Setiap bulan Ramadan datang, kelompok orang yang monco (tinggal di luar daerah kelahiran) sudah kepikiran akan pulang kampung. Pulang kampung (walau tidak selamanya benar-benar kampung) punyai nilai mulia Karena merupakan panggilan untuk menyambung silaturrahim dengan sanak keluarga. Aku termasuk salah satu yang pernah masuk katagori monco (kisaran tahun 2007-2009). Moncoku terbilang jauh karena berada di Depok. Depok yang aku tinggali sebenarnya tidak kota banget. Desanya saja bernama Kukusan. Kukusan dalam dalam bahasa Jawa berarti tempat untuk mengukus. Namun kata orang lokal sana yang betawi banget, Kukusan bukan berarti kukusan (tempat mengukus pengenan) tapi kokosan. Kokosan sejenis buah duku yang hidup subur di daerah Kukusan kecamatan Beji Kotif Depok. Sayang sekali buah kokosan sudah tidak banyak tumbuh di sana karena kalah dengan city town, rumah kos, atau rumah hunian biasa.
Jarak Kukusan dengan rumah yang aku tinggali sekitar 500.000an km. Mengingat jaraknya sangat jauh, aku perlu menyiapkan jurus jitu agar bisa pulang dengan nyaman. Atas alasan kenyamanan inilah maka kereta api menjadi pilihan utama. Kereta api masih punya belas kasihan bagi yang puny anak kecil seperti keluarga kecilku, buktinya anak kecil hanya membayar 75% dari harga tiket. Coba kalau bus umum misalnya, pasti kena charge full 100%. Cuma saja yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar bisa mendapatkan tiket pulang. Aku kira soal tiket ini bukan masalah pribadiku saja, tapi hampir semua pemudik akan punya masalah yang sama yaitu bagaimana mendapat tiket. Bahkan banyak pemudik tidak begitu peduli dengan harga karcis kerata, yang penting bisa memegang itu tiket dengan harga berapapun. Pandangan pemudik sepert inilah yang justru menguatkan hukum pasar, dimana permintaan meningkat sementara ketersedian tiket terbatas, maka harga tiket akan melonjak tajam. Kalau dipikir sih rugi sendiri bagi pemudik sebab dia yang kena pengaruh langsung terhadap kenaikan harga tiket. Coba saja orang kota atau orang yang selama ini monco tidak melakukan mudik masal pada hari raya indul fitri, pasti tak ada ceritanya tiket angkutan umum naik yang berlipat-lipat. Tapi tak mungkinkan mencegah mereka untuk tidak mudik?
Aku sendiri punya jurus tersendiri untuk bersaing dengan para pembeli tiket kerata api. Karena posisiku di Depok, maka KRL merupakan alat transport yang paling taktis. Seperti biasa aku berangkat ke stasiun UI dan turun ke stasiun Tebet untuk selanjutnya menuju stasiun Jatinegara dengan angkot. Beberapa receh uang sudah kusiapkan untuk mereka yang minta-minta, baik yang berada di stasiun maupun yang ada dalam kereta. Dalam pandanganku, sedikit dikalikan banyak lebih baik daripada banyak dikalikan sedikit. Maksudnya bahwa lebih baik memberi peminta-minta dengan uang sedikit, tapi bisa menyebar ke banyak peminta-minta daripada memberi dengan uang yang banyak pada satu peminta saja. Idealnya sih memberi banyak uang pada peminta yang berjumlah banyak dari pada sedikit uang untuk banyak peminta-minta.
Mengingat banyak sekali peminta-minta baik di kereta maupun di stasiun, maka aku menyiapkan receh sejumlah sekian, dan aku sudah memulai memberi peminta-minta ketika nyampe Stasiun UI.
Kalkulasiku sederhana saja bahwa aku yakin berbagi pada sesama akan membawa banyak kemuhan. Berbagi di stasiun akan membawa kebaikan pada waktu naik kereta dan ketika berada di atas kereta. Sementara berbagi di atas kereta akan membawa kemudahan pada langkah selanjutnya.
Sesampai di Stasiun Jatinegara, sudah kudapati antrian yang panjang. Kata koran di Jakarta menyebut antrian panjang dengan mengular. Garis antrian memang benar-benar mengular formasinya. Tidak ada pilihan bagiku kecuali harus ikut serta antri bersama para pemudik lainnya. Aku langsung menempati ekor ular antrian. Cara ini merupakan cara yang paling sesuai etika karena tidak memotong antrian. Memotong antrian sama dengan memotong harapan pembeli tiket.
Mengingat antrian semakin memanjang, seorang petugas dari PJKA bagian tiket berinisiatif membuka kotak layanan tiket lagi biar antrian tetap terkendali dan tentu mempercepat akses tiket. Dari kantor ruang tiket muncul seseorang berseragam khas KAI mendekatiku. Tanpa dinyana dan tanpa disangka, dia menuntunku untuk mendekat ke loket tiket seraya bilang:
“Mas beli tiket kereta untuk kapan dan berapa orang?”
Aku kaget dan langsung menjawab
“2 orang dewasa dan 2 anak kecil jurusan Semarang untuk nanti malam jam 19.30.”
Tiket yang aku idam-idamkan sudah di tangan. Dengan senyum mengembang, aku tingggalkan Stasiun Jatinegara untuk segera persiapan guna kepulangan nanti malam.
Aku yakin, ini rekayasa tuhan, bukan kebetulan. Dan aku yakin pula sedekah yang tidak seberapa besar benar-benar memudahkan urusan, termasuk urusan tiket untuk pulang kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar