Bahrul Ulumi
PENGANTAR
Perpustakaan
selalu diidentikan dengan koleksi buku dan bahan cetakan lainnya. Anggapan ini tidak
salah karena asal istilah perpustakaan(library)
adalah pustaka(libri) yang kedua kata
tersebut berarti buku. Sampai saat ini, mayoritas koleksi yang ada di
perpustakaan adalah bahan tercetak yakni buku, majalah, koran poster dengan segala
ukurannya dan sebagainya. Namun demikian, saat ini, media penyimpan informasi
sudah mulai bertambah banyak, tidak hanya terbatas pada bahan cetakan saja,
tapi juga bahan-bahan digital. Konversi ini tidak ekstrim dalam artian biarpun
media digital sudah tumbuh sangat cepat,
namun tetap saja kita tidak bisa meninggalkan bahan cetakan (buku) karena
beberapa hal yaitu, umumnya ringan dan mudah untuk dijinjing, tidak memerlukan
penerangan kecuali bila ruangan gelap, tidak memerlukan alat bantu baca, merupakan sumber yang merangsang
imajinasi, mudah dalam penyimpanan,
dapat ditulisi, dan masih banyak keunggulan lainnya.
Perpustakaan
perguruan tinggi sebagai tempat mengumpulkan media informasi baik berupa buku
maupun nonbuku memiliki tujuan sebagaimana dikemukakan Sulistyo Basuki (2009) sebagai
berikut :
- Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan tinggi, yang terdiri atas staf pengajar, mahasiswa, dan tenaga administrasi perguruan tinggi.
- Menyediakan materi perpustakaan rujukan pada semua tingkat pendidikan di perguruan tinggi dari strata 1 sampai jenjang strata 3 dan juga pengajar.
- Menyediakan ruang baca/belajar untuk pemakai perpustakaan.
- Menyediakan jasa peminjaman yang tepat bagi semua pemakai.
Sebagai
lembaga pengelola informasi, perpustakaan tidak hanya wajib melestarikan semua
fisik penyimpan informasi saja, termasuk di dalamnya Institutional repository, tapi
juga merawat dan menyebarluaskan Institutional
repository tersebut untuk memperkaya khazanah pengetahuan yang sangat
bermanfaat bagi seluruh civitas akademika sebuah perguruan tinggi khususnya, dan
umumnya bagi siapa saja yang mencari pengetahuan. Institutional repository atau IR juga merupakan koleksi yang unik
karena sangat mencerminkan lembaga dimana IR tersebut bernaung. Institutional repository univeristas misalnya, akan mencerminkan
keilmuan yang menjadi perhatian utama civitas akademika universitas tersebut. Tulisan
ini akan mengupas mengenai IR, tujuan
IR, kemanfaatan IR, dan kepemilikan IR.
DEFINISI
SEPUTAR INSTITUTIONAL REPOSITORY
Menurut
Crow dalam (Pinfield, Tt)
mendefinisikan IR sebagai “digital
collections that preserve and provide access the intellectual output of an
institution.” Sementara menurut pandangan Reitz (2010) IR adalah
“satu set layanan yang ditawarkan oleh universitas atau kelompok perguruan tinggi untuk anggota komunitas
untuk pengelolaan dan penyebaran materi ilmiah dalam format digital yang diciptakan oleh
institusi dan anggota masyarakat,
seperti e-prints,
laporan teknis, tesis, dan disertasi, data set, serta
bahan
ajar”
Dua batasan seperti dikemukan Crow dan Reitz menunjukkan bahwa
IR merupakan karya yang dihasilkan oleh masyarakat universitas yang berupa laporan
teknis, skripsi, tesis, disertasi, bahan ajar. Batasan di atas juga
mensyaratkan satu lagi unsur yang ada dalam layanan IR yaitu diakses secara mudah
karena terpasang (online). Keberadan
IR sebenarnya sudah lama. Namun istilah ini lebih banyak muncul sekarang,
terlebih didukung oleh teknologi yang memungkinkan penyebaran IR tersebut secara
luas, murah, dan mudah. Kalaupun tidak ada teknologi yang mendukung untuk
penyebaranpun, sebenarnya IR tetap harus disebarluaskan kepada masyarakat
kampus, karena dari merekalah asal IR tersebut. Hanya saja perlu diakui tanpa
bantuan teknologi informasi, barangkali kontrol terhadap IR tidak maksimal. Kontrol
yang bisa dilakukan terhadap karya civitas akademika barangkali hanya bisa
dilakukan secara konvensional oleh unit
yang bertanggung jawab atas karya yang dikeluarkannya saja. Misalnya lembaga
penelitian hanya mengongtrol karya
penelitian saja sebab lembaga penelitian punya buku induk terkait penelitian di
perguruan tinggi tempat dia bernaung, di samping lembaga tersebut yang
bertanggung jawab atas pengelolaan penelitian. Sementara, lembaga penelitian tidak
bisa mengawasi karya akhir mahasiswa. Karya akhir mahasiswa lebih banyak
dikelola oleh fakultas atau program pascasarjana. Dengan cara konvensional,
fakultas atau program pasca sarjana hanya bisa mengontrol karya akhir
mahasiswa. Itu saja barangkali hanya
bisa dilakukan untuk karya yang diterbitkan
pada lima tahun terakhir, lalu apakah fakultas masih bisa menjamin bahwa
skripsi yang diterbitkan 5 tahun lalu tidak ditiru oleh skripsi sekarang? Atau
atas alasan apa skripsi yang lama-lama tidak lagi ada di koleksi fakultas? Di
sinilah letak kesulitan bila tidak berbantuan teknologi.
Memang diakui, tanpa teknologi, lembaga penelitian hanya
bisa mengontrol karya penelitian sebatas pada apakah tema penelitian yang telah
lalu itu sama dengan penelitian yang sekarang dilakukan sebagaimana terdaftar
dalam buku induk. Bila ada kesamaan, maka lembaga penelitian bisa mengarahkan
peneliti untuk meneliti yang lainnya, atau dalam tema yang sama tapi bisa menggunakan tempat atau ada
sisi lain yang belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Demikian juga
fakultas yang ada di perguruan tinggi hanya bisa mengawasi judul skripsi yang
lalu saja untuk mengecek apakah skripsi yang sekarang merupakan duplikasi dari
skripsi sebelumnya atau tidak.
Teknologi informasi memungkinkan suatu unit dalam suatu lembaga
bisa mengecek karya yang dikeluarkan oleh unit lain dalam lembaga tersebut.
Misalnya saja, perpustakaan sangat mungkin bisa mengecek apakah suatu skripsi sudah pernah ditulis oleh mahasiswa atau
belum.
Melihat
keadaan perguruan tinggi yang tidak semuanya sudah berbasis teknologi
informasi, maka saya melihat bahwa akses secara terpasang atau online
bukan sebagai persyaratan adanya IR sebagaimana dikemukan oleh wikipedia
maupun Reitz. Adalah sangat mungkin IR
diakses secara konvensional, dimana masyarakat kampus bisa mengakses karya IR dengan
cara langsung mendatangi dimana IR tersebut disimpan.
Namun, untuk masa sekarang ini, idealnya,
batasan IR mengacu pada batasan wikipedia maupun Reitz. Dalam pengertian
tersebut, IR tidak hanya memegang peran sebagai out put atau hasil dari karya suatu civitas akademika
saja, tapi juga sebagai sarana yang bisa dijadikan komunikasi ilmiah atau
penerbitan ilmiah. Alasannya adalah bahwa anggota civitas akademika bisa
mengoreksi, dan mengkritik terbitan yang berasal dari IR. Sarana inilah yang
memungkinkan terjadinya komukasi ilmiah antar pengajar atau peneliti.
Ada
beberapa tujuan mengapa mesti ada IR, sebagaimana dicatat Wikipedia (2012) yaitu:
- Menyediakan akses terbuka kepada hasil penelitian kelembagaan
- Menciptakan visibilitas global untuk penelitian ilmiah suatu lembaga.
- Untuk mengumpulkan content dalam satu lokasi.
- Untuk menyimpan dan melestarikan aset kelembagaan digital lainnya termasuk di dalamnya grey literature, tesis, maupun laporan teknis.
MANFAAT IR
Crow dalam Pinfield (Tt)
mencatat beberapa manfaat yang bisa diambil dari IR, yaitu: adanya perluasan
penyebaran karya ilmiah sehingga memungkinkan untuk disitir oelh pihak lain;
penyebaran bisa dilakukan dengan cepat;
nilai tambah layanan informasi. Di luar kemanfaatan yang bisa diambil,
ada kemanfaatn lain dengan adanya IR yaitu untuk kepentingan pribadi penyumbang
IR dan untuk kepentingan lembaga. Untuk kepentingan pribadi, seorang penyumbang
bisa menerbitkan hasil penelitian atau karya tulisnya melalui IR perguruan
tingginya. Mengingat IR memungkinkan semua orang membaca karya orang lain, maka
secara potensial seseorang tersebut akan mendapat pengesahan dari pembaca bahwa
dia otoritatif dalam bidangnya. Seseorang yang dalam kurun waktu tertentu
selalu menerbitkan bidang filsafat misalnya, secara potensial pembaca akan menahbiskan dirinya sebagai penulis yang
otoritatif dalam bidang filsafat.
Lembaga yang menaungi IR juga akan
mendapatkan keuntungan dari membuka akses IR kepada publik. Keuntungan tersebut
tentu bukan keuntungan finansial, tapi lebih kepada keuntungan reputasi
universitas. Semakin banyak penulis mensitir karya akademisi universitas
tertentu, maka univeritas tersebut semakin diakui sebagai universitas yang
punya reputasi dalam bidang pengetahuan
tertentu. Reputasi baik akan membuat peringkat universitas tersebut semakin
naik dan akan diperhitungkan oleh masyarakat. Dan untuk komunitas peneliti,
sesungguhnya IR menghindarkan dari duplikasi karya penelitian.
IR, MILIK SIAPA?
Ada
pertanyaan menarik berkaitan dengan IR, siapa pemilik karya akhir mahasiswa
baik dari strata1 sampai strata3? Siapa pula pemilik hasil penelitian yang
sudah dilakukan oleh pengajar?
Sekilas
kita tidak pernah mempersoalkan kepemilikan karya akhir mahasiswa dan hasil
penelitian, padahal menurut saya ada hal-hal yang perlu dicermati dari dua
karya tersebut. Semua orang sudah tahu bahwa, katakan, skripsi, tesis, atau
disertasi adalah milik mahasiswa dan pemegang hak ciptanya adalah mahasiswa.
Namun bila dicermati mengenai proses peneyelesaian karya tersebut, maka perlu
dipertanyakan ulang, apakah benar mahasiswa merupakan pihak yang benar-benar
menulis karya akhir tersebut tanpa
campur tangan dari pihak lain, dalam hal ini adalah dosen pembimbing.
Dalam
proses pembuatan skripsi, pasti mahasiswa dipandu oleh dosen tentang cara
pengutipan, penulisan serta diarahkan medote apa yang mesti digunakan dalam
penelitian. Tidak hanya itu, dalam ujian seminar, pembimbing juga berusaha
membela mahasiswa bimbingannya agar
proposal skripsi, tesis, atau disertasi lolos dari ujian. Dari sini saja terlihat
jelas bahwa mahasiswa bukan satu-satunya pihak yang berkontribusi menyelesaikan sebuah karya akhir. Bila
faktanya demikian, maka mahasiswa tidak berhak mengklaim 100% bahwa karya akhir
adalah karyanya semata. Ternyata ada kolaborasi pihak lain dalam penyelesaian
karya tersebut.
Hak cipta meliputi dua hal yaitu, hak ekonomi dan hak
moral yang melekat pada diri penulis suaru karya. Dalam pandangan saya, dalam
kasus karya akhir, ada kelonggaran kepemilikan pada karya tersebut. Selama
karya terebut masih dalam bentuk aslinya yaitu skripsi. Kepemilikan skripsi ada
pada penulisnya sebab penulis tetap sebagai “aktor intelektual” atas skripsi
yang ditulisnya. Sementara bila ada reproduksi akan karya tersebut, misalnya
dijadikan buku umpamanya, tentu kepemilikan harusnya berubah tidak hanya
penulisnya saja, tapi harus mencantumkan pembimbing sebagai pengarang keduanya.
Dengan cara ini, maka jelas, bahwa kepemilikan hak moral melekat pada dua pihak
yaitu penulis dan pembimbing. Sementara hak ekonomi bisa saja melekat pada
penulis skripsi dan pihak lain yang menerbitkan karya tersebut.
Lalu
bagaimna dengan hasil penelitian? Hasil penelitian berbeda dengan karya akhir
(skripsi, tesis, disertasi). Penyusunan laporan penelitian tidak memerlukan
pembimbing sebagaimana skripsi.
Sejauh ini,
penelitian yang dilakukan oleh para dosen adalah penelitian yang dibiayai oleh negara
(DIPA). Artinya bahwa biaya penelitian dosen tidak dibebankan pada dosen yang bersangkutan,
melainkan seratus persen dibiayai oleh DIPA.
DIPA disalurkan melalui lembaga penelitian. Mengacu dari sini, lembaga
penelitian berkewajiban mendanai biaya penelitian, sementara dosen peneliti
wajib menyerahkan hasil penelitian kepada lembaga penelitian.
Bila benar
bahwa pembiayaan penelitian dilakukan oleh lembaga penelitian, maka dosen
peneliti hanya punya hak moral saja terhadap hasil penelitiannya, sementara hak
ekonomi melekat pada lembaga penelitian. Lembaga penelitian berhak untuk menyebarluaskan
hasil penelitian atau bahkan mengkomersilkan hasil penelitian biarpun tanpa
persetujuan dosen peneliti.
PENUTUTP &REKOMENDASI
Sebenarnya,
perguruan tinggi sangat kaya akan karya ilmiah yang dihasilkan oleh civitas
akademikanya. Namun sayang karya ilmiah tersebut belum dimaksimalkan sebagai
salah satu rujukan bagi seluruh
masyarakat kampus. Ada dua kemungkinan mengapa karya civitas akademika ini
kurang populer sehingga tidak dimaksimalkan penggunaanya, yaitu pertama,
universitas atau perguruan tinggi tidak pernah menunjuk unit mana yang bertanggung jawab atas publikasi IR
(karya penelitian disebarluaskan secara bebas), dan kedua, barangkali tidak
semua penulis karya/peneliti merasa nyaman bila semua karyanya dipublikasikan
melalui fasilitas IR tersebut.
Saya sangat
berharap univeritas bisa mengembangkan IR semaksimal mungkin. Sebenarnya,
selama ini, perpustakaan sudah banyak mempublikasikan
IR perguruan tinggi, namun masih terbatas pada publikasi karya akhir mahasiswa
(skripsi) saja dengan fasilitas perpustakaan digital. Sementara karya
penelitian belum banyak diekpose untuk pengembangan pengetahuan publik.
Ke depan,
seluruh karya civitas akademika peguruan tinggi harus dikumpulkan dalam IR yang
tidak hanya berupa tugas akhir dan hasil penelitian saja, tapi semua karya
ilmiah yang pernah dihasilkan termasuk di dalamnya karya orang di luar civitas
akademika perguruan tinggi yang menulis
tentang perguruan tinggi tersebut.
Mengingat
perpustakaan merupakan pihak yang paling berpengalaman mengurusi IR, maka tidak
berlebihan bila perpustakaan pula yang akhirnya menangani IR civitas akademika perguruan
tinggi. Hanya saja, agar usaha ini juga mendukung terhadap pemeringkatan
universitas (webometric) maka perguruan tinggi sebagai lembaga induk
perpustakaan, harus membantu dengan mengusahakan software yang memungkinkan IR tersebut
dicrowler oleh google, sehingga publikasi
IR benar-benar mempengaruhi webometric perguruan tingi yang bersangkutan.
Bibliografi
Drake, Miriam A. (2004). Institutional Repositories: Hidden Treasures.
Tersedia di http://www.infotoday.com/searcher/may04/drake.shtml (29-03-12)
Institutional repository. (2012). Tersedia
di http://en.wikipedia.org/wiki/Institutional_repository.
(29-03-12)
Johnson,
Richard. (2002).”
Institutional Repositories: Partnering
with Faculty to Enhance Scholarly Communication”. D-Lib Magazine, November 2002. Volume 8 Number 11. Tersedia di http://www.dlib.org/dlib/november02/johnson/11johnson.html
(12-06-12).
Pinfield, Stephen. (TT). Creating Institutional
Repositories. File presentasi.
The University of Notingham.
Reitz, Joan. (2010). Isntitutional repository. Tersedia di http://www.abc-clio.com/ODLIS/searchODLIS.aspx (29-03-12).
Sulistyo-Basuki. (2009). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ulumi, Bahrul. (2009). Implementasi Hak Cipta oleh pustakawan
perguruan tinggi: studi kasus di Perpustakaan UI dan UNJ. FIB Universitas
Indonesia. (Tesis).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar