Rabu, 02 September 2009

Problematika Penegakan Hak Cipta Di Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perspektif Pustakawan)*

Oleh Bahrul Ulumi

Abstrak
Pengelola dan pemustaka (end user) perpustakaan sering menggandakan atau memperbanyak bahan-bahan yang ada di perpustakaan. Selama ini belum ada panduan yang bisa digunakan sebagai acuan bagi pengelola perpustakaan maupun pemustakanya dalam hal penggandaan bahan perpustakaan apakah sudah dalam koridor Hak Cipta atau belum. Tulisan ini mencoba menyoroti kegiatan penggandaan/perbanyakan di perpustakaan perguruan tinggi dalam perspektif pustakawan.

1. Pengantar

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan terjemahan dari academic library yang didefinisikan Dictionary of Information and Library Management (2006: 1) sebagai perpustakaan yang melayani komunitas akademis seperti perpustakaan universitas atau perpustakaan perguruan tinggi. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, Hermawan dan Zen (2006:33) memberi definisi perpustakaan perguruan tinggi sebagai perpustakaan yang terdapat di lingkungan pendidikan tinggi, seperti universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan lembaga perguruan tinggi lainnya.

Tugas utama perpustakaan perguruan tinggi adalah mengembangkan, mengelola, dan memberdayakan informasi yang terekam dalam koleksinya. Menurut Gabriel (1950) mengembangkan koleksi (collection development) adalah proses sistematis untuk membangun koleksi guna keperluan belajar, pengajaran, riset, rekreasi serta untuk keperluan pemustaka lainnya (Johnson, 2004: 2). Maka perpustakaan diharapkan menyimpan berbagai macam subyek koleksi terkini sesuai dengan kebutuhan pemustakanya. Mengelola berarti mengolah bahan-bahan perpustakaan sedemikian rupa dengan cara diklasifikasi, dikatalogisasi, diberi label, diberi barcode dan sebagainya sehingga bahan-bahan tersebut bisa dengan mudah disimpan, ditata dalam rak-rak perpustakaan dan mudah ditemukembali bilamana diperlukan. Memberdayakan informasi yang terekam dalam koleksi perpustakaan berarti membuka akses informasi seluas-luasnya kepada pemustaka.

Seluruh bahan-bahan yang ada dalam di koleksi perpustakaan, tentu disusun oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum sebagai pencipta. Untuk melindungi karya itulah diperlukan perangkat hukum berupa Undang-undang Hak Cipta. Nilai penting Undang-undang Hak Cipta adalah untuk melindungi ciptaan dari upaya eksploitasi terhadap suatu karya oleh seseorang atau pihak lain yang tidak punya hak untuk itu. Keberadaan undang-undang Hak Cipta juga dimaksudkan untuk menghindari dari upaya perbanyakan/penggandaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, disamping untuk merangsang masyarakat agar terpacu mencipta suatu karya-karya baru di bidang seni, sastra dan inovasi teknologi.

Namun dalam praktek sehari-hari, seringkali pemustaka (pengguna perpustakaan) atau bahkan pengelola perpustakaan melakukan penggandaan atau perbanyakan dengan cara memfotokopi seluruh bahan, misalnya memfotokopi satu buku utuh, atau juga mengkopi dari bahan-bahan nonbuku yang ada di perpustakaan.
Mengacu dari persoalan di atas, maka timbul masalah apakah sebenarnya praktek yang dilakukan oleh pengelola dan pemustaka perpustakaan dengan menggandakan bahan-bahan perpustakaan dikategorikan sebagai ketidaktaatan kepada hukum Hak Cipta, atau penggandaan adalah kegiatan yang dibolehkan oleh pengelola perpustakaan maupun pemustakanya karena untuk kepentingan pendidikan.

2. Hak Kekayaan Intelektual

Hak kekayaan intelektual merupakan padanan istilah intellectual property right. Ada juga yang menerjemahakan istilah ini dengan hak milik intelektual, hak atas kekayaan intelektual (HAKI/HaKI), dan juga hak kekayaan intelektual. Penerjemahan ini beragam sebab terkandung kata property yang berarti kepemilikan terhadap benda. Untuk itulah ketika muncul istilah intellectual property right maka diterjemahkan sebagai hak milik intelektual. Namun demikian ada ahli yang tidak sependapat bila intellectual property right diterjemahkan dengan hak milik intelektual sebab kepemilikan terhadap intelektual berbeda dengan kepemilikan terhadap benda umumnya. Misalnya seseorang yang menyerahkan naskah kepada penerbit untuk dierbitkan sebagai sebuah buku. Penerbit punyak hak untuk menerbitkan dan memperbanyak buku tersebut, namun penerbit tidak berhak sama sekali untuk mengubah nama pengarangnya, apalagi mengubah substansi isi buku tersebut. Maka bila intellectual property right diterjemahkan dengan hak milik intelektual dirasa tidak tepat. Demikian juga bila diterjemahkan dengan hak atas kekayaan intelektual. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M.03.PR.07.10 tahun 2000 menyatakan bahwa istilah yang digunakan untuk padanan istilah intellectual property right adalah hak kekayaan intelektual, tanpa kata “atas” atau disingkat dengan HKI. Alasan perubahan istilah tersebut diantaranya karena menyesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia yang tidak menulis kata depan untuk suatu istilah (Purba, Saleh, Krisnawati, 2005).

Kekayaan intelektual merupakan bagian dari benda, yaitu benda yang tidak berwujud benda immateriil). Pasal 499 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH perdata) berbunyi “menurut paham undang-undang yang dimaksud dengan benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasi oleh hak milik”. Menurut Mahadi, seperti diungkapkan Saidin (2007:12) bahwa yang bisa menjadi obyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri atas barang dan hak. Selanjutnya menurut Mahadi barang yang dimaksudkan dalam pasal 499 KUH Perdata adalah benda materiil sedangkan hak adalah benda immateriil.

Ruang lingkup hak kekayaan intelektual mencakup dua macam hak yaitu Hak Cipta (copyright) dan Hak Kekayaan Industri (industrial property right). Hak Kekayaan industri terdiri atas paten (patent), Model dan rancang bangun (Utility models), Desain industri (industrial designs), Rahasia dagang (Trade secret), Merk (trade marks), Merek jasa (Service marks), Nama dagang atau nama niaga (Trade names or commercial names), Sebutan asal barang (Apletion of origin), Indikasi asal barang (Indications of origin), Perlindungan persaingan curang (unfair competition protection), Perlindungan varietas baru tanaman (New varieties of plants protection), Desain tata letak sirkuit terpadu (Integrated circuit).
Pembagian ini penting dikemukakan sebab seringkali istilah Hak Cipta, paten, merk atau hak-hak lainnya yang terdapat dalam hak kekayaan intelektual dicampuradukkan, padahal masing-masing istilah punya pengertian dan karakteristik yang berbeda antara satu dengan lainnya.

3. Konsep Hak Cipta
Dalam istilah Hak Cipta terdapat dua kata, yaitu hak dan cipta. Hak berarti kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan, cipta adalah hasil kreasi manusia yang dihasilkan karena akal, nalar, perasaan, pengalaman dan kreatifitas (Bintang, 1998). Setiap orang punya kemampuan untuk berpikir, namun tidak semua orang mampu menuangkan hasil pemikiran dalam bentuk karya tertentu. Hak Cipta ini diberikan kepada karya yang sudah berwujud bukan pada ide. Ide seorang profesor yang sangat cemerlang sekalipun mengenai suatu bidang subyek tertentu yang ia sampaikan dalam suatu kuliah, namun dia tidak merekam ide tersebut dalam suatu media, dan tidak juga menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Lalu di kemudian hari salah satu mahasiswanya menulis ide profesornya ke dalam suatu buku, maka Hak Cipta buku ada pada mahasiswa yang menulis.

Menurut UUHC tahun 2002 pasal 1 butir 1 Hak Cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan yang berlaku”.

Sebagai perbandingan, Hak Cipta menurut Unversal Copyright Convention sebagaimana tertuang dalam artikel V adalah “The right referred to article 1 shall include the exclusive right of the author to make, publish and autrorize the making and publication of translation of works protected under this convention”.

Konsep Hak Cipta yang diberikan oleh UUHC 2002 dan Unversal Copyright Convention mempunyai kesamaan dengan menggunakan redaksi “hak eksklusif”. Ekslusif berarti khusus, spesifik dan juga unik. Hak ekslusif berarti hak yang semata-mata diperuntukkan untuk pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali mendapat ijin dari pemegangnya (Saidin, 2007). Adalah wajar bila pencipta mendapat hak ekslusif sebab mampu menuangkan ide dalam sebuah karya nyata dalam bentuk buku, karya seni atau karya dalam bentuk lainnya. Sebagai ilustrasi, banyak orang yang bisa memainkan alat musik belum tentu mampu mengarang sebuah lagu yang baik. Seorang seniman seringkali membutuhkan waktu yang lama untuk membuat sebuah karya musik. Kadang-kadang membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mencipta hanya sebuah lagu. Dalam suatu wawancara, Rhoma Irama menyampaikan bahwa dia membutuhkan waktu tiga tahun untuk mencipta sebuah lagu dengan judul “judi” (Metro TV, 2009). Untuk itulah sudah sewajarnya bila mereka mendapatkan hak khsusus atas ciptaannya.

Selanjutnya dalam pasal 1 butir 2 UUHC menjelaskan bahwa pencipta adalah “seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan berisfat pribadi”. Pencipta bisa seseorang atau beberapa orang, lembaga atau instansi, badan hukum, dan Negara. Keberadaan Hak Cipta ini dimaksudkan untuk mencegah pihak lain agar tidak mengambil keuntungan dari suatu ciptaan tanpa sepengetahuan pencipatnya secara tidak jujur.
Pemegang Hak Cipta merupakan pihak yang berhak untuk menguasai dan mengawasi Hak Ciptanya. Hal ini sesuai dengan Pasal 507 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) bahwa setiap hak milik mempunyai unsur kemampuan menikmati benda dan kemampuan untuk mengawasi atau menguasai benda yang menjadi obyek hak milik itu, misalnya mengalihkan hak milik itu kepada pihak lain.

Sejalan dengan KUHPer, UUHC tahun 2002 pasal 3 menganggap Hak Cipta sebagai benda yang bergerak, karena Hak Cipta dapat dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian dengan cara pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan atau sebab-sebab lain yan dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Dibanding dengan hak kekayaan intelektual lainnya, Hak Cipta mempunyai kekhususan tersendiri. Dalam Hak Cipta terkandung hak ekonomi dan hak moral. Menurut Djumhana dan Djubaedillah (2003:74) Hak ekonomi berarti hak untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta.

3.1 Hak Ekonomi

Hozumi (2006) menyebut setidaknya ada sembilan macam hak ekonomi yakni:

1) Hak perbanyakan (right of reproduction). Hak ini paling substansial dalam hak kekayaan intelektual. Perbanyakan berarti pernggandaan dalam bentuk kongkrit melalui cetakan, alat scanner, mesin fotokopi dan sebagainya.

2) Hak mempertunjukan (right of performance). Hak ini dimiliki oleh seseorang yang menuangkan karyanya dalam bentuk pertunjukan seperti seniman musik, seniman teater atau seninam yang lainnya.

3) Hak menyajikan (right of presentation). Pada masa lalu hak ini hanya diterapkan pada pemutaran film saja dengan memproyeksikan pada suatu layar lebar. Namun sekarang teknologi ini bisa diterapkan juga untuk kepentingan pribadi dengan layar komputer dan layar LCD.

4) Hak menyebarkan (right of public transmission). Pencipta punya hak untuk menyebarluaskan ciptaannya dengan cara menjual, menyewakan atau kegiatan lainnya dengan maksud agar ciptaannya dikenal oleh masyarakat luas.

5) Hak menuturkan (right of recitation). Hak menuturkan merupakan hak pencipta untuk menyampaikan, menceritakan isi karyanya kepada masyarakat umum.

6) Hak memamerkan (right of exhibiton). Pencipta merupakan pemegang hak khusus dalam memamerkan karya-karyanya di depan umum. Hak memamerkan menyangkut peragaan karya seni misalnya fotografi.

7) Hak distribusi (right of distribution, transfer of ownership and lending). Adalah mengalihkan hak milik, atau meminjamkan kepada pihak lain. Hak distribusi berlaku untuk penjualan dan penyewaan piranti lunak video game. Purba, Saleh dan Krisnawati (2005:21) menyebut hak pinjam ini dengan Hak pinjam masyarakat (public lending right), yaitu hak pencipta atas pembayaran ciptaan yang tersimpan dalam perpustakaan umum, yang dipinjam oleh masyarakat. Hak ini berlaku di Inggris dan diatur dalam The Public lending Right Scheme 1982. Ketentuan ini menyebtu bahwa yang mendapat perlindungan hak pinjam masyarakat adalah warga negara Inggris saja. Pemerintah diwajibkan membayar untuk tiap buku yang dipinjam oleh masyarakat sebanyak 1.45 pence tiap tahunnya.

Djumhana dan Djubaedillah (2003) menambahkan bahwa perlindungan terhadap hak pinjam masyarakat berlangsung selama pencipta hidup ditambah lima puluh tahun setelah pencipta meninggal dunia. Tidak semua pencipta mendapatkan pembayaran dari pemerintah. Hanya pencipta yang telah mendaftarkan pada lembaga hak pinjam yang akan mendapatkan bayaran.

8) Hak terjemahan, aransemen, transformasi dan adaptasi (right of translation, arrangement, transformation, and adaptation). Pencipta sepenuhnya berhak untuk menerjemahkan, mengaransemen musik, atau mengadaptasi ciptaanya untuk membuat turunan. Terjemahan berarti mengeskpresikan suatu karya ke dalam bahasa lain. Mengaransemen berarti mengubah karya musik dengan menambahkan atau mengurangi elemen elemen kreatif baru pada karya musik yang telah ada. Transformasi berarti mengubah bentuk ekspresi. Adaptasi adalah mengubah karya dengan ekspresi lain. Misal karya novel diadapatasi untuk dijadikan film atau sandiwara. Karya adaptasi ini tidak mengubah substansi yang ada dalam karya aslinya.

9) Hak eksploitasi ciptaan turunan (rigt in the exploitation of derivative work). Ciptaan turunan merupakan ciptaan baru yang diciptakan melalui terjemahan, aransemen, transformasi, atau adaptasi. Keunikan hak ciptaan turunan ini adalah biarpun pemilik hak ciptanya adalah pemilik Hak Cipta turunan namun di saat yang sama, pencipta ciptaan orisinal juga memiliki hak yang sama dengan hak pencipta.

3.2 Hak Moral
Dalam pandangan Purba, Saleh, Krisnawati (2005) hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi atau reputasi pencipta atau penemu. Hak moral ini secara kekal melekat pada diri pencipta. Hak moral mencakup tiga hal yaitu: pertama, hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta agar nama pencipta selalu dicantumkan pada ciptaannya. Hak ini juga bermakna pencipta memiliki hak untuk menentukan apakah nama pencipta harus dicantumkan atau tidak. Dan apakah nama sebenarnya atau nama samarannya yang digunakan. Pencipta juga memiliki hak untuk menentukan hal ini bila sebuah ciptaan turunan diumumkan. Kedua, hak untuk tidak melakukan perubahan pada ciptaan tanpa persetujuan pencipta atau ahli warisnya. Ketiga, hak pencipta untuk mengadakan perubahan pada ciptaan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kepatutan yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut UUHC tahun 2002 Pasal 12 butir 1, jenis ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta adalah:

a. buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikaan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantmim
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni atung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur
h. peta
i. seni batik
j. fotografi
k. sinematografi
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan kary alain dari hasil pengalihwujudan.

4. Hak Cipta dan Koleksi Perpustakaan

Menurut UU No 43 tahun 2007 koleksi perpustakaan adalah “semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah dan dilayankan”. International Encyclopedia of Information and Library Science (2003:371) secara singkat mendefinisikan koleksi pepustakaan sebagai koleksi bahan-bahan yang ditata dengan cara tertentu untuk dimanfaatkan.

Dari segi fisik media, koleksi perpustakaan pada umumnya dibagi menjadi dua kategori yaitu bahan tercetak dan noncetak. Bahan tercetak meliputi buku, majalah/jurnal, koran, tesis disertasi dan bahan-bahan referensi yang meliputi kamus, ensiklopedi, sumber biografi, sumber geografi, sumber bilbiografi, majalah indeks dan abstrak, dan buku tahunan. Sedangkan bahan noncetak meliputi online database, CD ROM, bentuk mikro (microform) dan sebagainya. Karya-karya tersebut umumnya disebut sebagai karya tulis (Bintang, 1998).

Bahan-bahan yang dikoleksi oleh perpustakaan merupakan karya yang dilindungi oleh hukum positif Indonesia khususnya hukum Hak Cipta dan konvensi internasional mengenai Hak Cipta. Artinya karya atau ciptaan yang diciptakan oleh warga negara asing peserta konvensi akan mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan perlindungan yang diberikan oleh pencipta warga negara Indonesia. Pada prinsipnya kehadiran hukum Hak Cipta di negara manapun dimaksudkan untuk mencegah pihak lain di luar pencipta maupun pemegang Hak Cipta mengambil keuntungan karena kreativitas pencipta. (Bainbridge, 2002). Disamping itu, perlindungan juga dimaksudkan untuk memotivasi masyarakat agar mau berkarya nyata dalam bidang apa saja, baik karya tulis, seni, sastra maupun dalam inovasi teknologi.

5. Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Perpustakaan.

Hak Cipta berbeda bila dibandingkan dengan undang-undang lain dalam hak kekayaan intelektual. Hak Cipta mengenal adanya pembatasan dan pengecualian sebagaimana tertuang dalam pasal 14-18. Terkait dengan perpustakaan, pasal 15 menyatakan: dengan syarat bahwa sumbernya disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: Selanjutnya dalam butir e disebutkan “Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non komersial, semata-mata untuk keperluan aktivitasnya”.

Butir ini bermakna bahwa dengan syarat sumbernya disebutkan atau dicantumkan tidak dianggap sebagai pelanggaran terhadap Hak Cipta termasuk perbanyakan yang dilakukan oleh perpustakaan, yang semata-mata untuk keperluan aktivitasnya. Penjelasan atas UUHC No 19 tahun 2002 tidak mengurai lagi apa yang dimaksud dengan “semata-mata untuk keperluan aktivitasnya”. Apakah perbanyakan sebesar sepuluh persen, dua puluh persen, lima puluh persen, atau bahkan keseluruhan dari suatu bahan perpustakaan tidak melanggar Hak Cipta asalkan dilakukan oleh institusi perpustakaan?
IFLA Committee on Copyright and Other Legal Matter (2008) mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan dan pengecualian terhadap Hak Cipta guna memenuhi misinya untuk melayani publik. Pembatasan dan pengecualian tersebut diantaranya:

1.Pendidikan (education)
Perbanyakan boleh dilakukan oleh perpustakaan dan lembaga pendidikan untuk keperluan pengajaran di kelas ataupun untuk pendidikan jarak jauh asalkan tidak mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang Hak Cipta.

2.Keperluan penelitian pribadi (research or private purposes)
Menyalin karya yang ada Hak Cipta dibolehkan karena keperluan pribadi.

3.Karya anak yatim (orphan works)
Sebuah pengecualian diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan karya anak-anak yatim yang tidak diketahui siapa pemiliknya dan dimana pemiliknya berada.

4.Keperluan pinjam antarperpustakaan (interlibrary document supply)
Perpustakaan dibolehkan untuk berbagi sumber dengan perpustakaan lainnya sebab tidak mungkin sebuah perpustakaan mampu mengoleksi seluruh subyek yang dibutuhkan oleh pemustakanya.

5.Ketentuan untuk orang cacat (provision for person with disabilities)
Sebuah perpustakaan seharusnya dibolehkan untuk mengubah bahan perpustakaan dalam bentuk atau format lain untuk kepentingan orang cacat.

6.Tindakan perlindungan teknologi yang menjaga penggunaan secara sah (TPMs/Technological protection measures that prevent lawful uses.

7.Kontrak versus pengecualian perundangan (Contracts v statutory exceptions)
Kontrak seharusnya tidak diperbolehkan untuk menghilangkan pengecualian dan pembatasan.

8.Jangka waktu perlindungan Hak Cipta (copyright term).
Masa berlaku Hak Cipta adalah 50 tahun setelah kematian penciptanya sesuai dengan Konvensi Berne, dan tidak bisa ditambah lagi.

IFLA nampaknya belum memberikan pedoman menyeluruh terhadap pembatasan dan pengecualian Hak Cipta yang ada di perpustakaan.

Bielefied dan Cheeseman (1993) sebagaimana dikutip Krihanta (2002: 42-43) membagi pembatasan dan pengecualian Hak Cipta di perpustakaan dalam tiga hal, yaitu first sale doctrine, fair use, dan library privilege.

1) First Sale Doctrine

Ada doktrin di perpustakaan bahwa bahan-bahan yang sudah dibeli oleh perpustakaan, maka bahan-bahan tersebut boleh dipinjamkan kepada pemustaka. Bahan-bahan perpustakaan yang boleh dipinjamkan meliputi bahan tercetak meliputi buku, majalah, pamplet, dan sebagainya. Bahan noncetak meliputi bahan rekaman, perangkat lunak komputer. Tentu untuk bahan noncetak perpustakaan harus membuat aturan sendiri.

2) Fair Use

Fair Use merupakan doktrin pada hukum Hak Cipta Amerika Serikat yang membolehkan penggunaan bahan-bahan yang ada hak ciptanya secara terbatas tanpa harus mendapatkan ijin dari pemilik hak cipta. Penentuan fair use didasarkan pada:

 Tujuan dan karakter penggunaan, apakah untuk tujuan komersial atau pendidikan yang nonprofit.
 Jenis materi yang memiliki Hak Cipta.
 Jumlah dan porsi substansial yang digunakan dari materi yang memiliki Hak Cipta. Penggunaan bukan masalah kuantitatif, tapi jika satu kalimat dari suatu karya besar dimana karya tersebut merupakan esensinya, maka penggandaanya tidak dianggap sebagai fair use.
Akibat dari penggandaan terhadap pemasaran potensial atau nilai suatu karya. Akibat penggandaan harus di lihat apakah mengganggu pemasaran potensial atau tidak.

3) Library privilage

Pengecualian yang dimiliki oleh perpustakaan adalah reproduksi untuk archival reproduction, tujuan deposit, mengganti yang rusak, dan juga untuk tujuan interlibrary loan.

Pengaturan fair use tentang perbanyakan dengan memfotokopi lebih tampak tegas dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Martin (1991) menjelaskan bahwa di Amerika serikat terdapat pedoman mengenai perbanyakan karya tulis yang dibenarkan di lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan penafsiran dari Hak Cipta tahun 1976 menyangkut fotokopi. Berdasar pedoman ini bahwa pengajar dibolehkan melakukan single copy dari satu bab dari sebuah buku, sebuah artikel dari suatu jurnal, sebuah cerita pendek, sebuah diagram, grafik, atau chart dari karya tulis yang memiliki Hak Cipta. Penggandaan dibolehkan lebih dari satu eksemplar bila memenuhi syarat (1) brevity. Misal seseorang dibolehkan memfotokopi tidak lebih dari 1000 kata dari suatu artikel atau karya tulis yang terdiri atas 2500 kata. (2) spontaniety, kebutuhan mendesak yang tidak direncanakan sebelumnya (3) cummulative effect, fotokopi hanya dibolehkan untuk satu pelajaran saja di sekolahan. Di luar itu, memerlukan izin kepada pencipta atau pemegang Hak Ciptanya (Bintang, 1998: 77-78).

Dalam kasus pembatasan Hak Cipta di Inggris, Norman (1999: 16-17) menyatakan bahwa layanan fotokopi ini dibolehkan dengan kondisi sebagai berikut:

1. Pemesan/pemustaka menandatangani sebuah formulir yang menyatakan bahwa:

Sebuah fotokopi terhadap bahan yang sama belum pernah diberikan oleh pustakawan
Bahan yang difotokopi hanya untuk keperluan riset atau hanya untuk studi pribadi.
Peminta/pemohon fotokopi tidak menyadari bahwa ada pemohon lain yang ternyata memohon untuk bahan yang sama.

2. Pustakawan tidak boleh menerima permintaan bahan fotokopi terhadap bahan yang secara substansional sama pada saat yang bersamaan ( istilah ini tidak didefinisikan).

3. Tidak lebih dari satu artikel untuk satu jurnal dalam seklai terbit.

4. Pustakawan harus menarik bayaran untuk bahan fotokopi untuk biaya reproduksi, serta untuk pembiayaan perpustakaan.

6. Dilema penegakan hukum Hak Cipta

Prinsip hukum Hak Cipta, atau konvensi-konvensi internasional terkait dengan hak kekayaan intelektual selalu bermotifkan ekonomi. Tidak mengherankan bila pengusung konvensi internasional adalah negara-negara maju yang menghasilkan komoditas yang memiliki Hak Cipta seperti perangkat lunak komputer, film, inovasi teknologi dan sebagainya. Untuk itulah negara-negara maju seringkali menekan negara-negara berkembang agar memberlakukan hukum Hak Cipta di negaranya guna melindungi komoditas ekspornya.

Keadaan ini sangat berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia. Kebanyakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal yang sering mengesampingkan Hak Cipta. Bagi mereka, bisa menghasilkan suatu ciptaan yang berguna untuk masyarakat saja sudah lebih dari cukup. Dalam suatu penelitian di daerah Boyolali dan Surakarta yang dilakukan oleh Absori (Riswandi dan Syamsudin, 2004: 202) ditemukan bahwa kebanyakan pengrajin tembaga di sana tidak mempermasalahkan bila corak dan model tembaga mereka ditiru oleh pihak lain. Mereka juga tidak menuntut para penirunya ke lembaga pengadilan. Walau mereka sadar sepenuhnya peniruan terhadap karya mereka akan merugikan secara ekonomis.

Masyarakat adat di Indonesia juga tidak mengenal hukum Hak Cipta. Tidak berlebihan bila dikatakan hukum Hak Cipta ini tidak mengakar dalam kebudayaan Indonesia (Syamsudin, 2001). Keadaan inilah yang mendasari adanya dilema dalam penegakan hukum Hak Cipta di Indonesia, walaupun Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani persetujuan insternasional mengenai Hak Cipta seperti TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) umpamanya. Perjanjian TRIPs sangat mengikat pemerintah Indonesia untuk melindungi Hak Cipta dari mana saja asal penciptanya, namun dalam implemetasinya masyarakat belum bisa menghormati Hak Cipta karena kebiasaan yang berkembang di masyarakat masih komunal.
Salah satu refleksi masyarakat yang tidak begitu peduli dengan Hak Cipta adalah kecenderungan masyarakat yang sering membeli barang tiruan, bajakan atau barang-barang yang tidak orisinil. Masyarakat sebagai konsumen tidak peduli apakah barang yang mereka beli itu termasuk barang palsu, bajakan, ada Hak Ciptanya atau tidak, yang terpenting bagi mereka adalah bisa mendapatkan barang-barang dengan harga terjangkau. Tak terkecuali buku, perangkat lunak maupun bahan-bahan perpustakaan lainnya.

Disamping masyarakat indonesia yang bersifat komunal, ternyata bahan-bahan yang memiliki Hak Cipta punya karakter khusus, artinya bahan-bahan tersebut bila digandakan/diperbanyak tidak berkurang apalagi hilang. Buku-buku di perpustakaan yang digandakan dengan memfotokopi masih utuh fisiknya sehingga tidak ada unsur pencurian fisik. Demikian juga perangkat lunak yang dikopi juga tidak ada yang hilang dari perangkat lunak tersebut.

Dan, barangkali yang mendasari perbanyakan terhadap bahan yang memiliki Hak Cipta adalah karena persoalan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa penegakan Hak Cipta perlu ongkos yang mahal. Sebagai ilustrasi, masyarakat yang membeli DVD asli perlu mengeluarkan sejumlah uang tertentu. Sementara bila membeli barang bajakan/palsu hanya membutuhkan kira 1/6 (seperenam) dari harga DVD asli. Artinya secara matematis, harga DVD asli sebanding dengan enam DVD bajakan. Pada perangkat lunakpun demikian. Harga perangkat lunak yang asli jauh lebih mahal dibanding dengan harga perangkat lunak bajakan padahal kualitas bahan asli dengan bajakan tidak jauh berbeda.

7. Alternatif Solusi (sebuah usulan)

Menurut catatan sejarah, Indonesia sudah memberlakukan hukum Hak Cipta jauh sebelum merdeka dari jajahan Belanda, yang saat itu benama Auteurswet 1912. (Auteurswet 1912 Stb. 1912 nomor 600). Walaupun secara legal formal ada hukum Hak Cipta yang berlaku di Indonesia (saat itu Hindia Belanda) namun penegakan Hak Cipta belum berlaku efektif. Menurut catatan Rosidi, penerbitan milik pemerintah, Balai Pustaka pernah menerbitkan buku dengan judul Si Bachil yang diumumkan atas nama Noer St. Iskandar. Ternyata karya tersebut ciptaan Moliere yang berjudul L’Avare. Noer St. Iskandar adalah anggota sidang redaksi Balai Pustaka yang pimpinannya adalah orang Belanda, yang seharusnya mengerti tentang Hak Cipta. Tetapi pimpinan Balai Pustaka membiarkan buku beredar dengan pengarang Noer St. Iskandar (Hozumi, 2006: xv-xvi). Barangkali Balai Pustaka tidak mempermasalahkan siapa sebenanya pemilik Hak Cipta karya tersebut, sebab yang terpenting dari suatu penerbitan adalah karya bisa tersebar luas sehingga bisa dibaca oleh masyarakat. Namun, peristiwa ini tetap saja menandakan bahwa penegakan hukum Hak Cipta belum berjalan baik.

Demikian juga sekarang ini, perangkat hukum mengenai Hak Cipta sudah ada namun pada tataran pelakasanaannya seringkali dikesampingkan. Bisa jadi pemustaka di Indonesia mencerminkan warga masyarakat pada umumnya yang kurang memperhatikan mengenai Hak Cipta. Kekurangtahuan mereka bisa disebabkan mereka belum pernah tahu tentang hukum Hak Cipta karena tidak ada pihak yang mensosialisasikan hukum Hak Cipta. Namun tidak menutup kemungkinan mereka sudah tahu mengenai Hak Cipta, tapi tidak peduli mengenai Hak Cipta.

Untuk kasus perpustakaan perguruan tinggi, menurut pandangan penulis ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk menegakkan Hak Cipta yaitu adanya pedoman yang jelas, dan sosialisasi kepada pengelola dan pemustaka.

7.1 Pedoman penggandaan/perbanyakan.

Undang-undang Hak Cipta sudah cukup sempurna mengatur Hak Cipta di Indonesia. Namun demikian ada bagian yang masih mengambang misalnya berkaitan dengan pasal pembatasan dan pengecualian Hak Cipta. Dalam pasal 15 butir e menyebut bahwa perbanyakan yang dilakukan lembaga pedidikan seperti perpustakaan (dalam butir tersebut menyebut perpustakaan umum) tidak melanggar Hak Cipta asalkan untuk keperluan aktivitasnya.

Istilah “untuk keperluan aktivitasnya” ini harus ditafsirkan ulang apakah istilah ini bermakna: bahwa perbanyakan, seberapapun jumlah perbanyakannya, asalkan untuk keperluan koleksi perpustakaan maka tidak melanggar Hak Cipta; atau perbanyakan dibolehkan karena untuk mengganti bahan yang fisiknya rusak tapi informasi yang terkandung di dalamnya masih sangat berguna; atau perbanyakan dibolehkan asalkan perbanyakan tersebut tidak melebihi satu bab dari suatu buku; atau perbanyakan dibolehkan asalkan mendapat ijin tertulis dari pemegang Hak Ciptanya; atau ditafsirkan dengan mengacu pada keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia pada umumnya karena alasan penyebaran pengetahuan; atau pasal itu ditafsirkan dengan mengacu pada pedoman yang pernah dibuat oleh negara lain seperti Amerika Serikat maupun Inggris.

Yang jelas pasal ini seharusnya ditafsirkan dalam suatu pedoman tertentu sehingga bisa diberlakukan di perpustakaan perguruan tinggi, maupun perpustakaan umum yang ada di Indonesia.

Dalam pandangan penulis pihak yang bertanggung jawab terhadap tafsir penggandaan/perbanyakan bahan-bahan di perpustakaan adalah ikatan profesi seperti IPI/Ikatan Pustakawan Indonesia ataupun Perpustakaan Nasional.

7.2 Sosialisasi hukum Hak Cipta.

Bila tafsir terhadap pasal ini sudah selesai, pedoman penggandaan atau perbanyakan Hak Cipta ini harus disosialisasikan kepada mahasiswa. Implementasinya bisa dibuat kursus untuk periode tertentu maupun disosialisasikan setiap tahunnya bersamaan dengan pelaksanaan orientasi perpustakaan atau pada saat pelatihan literasi informasi (information literacy). Orientasi perpustakan punya nilai strategis untuk mengenalkan seluk-beluk perpustakaan. Dan yang paling penting dari orientasi tersebut adalah mahasiswa mampu mengenali kebutuhan informasinya, bagaimana menyimpanya, memanfaatkannya dengan tidak melupakan etika dalam mengutip, serta tidak ketinggalan mengetahui Hak Cipta suatu karya.

Untuk memberikan pemahaman yang memadai terhadap para pemustaka, maka penegelola perpustakaan, meliputi kepala, petugas layanan informasi maupun petugas fotokopi, harus jauh lebih memahami hukum Hak Cipta ini. Tanpa ada pemahaman yang memadai dari pengelola terhadap Hak Cipta, rasanya sulit untuk mengharapakan pemustaka memahami Hak Cipta secara baik.

8. Kesimpulan.

Rumusan pedoman Hak Cipta menjadi penting untuk disusun karena selama ini belum ada peraturan yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam penggandaan atau perbanyakan bahan-bahan yang daa di perpustakaan.

Dewasa ini koleksi perpustakaan sudah sangat beragam baik dalam bentuk cetak maupun noncetak. Seluruh bahan-bahan memiliki Hak Cipta yang harus dilindungi oleh hukum Haka Cipta. Ada asas national treatement dalam perlindungan Hak Cipta, yaitu bahwa perlindungan Hak Cipta tidak hanya untuk warga negara Indonesia saja, tapi pemerintah juga harus melindungi Hak Cipta yang berasal dari luar Indonesia sebagaimana pemerintah Indonesia melindungi Hak Cipta yang dimiliki warga negaranya.

Bila pemerintah Indonesia gagal dalam melindungi Hak Cipta warga negara asing yang ada di Indonesia, kemungkinan pemerintah Indonesia mendapatkan pembalasan dalam bidang ekonomi, yang akan sangat merugikan terhadp kepentingan nasional. Untuk itulah pemahaman yang baik terhadap Hak Cipta menjadi sangat penting.


Bibliografi

Badertscher, Eric., Kathy Reese. (2008, June) Taking the confusion out of copyright in an internet age. Information Outlook. Washington: Jun 2008. Vol.12, Iss. 6; pg. 62, 5 pgs. (Proquest) database

Bintang, Sanusi. (1998) Hukum Hak Cipta: Dilengkapi dengan susunan dalamsatu naskah

UUHC (1982, 1987, dan 1997). Bandung: Citra Aditya Bakti.

Damian, Eddy. (2005) Hukum Hak Cipta. Bandung: Alumni.

Darmawan, Rahman., Zulfikar Zen. (2006) Etika kepustakawanan: Suatu pendekatan terhadap koodetik pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

Dictionary of information and library management. (2006) London: A & Black Publishers.

Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual. (2004) Hak Kekayaan Inteketual: Buku panduan. Jakarta: Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual.

Djumhana, Muhammad., Djubaedillah, R. (2003). Hak kekayaan intelektual: Sejarah, teori dan prakteknya di Indonesia) Edisi revisi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hozumi, Tomatsu. (2006) Asian copyright handbook (Buku panduan hak cipta), Jakarta: Asia Pasific Cultural Center for Unesco & IKAPI.

IFLA Committee on Copyright and other Legal Matters (CLM). (2008) Copyright
Limitations and Exceptions for Libraries dalam Standing Committee on Copyright and Related Rights (SCCR): 17th Session, Geneva, 3-7 November 2008. (10 Pebruari 2009)
http://www.ifla.org/III/clm/p1/limitations-exceptions-200811.htm

Johnson, Peggy. (2004) Fundamentals of collection development & management. Chicago: American Library Asociation.

Just Alvin. (2009) Metro TV (26 Pebruari 2009).

Krihanta. (2002) Implementasi Hak Cipta khsusnya hak menggandakan dalam rangka akses informasi di Perpustakaan Nasinal RI dan PDII-LIPI (Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-LIPI). Depok: Tesis Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Indonesia.

Norman, Sandy. (1999) Copyright in further and higher education libraries. London: Library Association Publishing.

Priapantja, Cita Citrawinda. (2003) Hak kekayaan intelektual: tantangan masa depan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Purba, Achmad Zen Umar. (2005) Hak kekayaan intelektual pasca TRIPs. Bandung: Alumni.

Purba, Afrillyana., Gazalba Saleh., Andirana Krisnawati. (2005) TRIPs-WTO dan hukum HKI Indonesia: Kajian perlindungan Hak Cipta Batik tradisional Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Riswandi, Budi Agus,. M. Syamsuddin. (2004). Hak kekayaan intelektual dan budaya hukum. Jakarta: RajaGrafindo.

Saidin, OK. (2007) Aspek hukum kekayaan intelektual: intellectual property rights. Jakarta: RajaGrafindo.

Syamsudin, M. (2001) Nilai-nilai karya cipta dan problematika perlindungan hukumnya.( (18 Pebruari 2009). http://www.iprcentre.org/artikel/Nilai-Nilai%20Karya%20Cipta%20dan%20Problematika%Perlindungan%20Hukumnya.pdf

Indonesia. (2003) UU HAKI: Hak Atas Kekayaan Intelektual No 19/2002. Jakarta: Sinar Grafika.

*Makalah dimuat Visi Pustaka, Vol 11 No. 1 April 2009.