Tinggal di kontrakan yang sempit adalah bukan cita-cita, tapi lebih merupaksn proses yang harus dilewati oleh banyak keluarga, tak terkecuali keluarga kami. Sebenarnya ada saja segi keindahan tinggal di rumah kecil, diantaranya mudah bersih-bersih. Sehari saja bisa ngepel sampai 3 kali. Kamar mandi juga dekat, sehingga memudahkan dalam urusan “buang-membuang”. Kontrakan ini menjadi kecil karena dibandingkan dengan dengan rumah yang selama ini kami tinggali. Kami terbiasa tinggal di rumah kampung ukuran besar. Kalau harus menyebut ukuran, maka 8x21m adalah tepatnya. Bisa dibayangkan kalau mama anak-anak berada di dapur sementara anak-anak nangis di halaman rumah. Pastilah mereka teriak minta tolong atau ngomong keras bak olah vokal saja. Tanpa disadari kebiasaan ini mempolakan suara kami. Seringkali kami pantang bersuara pelan. Kebiasaan ini ternyata masih lekat di rumah kecil sekarang. Kadang kami malu sendiri sebab suara kami terdengar keras oleh tetangga sebelah.
Nah di rumah kecil ini pula ternyata kami bertetangga tidak hanya dengan sesama makhluk tuhan yang bernama manusia, tapi juga dengan hewan-hewan yaitu tikus. Bagaimana pendapat teman-teman tentang tikus? Pasti teman-teman menjawab tikus itu menyebalkan. Mereka merusak segala rupa barang termasuk kawat selokan. Apalagi makanan-makanan yang sedang kita simpan. Kami sepaham dengan teman-teman bahwa tikus itu kerjaanya ya merusak. Tak jarang bahan makanan yang belum sempat diamankan sudah dihabiskan tikus and gank. Kesel juga rasanya bila setiap hari begini, mosok selalu berlomba cepat-cepatan ambil bahan makanan.
Kami mencoba mencari cara agar tikus tidak merusak lagi bahan-bahan makanan. Barangkali cara yang paling cap cleng, manjur adalah dengan membuat perangkap agar tikus terperangkap ketika mencuri makanan dan pasti bisa dihajar habis-habisan. Tapi cara ini tidak kami lakukan karena tidak tega menghajar tikus sampai mati. Bila mati, dimana harus menguburnya, sedangkan di sini tak ada tanah sejengkalpun untuk mengubur tikus. Lalu, muncul ide, bagaimana kalau diracun saja. Cara ini belum kami coba sebab kami kawatir bila diracun, tikus belum tentu mati langsung. Bisa jadi ketika para tikus window shopping di atap rumah, tiba-tiba mereka rebah dan mati. Kami sudah kehilangan ide atau pastinya takut bila mereka mati di atap, susah mengambilnya dan susah membuang.
Akhirnya kami mengambil cara yang saling menguntungkan dengan menganggap mereka sebagai sama-sama makhluk tuhan. Kami berhak hidup tentram, mereka juga berhak hidup enak tanpa mengusik kemakmuran kami.
Terus terang kami bilang sama tikus.
“ Hai tikus! Kau kami beri makan, tapi jangan mengusik makanan kami”. Tikus tidak menjawab dengan kata-kata karena mereka terbatas vokal konsonannya. Namun kamiyakin dia diam dan tahu.
Setelah itu kami rutin menyediakan makan buat tikus dalam kotak plastik berisi sisa-sisa makanan. Setiap hari kami lakukan itu dan ternyata tikuspun tahu diri. Mereka tidak mngusik kami lagi. Wah ternyata hewan tikus, biar mereka itu kelompok makhluk jorok, tapi ternyata mampu diajak berkomunikasi dan tahu diri.
Hingga akhirnya tiba saatnya kala ada tetangga baru di samping rumah dan meracuni tikus yang ada. Tikus mati, hebatnya dia mati persis di depan rumah tetangga.
Kami optimis tikus yang mati adalah yang selama ini membuat “MOU” dengan kami terbukti makanan yang kami sediakan selalu utuh.
1 komentar:
ya iyalah. masah kagak
Posting Komentar