 ciri yang mendasari sebuah profesi, yaitu 1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimuali ketika seseorang selesai memperoleh gelar kesarjanaannya. 2. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahlian yang rata-rata tidak diketahui oleh orang awam. 3. Tenaga terlatih memberikan jasa pada masyarakat. Profesi berorientasi memberikan jasa pada kepentingan umum.
Di samping ketiga ciri di atas masih ada 3 ciri tambahan lainnya, yaitu 1. Adanya proses lisensi atau sertifikat. 2. Adanya organisasi profesi, dan 3. Otonom dalam pekerjaanya.
Masyarakat pada umumnya mencampuradukkan penggunaan istilah profesi dan pekerjaan, termasuk lembaga pemerintahan. Sebagai ilustrasi, profesi/pekerjaan dalam kartu tanda penduduk (KTP) hanya ada beberapa saja, yaitu swasta, pegawai negeri sipil, polisi, TNI, dan mungkin dokter. KTP yang di dalamnya tertera tanda tangan camat ternyata hanya mengenal profesi tersebut di atas.
Dari beberapa profesi di atas, mungkin yang agak janggal adalah pegawai negeri sipil dan swasta. Bisa jadi seseorang dimasukkan sebagai pegawai negeri sipil karena mengajar di perguruan tinggi negeri, sementara seorang lainnya dimasukkan swasta sebab dia mengajar di perguruan tinggi swasta. Mereka dibedakan menjadi PNS dan swasta, padalah mereka sama-sama sebagai pengajar perguruan tinggi.
Pemilihan istilah yang tidak tepat kadang membuat telinga kita tidak nyaman mendengarnya.
Jadi, tidak usah kaget kalau nanti ada istilah “berprofesi sebagai PSK” atupun “pekerjaanya sebagai dokter” muncul di media massa, sebab memang kedua istilah tersebut digunakan secara tidak tepat.
Bibliografi
Profesi tersedia di http://kamusbahasaindonesia.org/profesi (12-10-10)
Sulistyo-Basuki (2009) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Selasa, 31 Agustus 2010
Toko Buku dan Perpustakaan: sebuah analogi
bahrul ulumi
Toko buku merupakan bangunan rumah atau ruang tempat penjualan buku. Dalam perkembangannya toko buku tidak hanya menjual buku saja, tapi juga menjual pernak-pernik terkait dengan buku atau barang-barang yang dibutuhkan oleh dunia akademik. Tidak mengherankan bila toko buku menjual tas, alat-alat tulis, mesin penghitung, desktop komputer dan sebagainya. Bahkan saat ini, toko buku juga menjual barang-barang yang tidak terkait dengan buku itu sendiri atau barang-barang terkait dengan kegiatan akademik lainnya seperti alat-alat musik dan alat-alat olah raga. Tidak jarang mereka juga menjual audio visual untuk keperluan hiburan, bukan pendidikan.
Tentu tak ada masalah dan juga tidak ada larangan bila toko buku mengembangkan jasanya dengan menjual barang-barang lainnya di luar buku. Bila menjual barang-barang tersebut mengungtungkan bagi toko buku, kenapa tidak menjualnya? Kalau perlu, toko buku berubah menjadi toko lainnyapun tidak mengapa sehingga buku tidak menjadi ujung tombak item penjualan, tapi merupakan salah satu bagian dari penjualan toko tersebut.
Dalam penataanya, toko buku punya cara yang khas. Penataan buku tidak didasarkan pada kesamaan kajian ilmu yang ada dalam isi buku (subyek buku) secara konsisten. Penataan didasarkan pada selera toko buku yang bersangkutan, bukan pada suatu kaidah tertentu. Kebijakan dalam penataan antara satu toko buku yang satu dengan yang lainnya juga berlainan. Toko buku tidak terikat oleh suatu kaedah apapun kecuali kaedah yang telah dia ciptakan sendiri dan kaedah tersebut tidak mengikat toko buku lain di luar kelompok usahanya.
Sebagai ilustrasi, banyak buku yang dijajarkan berdasarkan pada subyek yang sama seperti buku-buku berisi ilmu hukum dijajarkan dalam barisan rak yang sama, atau kalaupun tidak dalam satu rak, tapi buku dijajarkan secara berdekatan. Namun demikian, tidak jarang buku-buku di toko buku dijajarkan karena kebaruan bukan karena subyeknya.
Toko buku biasanya menjajarkan koleksi terbaru di depan pintu masuk pengunjung. Kebijakan ini dimaksudkan agar pengunjung langsung bisa melihat koleksi terbaru yang dimiliki toko buku tersebut. Cara toko buku menarik pembeli tidak hanya menjajarkan koleksi terbarunya di depan pintu masuk. Buku-buku edisi diskon juga sering dijajarkan di depan pintu masuk. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung bahwa dengan dana yang sedikit pengunjung bisa mendapatkan buku bermutu.
Lalu, apakah perpustakaan juga melakukan seperti yang telah dipraktikan oleh toko buku?
Perpustakaan dalam bahasa Inggris adalah library yang berasal dari liber (Latin), bibliotheca (Romawi), bibliotehque (Perancis) bermakna buku. Menurut ODLIS (Online Dictionary for Library and Information Science) perpustakaan adalah koleksi atau sekelompk koleksi dari buku, dan atau bahan tercetak maupun noncetak yang diorganisasi dan dirawat untuk keperluan bacaan, konsultasi, studi, riset dsb. Perpustakaan dikelola untuk memfasilitasi akses pemustaka, dikelola oleh pustakawan atau pegawai terlatih lainnya guna memenuhi keperluan pemustaka.
Ketika menyebut toko buku, sebagian orang pasti beranggapan bahwa toko buku hanya menjual buku saja. Sama halnya bila menyebut perpustakaan, sebagian orang akan membayangkan bahwa perpustakaan adalah tumpukan buku untuk dipinjamkan. Anggapan orang tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Bila di toko buku yang dijajarkan adalah buku, maka bukupun dijajarkan di perpustakaan. Namun demikian, walau keduanya sebagai tempat buku, namun sangat terbuka lebar bagi keduanya untuk menjual atau melayankan sesuatu yang bukan buku.
Kalau melihat isitilah yang melekat pada keduanya, maka keduanya sama-sama berarti buku. Dalam “toko buku” jelas sekali terdapat kata buku. Demikian halnya dalam “perpustakaan” terdapat kata pustaka yang berarti buku. Dalam Bahasa Inggris, padanan perpustakaan adalah library. Library berasal dari kata liber yang berarti buku. Bila ada kata yang lebih tepat untuk mewakili kata “buku” barangkali adalah dokumen. Dokumen dimaksudkan untuk menyebut media apa saja yang bisa digunakan untuk menyimpan informasi. Buku disebut dokumen karena dalam buku tersebut menyimpan informasi. Majalah, ebook, rekaman suara, audio visual juga disebut dokumen sebab perkakas tersebut digunakan untuk menyimpan informasi. Kendati demikian, biarpun isitlah dokumen lebih tepat, namun sebagian orang merasa tidak nyaman menyebut dokumen sebab dokumen sering dipahami sebagai media penyimpan informasi rahasia.
Toko buku tidak mensyaratkan pengunjungnya untuk membeli buku atau barang lainnya yang tersedia dalam toko buku tersebut. Pengunjung bebas untuk membeli buku serta bebas untuk tidak membelinya pula. Toko buku membuka peluang bagi pengunjung untuk melakukan window shopping dimana pengunjung boleh melihat-lihat buku, membaca buku sepuasanya (tentu tanpa fasilitas tempat duduk) atau bahkan hanya sekedar mengecek harga. Cara ini sengaja diambil oleh toko buku tersebut agar pengunjung tidak menyelesaikan bacaannya kecuali setelah mereka membeli terlebih dulu.
Dalam pemanfaatan buku, perpustakaan sangat mengakomodasi kepentingan pengunjung maupun pengguna. Maka tidak mengherankan perpustakaan menyediakan tempat duduk dengan meja besar agar pemakai bisa membuka-buka bukunya dengan nyaman. Perpustakaan juga masih memberi meja khusus (meja karel) agar pengunjung merasa lebih nyaman dengan menyendiri tanpa diganggu oleh pengunjung perpustakaan lainnya.
Toko buku & perpustakaan (Perbandingan)
Toko buku tidak perlu merancang suatu sistem apapun setelah penjualan. Toko buku hanya berusaha bagaimana cara menjual buku sebanyak-banyaknya tanpa merisaukan buku yang sudah dibeli oleh pelanggannya. Hal ini sangat berbeda dengan perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya berusaha bagaimana perpustakaan dikunjungi oleh banyak penggunanya, tapi juga berusaha bagaimana caranya pemustaka memanfaatkan koleksi secara maksimal.
Layanan di perpustakaan menuntut perpustakaan agar bisa menciptakan suatu sistem yang memungkinkan pengunjung browsing dan meminjam koleksi. Layanan inilah yang secara prinsip berbeda dengan toko buku. Toko buku hanya menjual sementara perpustakaan meminjamkan koleksi untuk kemudian dalam waktu tertentu harus dikembalikan.
Untuk memungkinkan pemakai (pemustaka) bisa melakukan browsing dan meminjam koleksi atau buku, maka perpustakaan harus memberi tanda tertentu berupa ciri-ciri fisik dan isi. Ciri fisik adalah ciri yang berasal dari data fisik buku seperti siapa penulis buku tersebut, apa penerbitnya, dimana diterbitkan, kapan diterbitkan, berapa tebal halaman, apa nomor ISBNnya.
Ciri isi adalah subyek atau kajian suatu buku. Subyek ini diwakili dengan suatu notasi yang berasal dari suatu bagan klasifikasi tertentu, misalnya Dewey Decimal Classification, Universal Classification dan sebagainya. Disamping notasi sebagai wakil isi buku, ada wakil buku yang diekspresikan dengan kata-kata verbal. Kata-kata tersebut berasal dari suatu daftar subyek yang di Indonesia dikenal dengan Daftar Tajuk Subyek Indonesia.
Ciri-ciri yang diungkapkan di atas merupakan isi dari suatu katalog perpustakaan. Jadi, katalog merupakan wakil buku/dokumen. Berdasar katalog tersebut, pemakai bisa melihat judul-judul buku apa saja yang ada di perpustakaan, pengarang-pengarang mana yang karyanya tersimpan dalam perpustakaan, karya apa saja yang tersimpan dalam perpustakaan.
Katalog diciptakan untuk memudahkan temu kembali bagi pemakai perpustakan, di samping jajaran buku di rak yang justru sering menjadi sarana yang paling banyak dipakai oleh pemakai perpustakaan dalam temu kembali informasi.
Pembuatan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas merupakan cara agar setiap buku memiliki ciri yang khas yang berbeda dengan lainnya biarpun dalam judul yang sama.
Ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan di toko buku dan perpustakaan identik. Toko buku membutuhkan tenaga yang terhitung banyak karena harus melayani pengunjung, dari cleaning service, waiter/waitress, kasir sampai manajer. Bahkan dalam pemandangan sehari-hari waiter/waitress, dalam jumlah banyak, harus selalu sigap melayani pertanyaan dan pembelian disamping harus selalu menertibkan jajaran koleksi dalam raknya.
Perpustakaan juga melakukan hal yang sama dengan toko buku. Perpustakaan harus memiliki staf cleaning service untuk membersihkan ruangan, staf khusus yang mengembalikan dan menjajarkannya dalam rak agar terjaga kerapiannya. Dan tentu pekerjaan di perpustakaan lebih banyak dari toko buku karena pembeli di toko buku tidak perlu mengembalikan buku tersebut sedang peminjam perpustakaan harus memproses peminjaman dan pengembalian buku-buku yang sudah disirkulasikan.
Toko buku dan perpustakaan memerlukan sentuhan profesional untuk menjadikan keduanya digandrungi oleh konsumennya dengan menyediakan sumber informasi bermanfaat terkini. Barangkali, ada sebagian kita yang berpikir bahwa toko buku lebih hebat karena mereka hanya bisa melihat keuntungan finansial secara kasat mata, sementara keuntungan perpustakaan tidak bisa dilihat secara kasad mata. Seseorang yang terinspirasi karena membaca buku di perpustakaan, atau seseorang menjadi hebat karena fasilitas perpustakaan tidak pernah diperhitungkan.
Cara pandang ini, tentu, akan berakibat bahwa perpustakaan hanya urusan pengelolanya, bukan urusan orang banyak biarpun kemanfaatannya bisa dirasakan orang banyak.
Toko buku merupakan bangunan rumah atau ruang tempat penjualan buku. Dalam perkembangannya toko buku tidak hanya menjual buku saja, tapi juga menjual pernak-pernik terkait dengan buku atau barang-barang yang dibutuhkan oleh dunia akademik. Tidak mengherankan bila toko buku menjual tas, alat-alat tulis, mesin penghitung, desktop komputer dan sebagainya. Bahkan saat ini, toko buku juga menjual barang-barang yang tidak terkait dengan buku itu sendiri atau barang-barang terkait dengan kegiatan akademik lainnya seperti alat-alat musik dan alat-alat olah raga. Tidak jarang mereka juga menjual audio visual untuk keperluan hiburan, bukan pendidikan.
Tentu tak ada masalah dan juga tidak ada larangan bila toko buku mengembangkan jasanya dengan menjual barang-barang lainnya di luar buku. Bila menjual barang-barang tersebut mengungtungkan bagi toko buku, kenapa tidak menjualnya? Kalau perlu, toko buku berubah menjadi toko lainnyapun tidak mengapa sehingga buku tidak menjadi ujung tombak item penjualan, tapi merupakan salah satu bagian dari penjualan toko tersebut.
Dalam penataanya, toko buku punya cara yang khas. Penataan buku tidak didasarkan pada kesamaan kajian ilmu yang ada dalam isi buku (subyek buku) secara konsisten. Penataan didasarkan pada selera toko buku yang bersangkutan, bukan pada suatu kaidah tertentu. Kebijakan dalam penataan antara satu toko buku yang satu dengan yang lainnya juga berlainan. Toko buku tidak terikat oleh suatu kaedah apapun kecuali kaedah yang telah dia ciptakan sendiri dan kaedah tersebut tidak mengikat toko buku lain di luar kelompok usahanya.
Sebagai ilustrasi, banyak buku yang dijajarkan berdasarkan pada subyek yang sama seperti buku-buku berisi ilmu hukum dijajarkan dalam barisan rak yang sama, atau kalaupun tidak dalam satu rak, tapi buku dijajarkan secara berdekatan. Namun demikian, tidak jarang buku-buku di toko buku dijajarkan karena kebaruan bukan karena subyeknya.
Toko buku biasanya menjajarkan koleksi terbaru di depan pintu masuk pengunjung. Kebijakan ini dimaksudkan agar pengunjung langsung bisa melihat koleksi terbaru yang dimiliki toko buku tersebut. Cara toko buku menarik pembeli tidak hanya menjajarkan koleksi terbarunya di depan pintu masuk. Buku-buku edisi diskon juga sering dijajarkan di depan pintu masuk. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung bahwa dengan dana yang sedikit pengunjung bisa mendapatkan buku bermutu.
Lalu, apakah perpustakaan juga melakukan seperti yang telah dipraktikan oleh toko buku?
Perpustakaan dalam bahasa Inggris adalah library yang berasal dari liber (Latin), bibliotheca (Romawi), bibliotehque (Perancis) bermakna buku. Menurut ODLIS (Online Dictionary for Library and Information Science) perpustakaan adalah koleksi atau sekelompk koleksi dari buku, dan atau bahan tercetak maupun noncetak yang diorganisasi dan dirawat untuk keperluan bacaan, konsultasi, studi, riset dsb. Perpustakaan dikelola untuk memfasilitasi akses pemustaka, dikelola oleh pustakawan atau pegawai terlatih lainnya guna memenuhi keperluan pemustaka.
Ketika menyebut toko buku, sebagian orang pasti beranggapan bahwa toko buku hanya menjual buku saja. Sama halnya bila menyebut perpustakaan, sebagian orang akan membayangkan bahwa perpustakaan adalah tumpukan buku untuk dipinjamkan. Anggapan orang tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Bila di toko buku yang dijajarkan adalah buku, maka bukupun dijajarkan di perpustakaan. Namun demikian, walau keduanya sebagai tempat buku, namun sangat terbuka lebar bagi keduanya untuk menjual atau melayankan sesuatu yang bukan buku.
Kalau melihat isitilah yang melekat pada keduanya, maka keduanya sama-sama berarti buku. Dalam “toko buku” jelas sekali terdapat kata buku. Demikian halnya dalam “perpustakaan” terdapat kata pustaka yang berarti buku. Dalam Bahasa Inggris, padanan perpustakaan adalah library. Library berasal dari kata liber yang berarti buku. Bila ada kata yang lebih tepat untuk mewakili kata “buku” barangkali adalah dokumen. Dokumen dimaksudkan untuk menyebut media apa saja yang bisa digunakan untuk menyimpan informasi. Buku disebut dokumen karena dalam buku tersebut menyimpan informasi. Majalah, ebook, rekaman suara, audio visual juga disebut dokumen sebab perkakas tersebut digunakan untuk menyimpan informasi. Kendati demikian, biarpun isitlah dokumen lebih tepat, namun sebagian orang merasa tidak nyaman menyebut dokumen sebab dokumen sering dipahami sebagai media penyimpan informasi rahasia.
Toko buku tidak mensyaratkan pengunjungnya untuk membeli buku atau barang lainnya yang tersedia dalam toko buku tersebut. Pengunjung bebas untuk membeli buku serta bebas untuk tidak membelinya pula. Toko buku membuka peluang bagi pengunjung untuk melakukan window shopping dimana pengunjung boleh melihat-lihat buku, membaca buku sepuasanya (tentu tanpa fasilitas tempat duduk) atau bahkan hanya sekedar mengecek harga. Cara ini sengaja diambil oleh toko buku tersebut agar pengunjung tidak menyelesaikan bacaannya kecuali setelah mereka membeli terlebih dulu.
Dalam pemanfaatan buku, perpustakaan sangat mengakomodasi kepentingan pengunjung maupun pengguna. Maka tidak mengherankan perpustakaan menyediakan tempat duduk dengan meja besar agar pemakai bisa membuka-buka bukunya dengan nyaman. Perpustakaan juga masih memberi meja khusus (meja karel) agar pengunjung merasa lebih nyaman dengan menyendiri tanpa diganggu oleh pengunjung perpustakaan lainnya.
Toko buku & perpustakaan (Perbandingan)
Toko buku tidak perlu merancang suatu sistem apapun setelah penjualan. Toko buku hanya berusaha bagaimana cara menjual buku sebanyak-banyaknya tanpa merisaukan buku yang sudah dibeli oleh pelanggannya. Hal ini sangat berbeda dengan perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya berusaha bagaimana perpustakaan dikunjungi oleh banyak penggunanya, tapi juga berusaha bagaimana caranya pemustaka memanfaatkan koleksi secara maksimal.
Layanan di perpustakaan menuntut perpustakaan agar bisa menciptakan suatu sistem yang memungkinkan pengunjung browsing dan meminjam koleksi. Layanan inilah yang secara prinsip berbeda dengan toko buku. Toko buku hanya menjual sementara perpustakaan meminjamkan koleksi untuk kemudian dalam waktu tertentu harus dikembalikan.
Untuk memungkinkan pemakai (pemustaka) bisa melakukan browsing dan meminjam koleksi atau buku, maka perpustakaan harus memberi tanda tertentu berupa ciri-ciri fisik dan isi. Ciri fisik adalah ciri yang berasal dari data fisik buku seperti siapa penulis buku tersebut, apa penerbitnya, dimana diterbitkan, kapan diterbitkan, berapa tebal halaman, apa nomor ISBNnya.
Ciri isi adalah subyek atau kajian suatu buku. Subyek ini diwakili dengan suatu notasi yang berasal dari suatu bagan klasifikasi tertentu, misalnya Dewey Decimal Classification, Universal Classification dan sebagainya. Disamping notasi sebagai wakil isi buku, ada wakil buku yang diekspresikan dengan kata-kata verbal. Kata-kata tersebut berasal dari suatu daftar subyek yang di Indonesia dikenal dengan Daftar Tajuk Subyek Indonesia.
Ciri-ciri yang diungkapkan di atas merupakan isi dari suatu katalog perpustakaan. Jadi, katalog merupakan wakil buku/dokumen. Berdasar katalog tersebut, pemakai bisa melihat judul-judul buku apa saja yang ada di perpustakaan, pengarang-pengarang mana yang karyanya tersimpan dalam perpustakaan, karya apa saja yang tersimpan dalam perpustakaan.
Katalog diciptakan untuk memudahkan temu kembali bagi pemakai perpustakan, di samping jajaran buku di rak yang justru sering menjadi sarana yang paling banyak dipakai oleh pemakai perpustakaan dalam temu kembali informasi.
Pembuatan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas merupakan cara agar setiap buku memiliki ciri yang khas yang berbeda dengan lainnya biarpun dalam judul yang sama.
Ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan di toko buku dan perpustakaan identik. Toko buku membutuhkan tenaga yang terhitung banyak karena harus melayani pengunjung, dari cleaning service, waiter/waitress, kasir sampai manajer. Bahkan dalam pemandangan sehari-hari waiter/waitress, dalam jumlah banyak, harus selalu sigap melayani pertanyaan dan pembelian disamping harus selalu menertibkan jajaran koleksi dalam raknya.
Perpustakaan juga melakukan hal yang sama dengan toko buku. Perpustakaan harus memiliki staf cleaning service untuk membersihkan ruangan, staf khusus yang mengembalikan dan menjajarkannya dalam rak agar terjaga kerapiannya. Dan tentu pekerjaan di perpustakaan lebih banyak dari toko buku karena pembeli di toko buku tidak perlu mengembalikan buku tersebut sedang peminjam perpustakaan harus memproses peminjaman dan pengembalian buku-buku yang sudah disirkulasikan.
Toko buku dan perpustakaan memerlukan sentuhan profesional untuk menjadikan keduanya digandrungi oleh konsumennya dengan menyediakan sumber informasi bermanfaat terkini. Barangkali, ada sebagian kita yang berpikir bahwa toko buku lebih hebat karena mereka hanya bisa melihat keuntungan finansial secara kasat mata, sementara keuntungan perpustakaan tidak bisa dilihat secara kasad mata. Seseorang yang terinspirasi karena membaca buku di perpustakaan, atau seseorang menjadi hebat karena fasilitas perpustakaan tidak pernah diperhitungkan.
Cara pandang ini, tentu, akan berakibat bahwa perpustakaan hanya urusan pengelolanya, bukan urusan orang banyak biarpun kemanfaatannya bisa dirasakan orang banyak.
Senin, 31 Mei 2010
Semua tersedia di internet?
Bahrul Ulumi
1.Pengantar
Dalam sebuah percakapan di kios depan rumah, ada teman, sebut saja Suroso memberitahu kepada teman-temannya kalau Manchester United unggul tipis atas Mancester City 1-0. Dia merasa puas karena sudah tahu lebih dulu daripada teman-temannya. Karena curious, akhirnya saya bertanya padanya.
“Darimana Kamu tahu MU (sebutan Manchester United) unggul tipis atas City (Manchester City) ?”
“Dari internet”. Jawab Surosa.
Saya tidak bertanya jauh padanya apa yang dimaksud dengan internet, tapi dia nampaknya sangat bangga bisa menyebut istilah tersebut. Dalam pandangannya, dia menyimpulkan bahwa internet itu alat yang bisa untuk mengetahui apa saja, termasuk bagaimana cara mengetahui skor pertandingan sepak bola sampai untuk mengetahui bumbu sayuran tertentu.
Saya tidak menyalahkan pendapat kawan saya soal internet sebab teknologi ini mampu menyajikan infromasi yang dia butuhkan yaitu skor pertandingan sepakbola dan racikan bumbu untuk masakan tertentu. Saya juga tidak menanyakan padanya apa itu internet. Yang menjadi persoalan apakah benar ekspektasi kawan saya bahwa internet adalah segalanya? dan semua tersedia dalam line internet?
2.Internet bukan segalanya
Internet merupakan kependekan dari interconnected-networking. Menurut Wikipedia (2010) internet adalah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking.
Saat ini, akses internetpun semakin mudah. Awalnya akses hanya bisa dengan Personal Computer, namun sekarang jauh lebih mudah. Internet bisa diakses melalui Handphone (HP) menggunakan fasilitas GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (tanpa kabel) yang memiliki kecepatan koneksi 115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas (grafis dan multimedia). Teknologi GPRS dapat diakses yang mendukung fasilitas tersebut. Pen-setting-an GPRS pada ponsel, tergantung dari operator (Telkomsel, Indosat, XL, 3) yang digunakan. Biaya akses Internet dihitung melalui besarnya kapasitas (per-kilobite) yang didownload.
Melihat peran dan kemudahan dalam memanfaatkan internet pada saat ini, orang akan semakin beranggapan bahwa internet adalah segalanya sebab banyak informasi mengenai banyak hal tersedi adi dalamnya. Tapi bila dikaji lebih jauh, ternyata tidak demikian. Banyak hal juga yang tidak bisa terliput oleh internet. Doran (1995) dan Reuser (2008) mencatat bahwa internet punya keterbatasan dalam menyediakan informasi. Maka mereka menggunakan istilah interNOT untuk membuktikan bahwa teknologi internet bukan segalanya. Selanjutmya Reuser mngemukakan bahwa internet bukanlah internasional, internet tidak mudah, internet tidak hanya google, internet tidak obyektif dan internet bukan tanpa jejak. InterNOT tersebut adalah:
a.Internet tidak identik dengan internasional.
Sebagian orang meyakini bahwa semua informasi berkaitan dengan dunia internasional ada di internet. Internet banyak menyediakan informasi mengenai dunia internasional, tapi tidak berarti segalanya ada di internet. Penggunaan internet di tingkat internasional juga tidak merata sehingga mungkin saja dalam suatu negara tertentu mengenal internet dengan baik, namun di daerah lain tidak mengenal sama sekali. Berikut ini statistik penetrasi internet di belahan dunia : Africa 8.7 %; Asia 20.1%; Eropa 53%; Timur Tengah 28.8%; Amerika Utara 76.2%; Amerika Latin/Karibia 31.9%; Oseania/Australia 60.8%. Total rata-rata sekitar 26.6%. selanjutnya lihat di: http://www.internetworldstats.com/stats.htm
Data di atas menunjukkan bahwa penetrasi internet di dunia internasional tidak sangat besar. Menurut data yang dihimpun oleh World Internet Users and Population Stats pada akhir tahun 2009 penetrasi internet di dunia hanya mencapai 26,6% saja. Data tersebut membuktikan bahwa penyebaran internet tidak merata dan tidak mengalami perkembanganyang sangat besar.
b.Internet tidak mudah
Seseorang boleh saja mengemukakan bahwa internet itu mudah. Alasannya sederhana bahwa hanya dengan meng-click saja akan terbuka semua jendela informasi dunia. Agaknya pendapat ini berlebihan sebab pemanfaatan internet tidak semudah itu. Ketika seseorang searching di internet dia harus sudah memiliki “masalah” untuk ditanyakan pada suatu search engine. Search engine akan membantu pemakainya mencarikan jawaban atas pertanyaan berdasarkan query yang telah dia tulis dalam query box. Lalu hasilnya? Bisa ditebak, bahwa pencarian yang asal-asalan hanya akan mendapatkan perolehan (recall) yang banyak sekali sementara ketelitiannya sangat kecil (precise). Hal ini terjadi karena pemakai tidak tahu strategi pencarian informasi di internet.
Untuk memanfaatkan internet memerlukan strategi agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui strategi tersebut adalah dengan mengikuti training strategi mencari informasi di internet.
c.Internet itu tidak hanya google
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering menggunakan istilah “digoogling” saja, atau “coba tanya sama Om Goolge”. Dua ungkapan di atas menunjukkan bahwa mesin pencari google sangat terkenal di kalangan para netter (sebutan pengguna internet). Setiap kali membuka internet, rata-rata pemakai selalu mengandalkan google. Google memang besar tapi tidak berarti bahwa internet itu ya google. Masih banyak mesin pencari lainnya yang bisa digunakan dalam mencari informasi di internet seperti www.jux2.com, Yahoo!, MSN, AlltheWeb, AltaVista, dan sebagainya, yang kesemuanya punya ciri khas tersendiri dibandingkan dengan mesin pencari google.
Sebenarnya ada banyak mesin pencari di internet yang mempunyai kekhasan tersendiri. Mereka punya kelemahan dan tentu juga keunngulan dibanding mesin pencari lainnya.
d.Internet tidak obyektif
Suatu negara memiliki kebijakan tersendiri terkait dengan internet. Ada yang membuka internet seluas-luasnya untuk rakyatnya, ada juga yang memproteksi informasi tertentu untuk rakyatnya dengan cara memblokir suatu situs tertentu. Biasanya suatu negara akan memblokir suatu situs tertentu karena pertimbangan politik ataupun moral.
Apapun alasannya, baik dari sisi politik maupun moral, negara melarang suatu situs tertentu karenn akawatir kepentingannya terganggu. Dalam perspektif internasional, tentu alasan ini tidak obyektif sebab pemblokiran alamat di internet sangat dikaitkan dengan kepentingan negara masing-masing, tidak dikaitkan dengan kepentingan penggunanya.
e.Internet tidak besar
Sudah menjadi anggapan umum bahwa informasi yang disediakan dalam inetnet sangat besar. Anggapan tersebut benar bila yang dimaksud besar adalah internet selalu menyediakan informasi apa saja yang diminta oleh penggunanya dengan mengesampingkan keusangan ataupun kualitas informasinya. Pengguna bisa saja mencari informasi apa saja dalam internet, lalu perhatikan apakah informasi tersebut adalah informasi terkini? Ternyata internet tidak selalu menghadirkan yang terbaru. Internet menghadirkan informasi yang sudah usang, bahkan selalu menghadirkan informasi yang tidak diminta seklaipun. Hal ini menandakan internet menghadirkan informasi sampah (data smog).
f.Internet bukan tanpa jejak.
Perhatian pengguna internet hanya tertuju apakah informasi yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Mereka tidak berpikir apakah sejarah browsing yang pernah dilakukan meniggalkan jejak atau tidak. Apalagi sebagian besar pemakai internet di Indonesia, mereka tidak peduli terhadap sejarah browsingnya. Sejarah browsing ini nampaknya sangat sepele, namun sebenarnya sangat bermakna bagi pengelola suatu situs atau perusahaan. Adalah sangat mungkin pengelola situs menjual informasi berupa sejarah browsing pada suatu perusahaan. Berdasarkan informasi tersebut suatu perusahaan mengeluarkan kebijakan mengenai produk tertentu yang akan ditawarkan pada masyarakat.
3.Penutup
Ketika membincangkan internet, sebenarnya, sebagian kita hanya membincangkan visible web. Visible web atau surfable web merupakan world wide web yang diindeks oleh mesin pencari. Untuk mencari informasi melalui visible web ini mudah sebab tanpa syarat apapun. Pengguna tinggal menggunakan fasilitas klik saja. Kemudahan dalam meanfaatkan visible web berbanding lurus dengan perolehan informasinya, artinya kemudahan ini seringkali hanya menghasilkan informasi yang kualitasnya perlu dipertanyakan.
Reuser mengemukakan data dan tentang internet, seperti dikemukan di atas, bahwa visible web hanya memberikan sebagian informasi yang ada dalam internet. Untuk mendapatkan informasi yang terkini dan berkualitas, tentu pengguna harus melakukan browsing di invisible web. Informasi yang ada di dalam invisible web jauh lebih banyak daripada yang ada dalam visible web. Menurut studi yang diadakan di University of California, Berkeley tahun 2000 bahwa invisible web menyediakan kira kira 91.000 terabyte data sementara visible web hanya 167 terabyte. (en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web).
Invisible web atau deep web merupakan world wide web yang tidak bisa dijangkau oleh mesin pencari standard pada umumnya. Invisible web menysaratkan bagi pengguna untuk membayar untuk mendapatkan informasi yang ada di dalamnya.
Barangkali, kita sering melupakan invisible web sebab kita sudah merasa terpuaskan dengan menggunakan Yahoo Messenger dan Facebook saja titik.
Bacaan
Internet (2010) tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Internet akses 1 Juni 2010.
Deep web (2010) http://en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web akses 1 Juni 2010.
Surface web (2010) tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Visible_web akses 1 Juni 2010.
Reuser, A.. (2008, January). When InterNET Is InterNOT. Online, 32(1), 32-36. Retrieved April 29, 2010, from ABI/INFORM Global. (Document ID: 1417200761).
Doran, Kirk. (1995, June). The Internot: Helping library patrons understand what the Internet is not (yet). Computers in Libraries, 15(6), 22. Retrieved April 29, 2010, from ProQuest Computing. (Document ID: 6782733).
1.Pengantar
Dalam sebuah percakapan di kios depan rumah, ada teman, sebut saja Suroso memberitahu kepada teman-temannya kalau Manchester United unggul tipis atas Mancester City 1-0. Dia merasa puas karena sudah tahu lebih dulu daripada teman-temannya. Karena curious, akhirnya saya bertanya padanya.
“Darimana Kamu tahu MU (sebutan Manchester United) unggul tipis atas City (Manchester City) ?”
“Dari internet”. Jawab Surosa.
Saya tidak bertanya jauh padanya apa yang dimaksud dengan internet, tapi dia nampaknya sangat bangga bisa menyebut istilah tersebut. Dalam pandangannya, dia menyimpulkan bahwa internet itu alat yang bisa untuk mengetahui apa saja, termasuk bagaimana cara mengetahui skor pertandingan sepak bola sampai untuk mengetahui bumbu sayuran tertentu.
Saya tidak menyalahkan pendapat kawan saya soal internet sebab teknologi ini mampu menyajikan infromasi yang dia butuhkan yaitu skor pertandingan sepakbola dan racikan bumbu untuk masakan tertentu. Saya juga tidak menanyakan padanya apa itu internet. Yang menjadi persoalan apakah benar ekspektasi kawan saya bahwa internet adalah segalanya? dan semua tersedia dalam line internet?
2.Internet bukan segalanya
Internet merupakan kependekan dari interconnected-networking. Menurut Wikipedia (2010) internet adalah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking.
Saat ini, akses internetpun semakin mudah. Awalnya akses hanya bisa dengan Personal Computer, namun sekarang jauh lebih mudah. Internet bisa diakses melalui Handphone (HP) menggunakan fasilitas GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (tanpa kabel) yang memiliki kecepatan koneksi 115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas (grafis dan multimedia). Teknologi GPRS dapat diakses yang mendukung fasilitas tersebut. Pen-setting-an GPRS pada ponsel, tergantung dari operator (Telkomsel, Indosat, XL, 3) yang digunakan. Biaya akses Internet dihitung melalui besarnya kapasitas (per-kilobite) yang didownload.
Melihat peran dan kemudahan dalam memanfaatkan internet pada saat ini, orang akan semakin beranggapan bahwa internet adalah segalanya sebab banyak informasi mengenai banyak hal tersedi adi dalamnya. Tapi bila dikaji lebih jauh, ternyata tidak demikian. Banyak hal juga yang tidak bisa terliput oleh internet. Doran (1995) dan Reuser (2008) mencatat bahwa internet punya keterbatasan dalam menyediakan informasi. Maka mereka menggunakan istilah interNOT untuk membuktikan bahwa teknologi internet bukan segalanya. Selanjutmya Reuser mngemukakan bahwa internet bukanlah internasional, internet tidak mudah, internet tidak hanya google, internet tidak obyektif dan internet bukan tanpa jejak. InterNOT tersebut adalah:
a.Internet tidak identik dengan internasional.
Sebagian orang meyakini bahwa semua informasi berkaitan dengan dunia internasional ada di internet. Internet banyak menyediakan informasi mengenai dunia internasional, tapi tidak berarti segalanya ada di internet. Penggunaan internet di tingkat internasional juga tidak merata sehingga mungkin saja dalam suatu negara tertentu mengenal internet dengan baik, namun di daerah lain tidak mengenal sama sekali. Berikut ini statistik penetrasi internet di belahan dunia : Africa 8.7 %; Asia 20.1%; Eropa 53%; Timur Tengah 28.8%; Amerika Utara 76.2%; Amerika Latin/Karibia 31.9%; Oseania/Australia 60.8%. Total rata-rata sekitar 26.6%. selanjutnya lihat di: http://www.internetworldstats.com/stats.htm
Data di atas menunjukkan bahwa penetrasi internet di dunia internasional tidak sangat besar. Menurut data yang dihimpun oleh World Internet Users and Population Stats pada akhir tahun 2009 penetrasi internet di dunia hanya mencapai 26,6% saja. Data tersebut membuktikan bahwa penyebaran internet tidak merata dan tidak mengalami perkembanganyang sangat besar.
b.Internet tidak mudah
Seseorang boleh saja mengemukakan bahwa internet itu mudah. Alasannya sederhana bahwa hanya dengan meng-click saja akan terbuka semua jendela informasi dunia. Agaknya pendapat ini berlebihan sebab pemanfaatan internet tidak semudah itu. Ketika seseorang searching di internet dia harus sudah memiliki “masalah” untuk ditanyakan pada suatu search engine. Search engine akan membantu pemakainya mencarikan jawaban atas pertanyaan berdasarkan query yang telah dia tulis dalam query box. Lalu hasilnya? Bisa ditebak, bahwa pencarian yang asal-asalan hanya akan mendapatkan perolehan (recall) yang banyak sekali sementara ketelitiannya sangat kecil (precise). Hal ini terjadi karena pemakai tidak tahu strategi pencarian informasi di internet.
Untuk memanfaatkan internet memerlukan strategi agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui strategi tersebut adalah dengan mengikuti training strategi mencari informasi di internet.
c.Internet itu tidak hanya google
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering menggunakan istilah “digoogling” saja, atau “coba tanya sama Om Goolge”. Dua ungkapan di atas menunjukkan bahwa mesin pencari google sangat terkenal di kalangan para netter (sebutan pengguna internet). Setiap kali membuka internet, rata-rata pemakai selalu mengandalkan google. Google memang besar tapi tidak berarti bahwa internet itu ya google. Masih banyak mesin pencari lainnya yang bisa digunakan dalam mencari informasi di internet seperti www.jux2.com, Yahoo!, MSN, AlltheWeb, AltaVista, dan sebagainya, yang kesemuanya punya ciri khas tersendiri dibandingkan dengan mesin pencari google.
Sebenarnya ada banyak mesin pencari di internet yang mempunyai kekhasan tersendiri. Mereka punya kelemahan dan tentu juga keunngulan dibanding mesin pencari lainnya.
d.Internet tidak obyektif
Suatu negara memiliki kebijakan tersendiri terkait dengan internet. Ada yang membuka internet seluas-luasnya untuk rakyatnya, ada juga yang memproteksi informasi tertentu untuk rakyatnya dengan cara memblokir suatu situs tertentu. Biasanya suatu negara akan memblokir suatu situs tertentu karena pertimbangan politik ataupun moral.
Apapun alasannya, baik dari sisi politik maupun moral, negara melarang suatu situs tertentu karenn akawatir kepentingannya terganggu. Dalam perspektif internasional, tentu alasan ini tidak obyektif sebab pemblokiran alamat di internet sangat dikaitkan dengan kepentingan negara masing-masing, tidak dikaitkan dengan kepentingan penggunanya.
e.Internet tidak besar
Sudah menjadi anggapan umum bahwa informasi yang disediakan dalam inetnet sangat besar. Anggapan tersebut benar bila yang dimaksud besar adalah internet selalu menyediakan informasi apa saja yang diminta oleh penggunanya dengan mengesampingkan keusangan ataupun kualitas informasinya. Pengguna bisa saja mencari informasi apa saja dalam internet, lalu perhatikan apakah informasi tersebut adalah informasi terkini? Ternyata internet tidak selalu menghadirkan yang terbaru. Internet menghadirkan informasi yang sudah usang, bahkan selalu menghadirkan informasi yang tidak diminta seklaipun. Hal ini menandakan internet menghadirkan informasi sampah (data smog).
f.Internet bukan tanpa jejak.
Perhatian pengguna internet hanya tertuju apakah informasi yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Mereka tidak berpikir apakah sejarah browsing yang pernah dilakukan meniggalkan jejak atau tidak. Apalagi sebagian besar pemakai internet di Indonesia, mereka tidak peduli terhadap sejarah browsingnya. Sejarah browsing ini nampaknya sangat sepele, namun sebenarnya sangat bermakna bagi pengelola suatu situs atau perusahaan. Adalah sangat mungkin pengelola situs menjual informasi berupa sejarah browsing pada suatu perusahaan. Berdasarkan informasi tersebut suatu perusahaan mengeluarkan kebijakan mengenai produk tertentu yang akan ditawarkan pada masyarakat.
3.Penutup
Ketika membincangkan internet, sebenarnya, sebagian kita hanya membincangkan visible web. Visible web atau surfable web merupakan world wide web yang diindeks oleh mesin pencari. Untuk mencari informasi melalui visible web ini mudah sebab tanpa syarat apapun. Pengguna tinggal menggunakan fasilitas klik saja. Kemudahan dalam meanfaatkan visible web berbanding lurus dengan perolehan informasinya, artinya kemudahan ini seringkali hanya menghasilkan informasi yang kualitasnya perlu dipertanyakan.
Reuser mengemukakan data dan tentang internet, seperti dikemukan di atas, bahwa visible web hanya memberikan sebagian informasi yang ada dalam internet. Untuk mendapatkan informasi yang terkini dan berkualitas, tentu pengguna harus melakukan browsing di invisible web. Informasi yang ada di dalam invisible web jauh lebih banyak daripada yang ada dalam visible web. Menurut studi yang diadakan di University of California, Berkeley tahun 2000 bahwa invisible web menyediakan kira kira 91.000 terabyte data sementara visible web hanya 167 terabyte. (en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web).
Invisible web atau deep web merupakan world wide web yang tidak bisa dijangkau oleh mesin pencari standard pada umumnya. Invisible web menysaratkan bagi pengguna untuk membayar untuk mendapatkan informasi yang ada di dalamnya.
Barangkali, kita sering melupakan invisible web sebab kita sudah merasa terpuaskan dengan menggunakan Yahoo Messenger dan Facebook saja titik.
Bacaan
Internet (2010) tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Internet akses 1 Juni 2010.
Deep web (2010) http://en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web akses 1 Juni 2010.
Surface web (2010) tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Visible_web akses 1 Juni 2010.
Reuser, A.. (2008, January). When InterNET Is InterNOT. Online, 32(1), 32-36. Retrieved April 29, 2010, from ABI/INFORM Global. (Document ID: 1417200761).
Doran, Kirk. (1995, June). The Internot: Helping library patrons understand what the Internet is not (yet). Computers in Libraries, 15(6), 22. Retrieved April 29, 2010, from ProQuest Computing. (Document ID: 6782733).
Kamis, 22 April 2010
Perspektif
Padanan kata perspektif adalah sudut pandang, cara pandang atau sering disebut point of view. Cara pandang ini sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang tentang sesuatu hal. Bilamana seseorang mendasarkan pada sudut pandang yang tepat nisaya dia akan mendapatkan pemahaman terhadap sesuatu hal secara baik. Tapi sebaliknya, bila cara pandangnya salah, niscaya dia akan masuk dalam perangkap salah.
Dulu, ada seorang filosuf yang punya cara pandang seperti yang dia ungkapkan “saya ada karena saya berpikir saya ada”
Cara pandang ini tidak hanya menjadi cara pandang dia saja. Bisa jadi ribuan bahkan jutaan orang menggunakan cara pandangnya dalam melihat keberadaan dirinya. Alangkah naifnya bila cara pandang ini diterapkan untuk melihat surga dan neraka. Bila diterapkan, tentu menjadi “Surga dan neraka ini ada karena saya berpikir surga neraka itu ada”. Lalu coba saja cara pandang ini diambil kebalikannya, maka “surga neraka itu tidak ada karena saya berpikir surga neraka tidak ada”. Jadi keberadaan surga dan neraka hanya didasarkan pada “menurut saya, atau karena saya berpikir”.
Ada cara pandang lain yang kadang membuat ketidaknyamanan. Seperti halnya penyebaran ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagian yang tidak menyukai Islam pasti akan mengambil suatu kesimpulan sederhana bahwa Islam disebarkan dengan pedang karena sering kali simbol Islam ditandai dengan pedang.
Tidak hanya Islam saja yang diasosiasikan jahat, Kristenpun demikian. Kristen juga diasosiakan sebagai agama yang disebarluaskan dengan kekerasan. Kasus di Indonesia umpamanya. Kristen masuk Indonesia bersama penjajah. Lalu, banyak orang mengambil kesimpulan kristen itu agama kolonial, agama yang disebarkan dengan penjajahan.
Tak terkecuali demokrasi sebagai ”agama” dunia ketiga. Demokrasi diagungkan dengan segala cara. Asal pakai label demokrasi nampaknya berbuat apapun tidak apa-apa walau perbuatan itu tak sesuai dengan jiwa demokrasi itu sendiri. Kalau kita mengambil contoh di Irak niscaya kita sepakat bahwa demokrasi didirikan dengan panser, bom dan teror. Bukankah atas nama demokrasi pula negara berdaulat seperti Irak dihancurkan?
Apa memang sedemikian sederhana untuk mempercayai surga dan neraka? Dan apa memang sesederhana itu untuk melihat penyebaran agama, demokrasi dan sebagainya? Itulah sebuah perspektif.
Beda halnya bila menggunakan perspektif lain semisal buat apa berbuat baik di dunia ini bila tidak ada surga & neraka di kelak kemudian hari. Jika menggunakan cara pandang terakhir ni, bisa jadi manusia akan hidup menurut kehendaknya sendiri tanpa berpikir panjang mengenai keadaan orang lain.
Begitu juga sebaliknya, bila seseorang berpikir bahwa masih ada seri kehidupan setelah kehidupan di dunia, maka saya yakin kehidupan seseorang akan semakin teratur, akan semakin baik sebab dia merasa bahwa apa yang dilakukannya di dunia akan sangat berpengaruh untuk kehidupan di akhirat. Semakin seseorang meyakini surga neraka, semakin kuat dia menjaga kehidupannya agar tidak berbuat jahat pada orang lain dan juga dirinya sendiri.
Dulu, ada seorang filosuf yang punya cara pandang seperti yang dia ungkapkan “saya ada karena saya berpikir saya ada”
Cara pandang ini tidak hanya menjadi cara pandang dia saja. Bisa jadi ribuan bahkan jutaan orang menggunakan cara pandangnya dalam melihat keberadaan dirinya. Alangkah naifnya bila cara pandang ini diterapkan untuk melihat surga dan neraka. Bila diterapkan, tentu menjadi “Surga dan neraka ini ada karena saya berpikir surga neraka itu ada”. Lalu coba saja cara pandang ini diambil kebalikannya, maka “surga neraka itu tidak ada karena saya berpikir surga neraka tidak ada”. Jadi keberadaan surga dan neraka hanya didasarkan pada “menurut saya, atau karena saya berpikir”.
Ada cara pandang lain yang kadang membuat ketidaknyamanan. Seperti halnya penyebaran ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagian yang tidak menyukai Islam pasti akan mengambil suatu kesimpulan sederhana bahwa Islam disebarkan dengan pedang karena sering kali simbol Islam ditandai dengan pedang.
Tidak hanya Islam saja yang diasosiasikan jahat, Kristenpun demikian. Kristen juga diasosiakan sebagai agama yang disebarluaskan dengan kekerasan. Kasus di Indonesia umpamanya. Kristen masuk Indonesia bersama penjajah. Lalu, banyak orang mengambil kesimpulan kristen itu agama kolonial, agama yang disebarkan dengan penjajahan.
Tak terkecuali demokrasi sebagai ”agama” dunia ketiga. Demokrasi diagungkan dengan segala cara. Asal pakai label demokrasi nampaknya berbuat apapun tidak apa-apa walau perbuatan itu tak sesuai dengan jiwa demokrasi itu sendiri. Kalau kita mengambil contoh di Irak niscaya kita sepakat bahwa demokrasi didirikan dengan panser, bom dan teror. Bukankah atas nama demokrasi pula negara berdaulat seperti Irak dihancurkan?
Apa memang sedemikian sederhana untuk mempercayai surga dan neraka? Dan apa memang sesederhana itu untuk melihat penyebaran agama, demokrasi dan sebagainya? Itulah sebuah perspektif.
Beda halnya bila menggunakan perspektif lain semisal buat apa berbuat baik di dunia ini bila tidak ada surga & neraka di kelak kemudian hari. Jika menggunakan cara pandang terakhir ni, bisa jadi manusia akan hidup menurut kehendaknya sendiri tanpa berpikir panjang mengenai keadaan orang lain.
Begitu juga sebaliknya, bila seseorang berpikir bahwa masih ada seri kehidupan setelah kehidupan di dunia, maka saya yakin kehidupan seseorang akan semakin teratur, akan semakin baik sebab dia merasa bahwa apa yang dilakukannya di dunia akan sangat berpengaruh untuk kehidupan di akhirat. Semakin seseorang meyakini surga neraka, semakin kuat dia menjaga kehidupannya agar tidak berbuat jahat pada orang lain dan juga dirinya sendiri.
Anak-Anak Dan Masjid
Sekarang ini sebenarnya saya sedang prihatin dengan masjid yang ada di desa saya walau masjid itu bukan tempat yang biasa aku salat Jum’at sedari kecil. Saya prihatin bukan karena bangunan masjid tersebut sudah usang dan tidak layak huni lagi. Justru bangunan sekarang sudah bagus banget dibanding beberapa tahun sebelumnya. Yang menjadikan saya prihatin adalah sikap yang diambil oleh pengurus atau takmir masjid yang melarang anak-anak main di sana. Ada tulisan besar yang siap menghadang anak-anak ke masjid, yaitu tulisan “DILARANG BERMAIN”. Tulisan tersebut sangat jelas maknanya bahwa anak-anak dilarang bermain di Masjid, bahkan di halaman masjidpun sepi dari anak-anak.
Ketika anak-anak main di masjid, banyak jamaah yang merasa bahagia, tapi ada juga anggota jamaah yang tidak tidak senang dengan kehadiran mereka. Salah satu alasan ketidak sukaan jama’ah terhadap anak-anak adalah karena anak-anak itu senang membuat gaduh. Kadang mereka tertawa cekikikan waktu para jamaah sedang salat, bahkan tak jarang mereka menangis karena suatu sebab.
Para jamaah merasa bahwa kegaduhan anak-anak membuat kekhusukan mereka terganggu. Seraya mengatakan “Masjid itu kan tempat ibadah, bukan tempat main apalagi untuk untuk cekikikan”.
Menurut saya, sebenarnya anak-anak boleh saja main ke masjid atau musala. Kalau mereka belum bisa bilang kalau mau pipis, maka orang tuanya bertanggung jawab penuh mendampinginya agar sewaktu-waktu pipis, air pipisnya tidak mengenai jamaah lainnya. Kalaupun anak-anak sudah bisa bilang ketika mau pipis juga tetap diawasi sebab siapa tahu masih senang iseng terhadap jamaah lainnya.
Barangkali pengawasannya tidak cukup dengan itu. Orang tua juga harus mengambil posisi barisan belakang saja untuk menjaga kekhusukan para jamaah.
Anak-anak usia TK/SD juga perlu diajak ke masjid dengan pendampingan orang tuanya. Demikian juga anak-anak yang lebih besar, mereka seharusnya bisa diajak ke masjid. Mengapa mereka harus ke masjid?
Saya pribadi tidak pernah melarang anak-anak saya ikut ke masjid biarpun mereka perempuan. Bagi saya tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki dalam kasus ini. Mereka sama-sama berhak untuk kenal masjid sebagai tempat untuk salat. Mereka berhak menyaksikan orang-orang salat berjamaah.
Bila akhirnya mereka itu melakukan sedikit iseng atau melakukan sesuatu yang membuat gaduh, maka harus disadari bahwa mereka itu anak-anak yang masih senang bermain. Rasa ingin bermain mereka sedikit banyak akan berkurang sejalan dengan pertambahan kedewasaan mereka. Bila anak-tidak main, justru itu menandakan bukan sebagai anak-anak.
Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan dalam kasus anak-anak dan masjid. Ada salah satu keluarga saya yang tidak sering diajak ke masjid atau musalla waktu kecil. Alasan kenapa tidak diajak juga masuk akal, yaitu agar tidak mengganggu jamaah yang lagi salat. Karena pertimbangan inilah maka dia yang paling jarang ke masjid.
Sekarang akibatnya sudah bisa dirasakan, dari seluruh anggota keluarga yang tidak disiplin dalam menjalankan ibadah adalah saudara saya yang tidak di ajak ke masjid waktu masih kecil.
Kejadian yang menimpa keluarga saya ini seharusnya menjadi pelajaran kepada siapa saja bahwa bila kita ingin anak-anak kita atau generasi muda ingin menjadi yang taat ibadah, maka sedari kecil sudah harus kita ajak ke masjid. Bagaimana mereka akan menambatkan hatinya di masjid manakala mereka tidak mengenal masjid kecuali dari corong microphone yang keluar setiap awal waktu salat tiba.
Apalah artinya ngepel lantai masjid sementara kemudian anak-anak kita bisa menjadi orang-orang yang ahli ibadah lantaran mereka adalah bagian dari masjid itu sendiri.
Ketika anak-anak main di masjid, banyak jamaah yang merasa bahagia, tapi ada juga anggota jamaah yang tidak tidak senang dengan kehadiran mereka. Salah satu alasan ketidak sukaan jama’ah terhadap anak-anak adalah karena anak-anak itu senang membuat gaduh. Kadang mereka tertawa cekikikan waktu para jamaah sedang salat, bahkan tak jarang mereka menangis karena suatu sebab.
Para jamaah merasa bahwa kegaduhan anak-anak membuat kekhusukan mereka terganggu. Seraya mengatakan “Masjid itu kan tempat ibadah, bukan tempat main apalagi untuk untuk cekikikan”.
Menurut saya, sebenarnya anak-anak boleh saja main ke masjid atau musala. Kalau mereka belum bisa bilang kalau mau pipis, maka orang tuanya bertanggung jawab penuh mendampinginya agar sewaktu-waktu pipis, air pipisnya tidak mengenai jamaah lainnya. Kalaupun anak-anak sudah bisa bilang ketika mau pipis juga tetap diawasi sebab siapa tahu masih senang iseng terhadap jamaah lainnya.
Barangkali pengawasannya tidak cukup dengan itu. Orang tua juga harus mengambil posisi barisan belakang saja untuk menjaga kekhusukan para jamaah.
Anak-anak usia TK/SD juga perlu diajak ke masjid dengan pendampingan orang tuanya. Demikian juga anak-anak yang lebih besar, mereka seharusnya bisa diajak ke masjid. Mengapa mereka harus ke masjid?
Saya pribadi tidak pernah melarang anak-anak saya ikut ke masjid biarpun mereka perempuan. Bagi saya tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki dalam kasus ini. Mereka sama-sama berhak untuk kenal masjid sebagai tempat untuk salat. Mereka berhak menyaksikan orang-orang salat berjamaah.
Bila akhirnya mereka itu melakukan sedikit iseng atau melakukan sesuatu yang membuat gaduh, maka harus disadari bahwa mereka itu anak-anak yang masih senang bermain. Rasa ingin bermain mereka sedikit banyak akan berkurang sejalan dengan pertambahan kedewasaan mereka. Bila anak-tidak main, justru itu menandakan bukan sebagai anak-anak.
Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan dalam kasus anak-anak dan masjid. Ada salah satu keluarga saya yang tidak sering diajak ke masjid atau musalla waktu kecil. Alasan kenapa tidak diajak juga masuk akal, yaitu agar tidak mengganggu jamaah yang lagi salat. Karena pertimbangan inilah maka dia yang paling jarang ke masjid.
Sekarang akibatnya sudah bisa dirasakan, dari seluruh anggota keluarga yang tidak disiplin dalam menjalankan ibadah adalah saudara saya yang tidak di ajak ke masjid waktu masih kecil.
Kejadian yang menimpa keluarga saya ini seharusnya menjadi pelajaran kepada siapa saja bahwa bila kita ingin anak-anak kita atau generasi muda ingin menjadi yang taat ibadah, maka sedari kecil sudah harus kita ajak ke masjid. Bagaimana mereka akan menambatkan hatinya di masjid manakala mereka tidak mengenal masjid kecuali dari corong microphone yang keluar setiap awal waktu salat tiba.
Apalah artinya ngepel lantai masjid sementara kemudian anak-anak kita bisa menjadi orang-orang yang ahli ibadah lantaran mereka adalah bagian dari masjid itu sendiri.
Minggu, 04 April 2010
Keyakinan
Keyakinan atau iman merupakan kepercayaan mutlak terhadap sesuatu. Iman kepada Allah berarti percaya secara mutlak kepada Allah tanpa ada syarat apapun. Dalam keseharian, kata iman sangat mudah diucapkan namun sangat sulit diimplementasikan. Lebih lagi, iman susah dikontrol oleh orang lain. Yang tahu keimanan seseorang adalah seseorang tersebut dengan Maha Pencipta alias Allah. Boleh jadi seorang mengumbar kata kata iman, tapi tetap saja susah dibuktikan secara fisik bahwa dia beriman.
Sebagai contoh adalah seseorang yang berpuasa. Sebenarnya, yang tahu seseorang berpuasa adalah antara pelaku dengan Allah. Bila puasa ditandai dengan tidak makan, minum atau perbuatan lainnya yang membatalkan puasanya di hadapan orang lain, maka sesungguhnya sangat mudah mengecoh dengan berpura-pura puasa. Misalnya, pergi ke ruang tertutup, maka sangat mungkin untuk makan atau minum tanpa diketahui oleh orang lain.
Nampaknya keimanan mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi banyak sekali orang dewasa yang tidak bekerja mengeluarkan keringat tidak berpuasa sehari penuh pada bulan Ramadan. Sedang sebagian anak kecil mampu melaksanakan puasa selama sebulan penuh tanpa ada lubang sekalipun. Dalam suatu keluarga umpamanya, ada salah satu anggota keluarga yang sudah dewasa namun tidak mampu puasa penuh dalam satu bulan dengan alasan yang tidak jelas. Sementara dua keponakannya mampu melaksanakan puasa sebulan penuh padahal mereka baru berumur 7 dan 8 tahun.
Yang menjadi tanda tanya mengapa orang dewasa tidak kuat puasa Ramadan sebulan penuh sementara anak kecil yang berumur 7 dan 8 tahun mampu puasa sebulan penuh.
Saya tetap berpendapat bahwa hanya keimanan yang mampu menggerakkan seseorang berpuasa atau melaksanakan ibadah lainya secara sempurna. Seorang dewasa tidak mampu puasa karena tidak yakin penuh bahwa puasa Ramadan itu titah Yang Maha Kuasa yang harus dijalankan, sementara anak-anak biarpun mereka masih kecil, namun mereka percaya penuh bahwa perintah puasa itu dari Allah yang tidak boleh ditinggalkan.
Keimanan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan atau yang akan ditinggalkan. Keimanan inilah yang akan mengontrol semua perbuatan. Seorang beriman akan merasa malu bila melakukan perbuatan yang nista. Dia merasa malu bukan karena dilihat orang lain, tapi lebih merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu diawasi oleh Yang Maha Melihat.
Sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, seorang beriman akan sangat terikat dengan keimanannya. Semakin dia menjaga keimanannya, semakin kuat dia mengontrol perbuatannya.
Jadi, bila ada seseorang selalu beribadah sepertinya sangat khusuk tapi masih tega mengambil sesuatu yang bukan haknya, menyakiti orang lain tanpa alasan yang jelas, atau berbuat maksiat lainnya, baik yang merugikan dirinya maupun orang lain, maka sesungguhnya dia memperlihatkan bahwa dirinya masih menyimpan persoalan keimanan dalam dirinya.
So, Apakah benar kita sudah beriman?
Sebagai contoh adalah seseorang yang berpuasa. Sebenarnya, yang tahu seseorang berpuasa adalah antara pelaku dengan Allah. Bila puasa ditandai dengan tidak makan, minum atau perbuatan lainnya yang membatalkan puasanya di hadapan orang lain, maka sesungguhnya sangat mudah mengecoh dengan berpura-pura puasa. Misalnya, pergi ke ruang tertutup, maka sangat mungkin untuk makan atau minum tanpa diketahui oleh orang lain.
Nampaknya keimanan mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi banyak sekali orang dewasa yang tidak bekerja mengeluarkan keringat tidak berpuasa sehari penuh pada bulan Ramadan. Sedang sebagian anak kecil mampu melaksanakan puasa selama sebulan penuh tanpa ada lubang sekalipun. Dalam suatu keluarga umpamanya, ada salah satu anggota keluarga yang sudah dewasa namun tidak mampu puasa penuh dalam satu bulan dengan alasan yang tidak jelas. Sementara dua keponakannya mampu melaksanakan puasa sebulan penuh padahal mereka baru berumur 7 dan 8 tahun.
Yang menjadi tanda tanya mengapa orang dewasa tidak kuat puasa Ramadan sebulan penuh sementara anak kecil yang berumur 7 dan 8 tahun mampu puasa sebulan penuh.
Saya tetap berpendapat bahwa hanya keimanan yang mampu menggerakkan seseorang berpuasa atau melaksanakan ibadah lainya secara sempurna. Seorang dewasa tidak mampu puasa karena tidak yakin penuh bahwa puasa Ramadan itu titah Yang Maha Kuasa yang harus dijalankan, sementara anak-anak biarpun mereka masih kecil, namun mereka percaya penuh bahwa perintah puasa itu dari Allah yang tidak boleh ditinggalkan.
Keimanan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan atau yang akan ditinggalkan. Keimanan inilah yang akan mengontrol semua perbuatan. Seorang beriman akan merasa malu bila melakukan perbuatan yang nista. Dia merasa malu bukan karena dilihat orang lain, tapi lebih merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu diawasi oleh Yang Maha Melihat.
Sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, seorang beriman akan sangat terikat dengan keimanannya. Semakin dia menjaga keimanannya, semakin kuat dia mengontrol perbuatannya.
Jadi, bila ada seseorang selalu beribadah sepertinya sangat khusuk tapi masih tega mengambil sesuatu yang bukan haknya, menyakiti orang lain tanpa alasan yang jelas, atau berbuat maksiat lainnya, baik yang merugikan dirinya maupun orang lain, maka sesungguhnya dia memperlihatkan bahwa dirinya masih menyimpan persoalan keimanan dalam dirinya.
So, Apakah benar kita sudah beriman?
Senin, 29 Maret 2010
Cinta ditolak?
Apa reaksi Anda kalau cinta Anda ditolak, atau orang yang Anda harapkan menjadi bagian dalam hidup Anda ternyata lari meninggalkan Anda, atau kalau Anda berbeda prinsip dengan orang yang Anda cintai dimana Anda mencintai dengan sangat sementara dia menolak cinta Anda?
Aku menebak, pasti, perasaan Anda akan dongkol, marah emosi atau sifat-sifat emosi negatif lainnya. Kedongkolan dan kemarahan ini wajar saja sebab apa yang diinginkan tidak sama dengan kenyataan. Terlebih bila harapan kita tinggi sementara kenyataanya bertolak belakang.
Semua orang pasti akan mengalami rasa cinta. Rasa ini sering diekspresikan dengan kata-kata cinta, trisno dan ungkapan senada lainnya, namun tak jarang seseorang menyimpan rasa cinta dengan dirasa dalam hati tanpa mengungkapkan tersebut kepada siapapun bahkan terhadap orang yang dia cintai sekalipun.
Dari dalam hati, aku termasuk orang yang tidak mudah mengungkapkan rasa cinta kepada orang lain. Aku merasa lucu harus mengatakan “I love U”. Namun tidak berarti aku tidak pernah mengatakannya. Bahkan dulu pernah mengumbar kata-kata itu walaupun tanpa ekspresi apapun karena hanya ingin sekali membuat orang lain hepi dengan kata itu.
Pernah kudekati seseorang dengan serius. Artinya bahwa pendekatan ini tidak serta merta pendekatan sebagai pacar, tapi lebih sebagai istri/garwo alias sigaring nyowo. Apalagi dapat signal yang menggembirakan dari keluarga seseorang yang sedang aku dekati. Dalam harapanku, pastilah dia akan mau wong selama ini track recordku baik dalam dunia cinta mencinta.
Tapi begitulah hidup, kadang tidak mudah, tidak selalu nurut terhadap apa yang kita skenariokan. Harapan yang begitu melambung tinggi ternyata tidak menjadi kenyataan. Walau aku tidak pernah mengungkapakan rasa cinta dengan “I love u full”, padanya, tapi aku berjanji dalam diri bahwa aku akan mencintainya lebih dari yang dia bayangkan dan harapkan.
Jawaban “tidak” muncul dari seseorang yang aku akan mencintainya, tanda itu jelas bahwa dia tidak memilih aku sebagai pacar apalagi sebagai pendamping hidup. aku tidak tahu kenapa dia tidak mau padahal dia selalu menampakkan sebagai orang yang suka padaku. Barangkali aku yang terlampau ke-GR-an melihat dia. Mungkin dia menaruh hormat padaku sehingga tidak menampakkan sifat negatif di depan mata.
Kondisi tersebut harus memalingkan cintaku kepada orang lain. Dan yang paling membahagiakan dari diriku sendiri ternyata aku tidak menaruh dendam sama sekali padanya. Pernah suatu hari, secara tidak sengaja aku bertemu dengannya. Aku merasa biasa saja dan ngobrol seperti tidak pernah ada kejadian kalau dulu aku pernah mengejarnya.
Aku menebak, pasti, perasaan Anda akan dongkol, marah emosi atau sifat-sifat emosi negatif lainnya. Kedongkolan dan kemarahan ini wajar saja sebab apa yang diinginkan tidak sama dengan kenyataan. Terlebih bila harapan kita tinggi sementara kenyataanya bertolak belakang.
Semua orang pasti akan mengalami rasa cinta. Rasa ini sering diekspresikan dengan kata-kata cinta, trisno dan ungkapan senada lainnya, namun tak jarang seseorang menyimpan rasa cinta dengan dirasa dalam hati tanpa mengungkapkan tersebut kepada siapapun bahkan terhadap orang yang dia cintai sekalipun.
Dari dalam hati, aku termasuk orang yang tidak mudah mengungkapkan rasa cinta kepada orang lain. Aku merasa lucu harus mengatakan “I love U”. Namun tidak berarti aku tidak pernah mengatakannya. Bahkan dulu pernah mengumbar kata-kata itu walaupun tanpa ekspresi apapun karena hanya ingin sekali membuat orang lain hepi dengan kata itu.
Pernah kudekati seseorang dengan serius. Artinya bahwa pendekatan ini tidak serta merta pendekatan sebagai pacar, tapi lebih sebagai istri/garwo alias sigaring nyowo. Apalagi dapat signal yang menggembirakan dari keluarga seseorang yang sedang aku dekati. Dalam harapanku, pastilah dia akan mau wong selama ini track recordku baik dalam dunia cinta mencinta.
Tapi begitulah hidup, kadang tidak mudah, tidak selalu nurut terhadap apa yang kita skenariokan. Harapan yang begitu melambung tinggi ternyata tidak menjadi kenyataan. Walau aku tidak pernah mengungkapakan rasa cinta dengan “I love u full”, padanya, tapi aku berjanji dalam diri bahwa aku akan mencintainya lebih dari yang dia bayangkan dan harapkan.
Jawaban “tidak” muncul dari seseorang yang aku akan mencintainya, tanda itu jelas bahwa dia tidak memilih aku sebagai pacar apalagi sebagai pendamping hidup. aku tidak tahu kenapa dia tidak mau padahal dia selalu menampakkan sebagai orang yang suka padaku. Barangkali aku yang terlampau ke-GR-an melihat dia. Mungkin dia menaruh hormat padaku sehingga tidak menampakkan sifat negatif di depan mata.
Kondisi tersebut harus memalingkan cintaku kepada orang lain. Dan yang paling membahagiakan dari diriku sendiri ternyata aku tidak menaruh dendam sama sekali padanya. Pernah suatu hari, secara tidak sengaja aku bertemu dengannya. Aku merasa biasa saja dan ngobrol seperti tidak pernah ada kejadian kalau dulu aku pernah mengejarnya.
Rabu, 24 Februari 2010
Fiksi
Rupanya mendung pagi ini malas turun sehingga matahari bersinar sangat cerah. Tentu pagi sangat hepi sebab dia akan tampak ceria. Pagi ceria, sebenarnya, juga tidak selalu berbanding lurus dengan penikmat matahari pagi. Tak percaya? Datang saja ke rumah sakit. Biarpun matahari mencoba tersenyum semeriah mungkin, tetap saja orang sakit kelihatan pucat bahkan matahari menjadi pengganggu tidur paginya.
Artinya, kecerian sinar matahari bisa dipandang “ceria” atau “tidak ceria” sangat tergantung pada perspektif. Matahari yang cerah bagi orang yang hepi adalah benar-benar menceriakan suasana hati, begitupun sebaliknya, kecerian matahari bisa menjadi pengganggu nomor satu bagi mereka yang sedang gundah gulana. Kehadiran matahari hanya menagih si gundah gulana untuk kembali mengingat mimpi buruk atau pengalaman buruk yang sedang menimpanya.
Konon, ada sebuah istilah yang digunakan untuk mensifati sebuah karya tulis semacam, fiksi dan nonfiksi. Barangkali secara singkat dapat dikatakan bahwa karya nonfiksi adalah karya ilmiah yang benar-benar nyata, dan bisa dibuktikan dengan eksperimen, sementara karya fiksi adalah karya rekayasa khayalan seorang penulis saja, yang kebenarannya tidak bisa dibuat eksperimen ulang dengan menggunakan metode ilmiah.
Masih menurutku pastinya. Karya nonfiksi selalu dikonfrontasikan dengan karya fiksi yang berarti bahwa nonfiksi itu nyata sedang fiksi adalah tidak nyata. Dari novel (sebagai contoh karya fiksi) yang aku baca, diakui memang ada novel yang sangat bombastis, romantis dan melangit ceritanya seolah berlatar belakang angkasa langit sana. Novel jenis ini tentu langsung bisa diputusi terlalu menghayal dan tidak membumi. Lalu bagaimana novel-novel lainnya?
Novel-novel tersebut bisa jadi merupakan cerminan masyarakat pada umumnya. Bila isi sebuah novel itu mengurai suatu kebobrokan moral masyarakat, maka seharusnya kita tidak usah pake emosi dulu dengan menentang keras ini novel tersebut. Ada baiknya kita mengoreksi diri terlebih dulu apakah novel tersebut memang cerminan suatu fakta atau khayalan belaka. Bila isinya merupakan cerminan fakta, tentu seharusnya kita berterima kasih pada penulis memang seperti itulah kejadian yang ada di masyarakat. Demikian juga sebaliknya, bila novel tersebut hanya rekaan atau khayalan belaka, bahkan berisi fitnah, tentu harus ditolak.
Seorang pengarang bisa menulis sesuatu karena dia telah memotret apa yang terjadi di masyarakat. Aku tetap berpendapat bahwa novel seringkali merupakan fakta sosial yang dikemas dalam bahasa dan gaya seorang penulis. Penulis mencoba memotret peristiwa di tengah masyarakat lalu disuguhkan kepada masyarakat kembali. Tinggal masyarakat itu menyadari ada sesuatu yang tidak beres atau tidak. Itu semua dikembalikan kepada pembaca yang tak lain dan tidak bukan adalah masyarakat juga.
Artinya, kecerian sinar matahari bisa dipandang “ceria” atau “tidak ceria” sangat tergantung pada perspektif. Matahari yang cerah bagi orang yang hepi adalah benar-benar menceriakan suasana hati, begitupun sebaliknya, kecerian matahari bisa menjadi pengganggu nomor satu bagi mereka yang sedang gundah gulana. Kehadiran matahari hanya menagih si gundah gulana untuk kembali mengingat mimpi buruk atau pengalaman buruk yang sedang menimpanya.
Konon, ada sebuah istilah yang digunakan untuk mensifati sebuah karya tulis semacam, fiksi dan nonfiksi. Barangkali secara singkat dapat dikatakan bahwa karya nonfiksi adalah karya ilmiah yang benar-benar nyata, dan bisa dibuktikan dengan eksperimen, sementara karya fiksi adalah karya rekayasa khayalan seorang penulis saja, yang kebenarannya tidak bisa dibuat eksperimen ulang dengan menggunakan metode ilmiah.
Masih menurutku pastinya. Karya nonfiksi selalu dikonfrontasikan dengan karya fiksi yang berarti bahwa nonfiksi itu nyata sedang fiksi adalah tidak nyata. Dari novel (sebagai contoh karya fiksi) yang aku baca, diakui memang ada novel yang sangat bombastis, romantis dan melangit ceritanya seolah berlatar belakang angkasa langit sana. Novel jenis ini tentu langsung bisa diputusi terlalu menghayal dan tidak membumi. Lalu bagaimana novel-novel lainnya?
Novel-novel tersebut bisa jadi merupakan cerminan masyarakat pada umumnya. Bila isi sebuah novel itu mengurai suatu kebobrokan moral masyarakat, maka seharusnya kita tidak usah pake emosi dulu dengan menentang keras ini novel tersebut. Ada baiknya kita mengoreksi diri terlebih dulu apakah novel tersebut memang cerminan suatu fakta atau khayalan belaka. Bila isinya merupakan cerminan fakta, tentu seharusnya kita berterima kasih pada penulis memang seperti itulah kejadian yang ada di masyarakat. Demikian juga sebaliknya, bila novel tersebut hanya rekaan atau khayalan belaka, bahkan berisi fitnah, tentu harus ditolak.
Seorang pengarang bisa menulis sesuatu karena dia telah memotret apa yang terjadi di masyarakat. Aku tetap berpendapat bahwa novel seringkali merupakan fakta sosial yang dikemas dalam bahasa dan gaya seorang penulis. Penulis mencoba memotret peristiwa di tengah masyarakat lalu disuguhkan kepada masyarakat kembali. Tinggal masyarakat itu menyadari ada sesuatu yang tidak beres atau tidak. Itu semua dikembalikan kepada pembaca yang tak lain dan tidak bukan adalah masyarakat juga.
Langganan:
Postingan (Atom)