Senin, 12 September 2011

Sedekah Memudahkan Urusan

Setiap bulan Ramadan datang, kelompok orang yang monco (tinggal di luar daerah kelahiran) sudah kepikiran akan pulang kampung. Pulang kampung (walau tidak selamanya benar-benar kampung) punyai nilai mulia Karena merupakan panggilan untuk menyambung silaturrahim dengan sanak keluarga. Aku termasuk salah satu yang pernah masuk katagori monco (kisaran tahun 2007-2009). Moncoku terbilang jauh karena berada di Depok. Depok yang aku tinggali sebenarnya tidak kota banget. Desanya saja bernama Kukusan. Kukusan dalam dalam bahasa Jawa berarti tempat untuk mengukus. Namun kata orang lokal sana yang betawi banget, Kukusan bukan berarti kukusan (tempat mengukus pengenan) tapi kokosan. Kokosan sejenis buah duku yang hidup subur di daerah Kukusan kecamatan Beji Kotif Depok. Sayang sekali buah kokosan sudah tidak banyak tumbuh di sana karena kalah dengan city town, rumah kos, atau rumah hunian biasa.

Jarak Kukusan dengan rumah yang aku tinggali sekitar 500.000an km. Mengingat jaraknya sangat jauh, aku perlu menyiapkan jurus jitu agar bisa pulang dengan nyaman. Atas alasan kenyamanan inilah maka kereta api menjadi pilihan utama. Kereta api masih punya belas kasihan bagi yang puny anak kecil seperti keluarga kecilku, buktinya anak kecil hanya membayar 75% dari harga tiket. Coba kalau bus umum misalnya, pasti kena charge full 100%. Cuma saja yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya agar bisa mendapatkan tiket pulang. Aku kira soal tiket ini bukan masalah pribadiku saja, tapi hampir semua pemudik akan punya masalah yang sama yaitu bagaimana mendapat tiket. Bahkan banyak pemudik tidak begitu peduli dengan harga karcis kerata, yang penting bisa memegang itu tiket dengan harga berapapun. Pandangan pemudik sepert inilah yang justru menguatkan hukum pasar, dimana permintaan meningkat sementara ketersedian tiket terbatas, maka harga tiket akan melonjak tajam. Kalau dipikir sih rugi sendiri bagi pemudik sebab dia yang kena pengaruh langsung terhadap kenaikan harga tiket. Coba saja orang kota atau orang yang selama ini monco tidak melakukan mudik masal pada hari raya indul fitri, pasti tak ada ceritanya tiket angkutan umum naik yang berlipat-lipat. Tapi tak mungkinkan mencegah mereka untuk tidak mudik?

Aku sendiri punya jurus tersendiri untuk bersaing dengan para pembeli tiket kerata api. Karena posisiku di Depok, maka KRL merupakan alat transport yang paling taktis. Seperti biasa aku berangkat ke stasiun UI dan turun ke stasiun Tebet untuk selanjutnya menuju stasiun Jatinegara dengan angkot. Beberapa receh uang sudah kusiapkan untuk mereka yang minta-minta, baik yang berada di stasiun maupun yang ada dalam kereta. Dalam pandanganku, sedikit dikalikan banyak lebih baik daripada banyak dikalikan sedikit. Maksudnya bahwa lebih baik memberi peminta-minta dengan uang sedikit, tapi bisa menyebar ke banyak peminta-minta daripada memberi dengan uang yang banyak pada satu peminta saja. Idealnya sih memberi banyak uang pada peminta yang berjumlah banyak dari pada sedikit uang untuk banyak peminta-minta.
Mengingat banyak sekali peminta-minta baik di kereta maupun di stasiun, maka aku menyiapkan receh sejumlah sekian, dan aku sudah memulai memberi peminta-minta ketika nyampe Stasiun UI.

Kalkulasiku sederhana saja bahwa aku yakin berbagi pada sesama akan membawa banyak kemuhan. Berbagi di stasiun akan membawa kebaikan pada waktu naik kereta dan ketika berada di atas kereta. Sementara berbagi di atas kereta akan membawa kemudahan pada langkah selanjutnya.

Sesampai di Stasiun Jatinegara, sudah kudapati antrian yang panjang. Kata koran di Jakarta menyebut antrian panjang dengan mengular. Garis antrian memang benar-benar mengular formasinya. Tidak ada pilihan bagiku kecuali harus ikut serta antri bersama para pemudik lainnya. Aku langsung menempati ekor ular antrian. Cara ini merupakan cara yang paling sesuai etika karena tidak memotong antrian. Memotong antrian sama dengan memotong harapan pembeli tiket.

Mengingat antrian semakin memanjang, seorang petugas dari PJKA bagian tiket berinisiatif membuka kotak layanan tiket lagi biar antrian tetap terkendali dan tentu mempercepat akses tiket. Dari kantor ruang tiket muncul seseorang berseragam khas KAI mendekatiku. Tanpa dinyana dan tanpa disangka, dia menuntunku untuk mendekat ke loket tiket seraya bilang:

“Mas beli tiket kereta untuk kapan dan berapa orang?”
Aku kaget dan langsung menjawab
“2 orang dewasa dan 2 anak kecil jurusan Semarang untuk nanti malam jam 19.30.”

Tiket yang aku idam-idamkan sudah di tangan. Dengan senyum mengembang, aku tingggalkan Stasiun Jatinegara untuk segera persiapan guna kepulangan nanti malam.
Aku yakin, ini rekayasa tuhan, bukan kebetulan. Dan aku yakin pula sedekah yang tidak seberapa besar benar-benar memudahkan urusan, termasuk urusan tiket untuk pulang kampung.

Kamis, 08 September 2011

Sedekah = menyembuhkan

Sedekah merupakan sebutan lain dari shodaqoh. Maknanya memberikan sebagian yang kita punya. Sebagian itu tidak seluruhnya, artinya bahwa sedekah tidak akan membuat yang kita miliki hilang semuanya secara fisik. Konsep sedekah sangat indah, sebab di dalamnya mengajarkan seseorang untuk berbagi, bersimpati dan berempati dengan orang lain.

Lebih dari keunggulan-keunggulan seperti tersebut di atas, sebenarnya sedekah punya banyak efek positif. Dan hebatnya, efek positif dari sedekah bisa langsung dinikmati walaupun seringkali efek tersebut terjadi dalam jangka waktu tertentu.
Beberapa bulan lalu, atau tepatnya bulan Juni salah putri sulungku terkena tipes dan mesti diopname di ruma sakit. Sebagai ayah tentu aku pribadi mengobatkannya sesuai SOPnya (baca: Es O Pe), yaitu datang ke dokter umum untuk konsultasi mengenai gejala panas yang menimpanya. Setelah panas belum turun, harus kembali ke dokter untuk konsultasi lanjut mengapa panas tidak kunjung turun. Hingga akhirnya harus tes darah untuk memastikan bahwa putri sulungku benar-benar terkena tipus.

Aku mengambil langkah seperti pengalaman terdahulu yaitu meminum ramuan cacing. Syukur banget pembuat ramuan cacing ini tetangga sebelah sehingga mudah untuk memesannya. Setidaknya ada 2 botol sudah aku pesankan, syukur pula panas badannya belum juga turun. Padahal selama ini, ramuan cacing sangat dahsyat buat mengobati tipes. Terbukti dulu ketika terindikasi kena gejala tipes, ramuan cacing menjadi obat mujarabnya.

Aku pribadi tidak menyangka kog panasnya tak kunjung turun. Padahal, selama panas tubuh belum turun, ya jangan diharap dokter akan mengabulkan pasien untuk pulang ke rumah. Kebolehan pulang ke rumah sangat tergantung pada suhu tubuh si sulung saja. Bila suhu normal, itu berarti bahwa ada lampu hijau untuk segera mengakhiri pemondokan di rumah sakit, tapi sebaliknya bila suhu badan tetap tinggi, ya jangan diharap tiket pulang di tangan.

Melihat urutan-urutan pengobatan yang ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan, mengingtakanku untuk mencoba mengoreksi diri apakah ini memang ujian dari allah untuk menaikkan sifat kemulian atau malah kebalikannya, peringatan Allah padaku sebagai hamba yang melenakanNYa. Aku menyadari bahwa kepasrahanku padaNya setengah hati. Aku coba menata hati kembali bersama istri. Kulibatkan istri karena dia punya daya tawar tinggi pada Allah. Kenapa? karena dia yang melahirkanbsi anak. Hingga akhirnya kami mengambil keputusan bersama bahwa kami harus segera mensedekahkan sebagian yang kami punya pada orang yang secara ekonomi tidak beruntung.

Pada siang yang pasti panas karena di Semarang, aku coba hunting anak-anak jalanan yang sering mangkal di lampu merah. Sasaran petama di daerah jalan DR Cipto. Sayang aku tidak menemukan sasaran. Kulanjutkan ke daerah simpang 5, trus muter Jalan Pahlawan, jalan Panadanaran. Hasilnya nihil karena tidak menemui sasaran. Hari itu perburuan terhadap anak jalanan nihil alias tidak ketemu. Lucu saja rasanya, kenapa pada hari biasa begitu banyak ditemui anak jalanan, tapi justru ketika aku butuh, ternyata mereka malah sembunyi.

Dalam hati aku bergumam “aku mesti ganti sasaran yang jelas-jelas tidak akan sembunyi apalagi lari, yaitu panti asuhan”. Aku putuskan juga bahwa malam itu aku harus menemui pengurus Yatim piatu guna memberikan sedekah. Rasanya plong ajah bisa mengeluarkan sedekah.

Aku berharap sedekah yang sedikit itu tergolong amal salih. Semoga dengan perantaraan amal salih ini menjadikan anak kami yang sakit, segera sembuh dan kembali sehat seperti sedia kala.
Pagi harinya, kira-kira jam 10.00 ada telepon dari istri yang berada di rumah sakit. Dia mengabarkan bahwa anak kami sudah sehat. Suhu badan yang selama ini naik turun sudah stabil normal. Dengan senyum yang renyah istriku bilang kalau anak kami sudah boleh dibawa pulang saat itu juga.

Aksiku tergolong terlambat, coba saja kalau aku sedekah beberapa hari lalu, tentu tak perlu rasanya si sulung nginap beberapa hari di rumah sakit. Tuhan! ampuni kami

Selasa, 23 Agustus 2011

WC bagi sebagian warga desa



Desa yang saya tinggali sekarang ini sepertinya desa nanggung. Maksudnya mau dibilang desa kenyataannya tidak desa-desa amat. Dibilang kota juga bukan benar-benar kota. Cara berpakaian misalnya, tidak ada yang membedakan pakaian warga desa saya dengan kota. Apa yang menjadi tren di kota, maka menjadi tren juga di desa saya. Sepertinya tidak ada bedanya antara desa dan kota dalam hal fashion. Justru karena posisi “nanggung” itulah terjadi banyak keunikan yang barangkali tidak akan di jumpai di masyarakat perkotaan.

PNPM mandiri mengelompokkan desa saya sebagai perkotaan. Saya tidak tahu persis dasar apa yang digunakan untuk menyebut desa saya sebagai kota. Barangkali saja berdasar pajak tanah yang lebih mahal dibanding dengan desa sebelah. Atau barangkali desa saya lebih dekat dengan jalan Daendles sehingga menjadi lebih mahal dari yang jaraknya lebih jauh dari jalan Daendles. (lihat di nb)

Salah satu keunikan yang saya lihat langsung adalah bahwa masyarakat saya lebih suka membangun fisik rumah bagian depan, sementara bagian tengah dan belakang dikesampingkan. Misalnya teras rumah dikeramik mulus bukan main, tapi dalam rumah sebagai tempat kumpul keluarga setiap hari dibiarkan beralaskan tanah. Padahal kalau dipikir, jarang-jarang teras dijadikan tempat ngumpul keluarga. Tempat ngumpul keluarga paling strategis adalah di ruang tengah. Tapi sayang prioritas pembangunan justru di depan, bukan di ruang tengah.

Ada keunikan lain yang membuat saya terheran-heran. Yaitu ada keluarga yang rumahnya bagus ditandai dengan bangunan rumah yang permanen, lantai rumah juga sudah dikeramik mulus. Bahkan keuarga tersebut terhitung punya dua kendaraan bermotor. Namun sayang, keluarga tersebut tidak punya wc.

Yang lebih menggelikan lagi adalah ada tetangga yang bangunan fisik rumahnya bagus. Dan tidak ada tanda-tanda kalau keluarga tersebut dikategorikan “tidak punya”. Dia juga punya 2 kendaraan bermotor yang tergolong masih baru. Lagi-lagi saya katakan sayang sebab rumahya tidak dilengkapi fasilitas WC.

Dari sinilah saya merasa lucu sekaligus terheran-heran dengan prilaku masyarakat saya. Kebanyakan mereka selalu menjaga bangunan fisik rumah sedemikian rupa sehingga menampakkan sesuatu yang baik- baik saja, sementara sesuatu yang letaknya di belakang, biarpun punya peran sangat penting tidak pernah diperhatikan, apalagi dimodali dengan sejumlah uang. Padahal kalau dipikir lebih jauh, hajat punya tampang rumah bagus dan punya kendaraan baru bisa ditangguhkan, sementara hajat untuk buang air besar ataupun kecil tak bisa ditunda. Barangkali saja mereka beralasan kalau tampang rumah ataupun kendaraan baru menunjuk pada status sosial mereka ke tempat yang lebih tinggi sementara WC tidak menunjuk status sosial apapun sehingga diabaikan.

nb. Cerita jalan Daenles mengingatkan saya ketika kuliah dulu. Dalam buku pelajaran sejarah sih sudah maklum dan tidak perlu digugat bahwa jalan Daendles itu sangat panjang membentang dang dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (jawa Timur). Namun di kemudian hari, ada dokumen lain mengenai jalan Daendles. Daenles mengklaim bahwa dia telah membangun jalan yang sangat panjang. Berita itu pula yang dia sampaikan pada ratunya di Belanda sana. Dari itu maka semua terlena bahwa jalur utama jalan raya pulau Jawa dibangun oleh Daendles. Untuk itulah nama jalan menjadi Daendles. Menurut catatan sejarah yang ada di Perancis, konon jalan yang dibangun oleh Daendles bukan dari Anyer sampai Panarukan, tapi dari Anyer sampai Cirebon. Itu saja cara membangunnya tidak dengan berdarah-darah, tapi dengan pembangunan yang melibatkan kuli bayar yang berasal dari Solo dan Yogyakarta. Dengan harapan Daendles mendapat pujian dari ratunya maka dia memanipulasi sejarah pembangunan jalan raya sepanjang pulau Jawa tersebut.

Jumat, 05 Agustus 2011

Bonek

Bonek singkatan dari bondo nekat. Bonek digunakan untuk menyebut para supporter sepakbola yang terkenal sangat fanatik dalam mendukung tim kesebelasannya. Bonek tidak berarti suporter tidak bertiket ketika menonton tim kesayangannya bertanding. Mereka tetap menyiapkan uang tiket Cuma saja yang tidak mereka siapkan adalah biaya ketika mereka harus menginap kala tim bermain tandang.

aku kira, masing-masing dari diri kita pernah mengalami menjadi bonek dalam hidup kita sehari-hari. Akupun pernah menjadi bonek, atau tepatnya aku sekeluarga. Petengahan tahun 2007 aku berkesempatan mendapatkan beasiswa kuliah di Depok. Siapa sih yang tidak senang mendapat kesempatan kuliah? Aku termasuk satu dari sekian orang yang sangat beruntung mendapat kesempatan tersebut. Sebenarnya mendapat kesempatan kuliah saat itu mengandung dua kemungkinan, yaitu menyenangkan sekaligus menyedihkan. Senangnya pasti bisa ditebak, berkesempatan kuliah lanjut setelah mengikuti rangkaian tes. Sedihnya juga bisa ditebak, sebab berpisah dengan keluarga.
Kesempatan berpisah dengan keluarga menjadi kenyataan. Aku harus menjalani rutinitas di depok sementara istri dan anak-anak mesti tinggal di kampung. Dari sini sepertinya aku mulai merintis kebonekan. Beasiswa yang aku andalkan tak kunjung keluar, sementara tunjangan transport dan manejerial dari kantor berhenti total. Jadi gaji yang tinggal tidak seberapa banyak harus dibagi dengan dua dapur yaitu dapur kampung dan dapur Depok disamping untuk biaya kangen yang meliputi pulsa dan transport Kaliwungu-Depok pergi dan pulang.

Rutinitas tersebut bisa bertahan sampai satu semester. Syukur di akhir semester beasiswa cair, namun beasiswa tersebut menjadi sedikit karena untuk menutup biaya semester lalu dan tentu untuk biaya menunggu beasiswa yang kemudian akan turun.
Jauari 2008, aku bersama keluarga nekat memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di Depok. Dengan semangat 17 Agustus, kami semua naik Kereta Fajar Utama dari stasiun Tawang ke Jakarta (Jatinegara). Kereta Fajar menjadi pilihan yang menyenangkan karena bisa menghemat biaya tiket sekaligus mudah dalam membawa barang-barang. Masih segar dalam ingatan, kami membawa property yang kami punyai. aku bawa dua tas, yaitu punggung dan tenteng. Tas punggung spesial berisi piranti kuliah dan sesuatu yang aku pandang penting. Istri juga bawa 2 tas seperti kepunyaanku, tas punggung dan tenteng. Anak-anak tidak kalah keren dalam menenteng tas. Si sulung, 6 tahun, membawa tas sekolah andalan yang tidak lain dan tidak bukan adalah tas punggung dengan gambar Cinderella berwarna pink. Si bungsu 3 tahun membawa tas punggung kesayangan, tas kecil bercapkan panda warna kuning yang hanya cukup untuk menampung 2 buah buku tulis.

##########

Aku pribadi sangat menikmati harapan-harapan yang disampaikan anak-anak, bahwa Jakarta itu indah sebagaimana mereka lihat di layar televisi. Apalagi kalau melihat sinetron yang pemerannya cantik dan ganteng serta rumah tempat mereka tinggal seperti istana. Biar saja mereka yang akan menjawabnya sendiri dengan melihat kenyataan.

Harapan-harapan keindahan anak-anak terhadap Jakarta memudar ketika turun di Stasiun Jatinegara. Baru turun dari Jakarta saja sudah ketahuan bau Jakarta yang diwakili oleh bau stasiun yang kala itu beraroma sangat tidak sedap. Justru kesempatan itu aku gunakan untuk menerangkan Jakarta dari sisi fakta. Kebetulan juga saat itu, ketika menuju ke depok, kami berpapasan dengan kereta KRL yang lagi lewat. Aku tidak tahu persis apa yang dibayangkan anak-anak waktu melihat kereta yang dijejali banyak penumpang. Barangkali saja mereka berpikir bahwa itu bukan kereta, tapi lebih seperti ikan teri diberi tepung. Tak tahulah apa pendapat mereka mengenai kereta KRL. Yang pasti, banyak angan-angan mereka yang tidak sama dengan kenyataannya.
Hingga akhirnya sampailah kami di rumah kontrakan. Rumah kontrakan ini tidak bisa dikatakan ideal sebagai tempat tinggal keluaraga. Rumah kontrakan tersebut sebenarnya rumah petak yang lebih tepat untuk mahasiswa bujangan, bukan keluarga seperti kami. Sudah dari awal kami nekat, maka mencari kontrakan rumahpun dengan modal nekat juga. Yang penting kami bisa mengeluk boyok/tidur di malam hari dan bisa beraktivitas di siang hari. Kami juga tidak bisa membayangkan bagaimana isinya atau tata letak ruangan. Kog bisa? Bisa saja karena waktu itu kami butuh tempat untuk istirahat dan kami hanya pesan temen untuk mencarikan dan akhirnya dapat kontrakan yang kala itu kami tinggali.

Boleh saja pilihan kami dikritik kenapa tidak memilih rumah kontrakan yang layak. Tentu jawabannya sangat sederhana, bahwa uang saku kami tidak bisa menjangkau rumah layak keluarga.

Rumah kontrakan terdiri atas 3 ruang, ruang tamu, ruang tidur, dan ruang belakang. Kalau dilihat dari pembagian ruangan, rumah kontrakan kami tentu tak ada soal. Tapi kalau rumah tersebut diurai fungsinya, baru akan ketahuan bahwa rumah kontrakan jauh dari ideal. Ruang depan yang mungil berfungsi untuk menyimpan komputer personal, sepeda motor, ruang tamu sekaligus tempat anak-anak belajar. Ruang tengah tidak kalah sibuk karena harus menampung kamar tidur, pakaian kami, perkakas rumah tangga de el el. Ruang belakang merupakan ruang yang paling multi guna. Peruntukan awalnya adalah kamar mandi. Namun Karen akami butuh kamar mandi dan juga dapur, maka ruang tersebut kami maksimalkan untuk fungsi keduanya. Sebenarnya sangat susah untuk dibayangkan apalagi dipraktikkan sebuah ruang sempit untuk fungsi kamar mandi dan dapur sekaligus gudang penyimpanan property dapur. Sayang tak ada pilihan lain kecuali bertahan dengan fasilitas yang ada. aku sangat tahu solusinya, yaitu pindah dari situ dan cari tempat yang lebih layak. Namun sayang, kelayakan selalu berbanding lurus dengan uang.

Kadang susah juga untuk menjalani hidup secara rasional buta berdasar kalkulasi matematika. Tapi akhirnya kami bisa menjalani hidup dengan hepi-hepi ajah.

Tentu saja, kami di Depok tidak sendirian. Banyak temen-temen yang secara ikhlas membantu kami semua. Thanks buat temen-temen yang selalu ada untuk kami semua.

Minggu, 20 Februari 2011

Anak adalah fotokopi

Dalam kehidupan sehari-hari di kampung, kata-kata “Iki ki anake sopo”(ini anak siapa sih), “anak kog ora iso diatur”(anak tidak bisa atur), bahkan ekstremnya sampai muncul “anak setan iki pancen”(ini bener-bener anak setan).

Kata-kata di atas merupakan umpatan orang tua yang kesal kepada anak-anak mereka sendiri. Kata-kata tersebut masih terhitung sedikit sebab banyak orang tua yang mengobral kata-kata kasar manakala mereka kesal atau kecewa terhadap anak-anaknya. Sebenarya absah-absah saja orang tua untuk mengumpat sedemikian rupa pada anaknya wong itu hak orang tua terhadap anaknya sendiri. Tapi apakah pantas kata-kata kasar tersebut dialamatkan pada anak yang nota bene adalah anak kandung mereka sendiri?

Dalam teks kitab suci, anak harus hormat dan berbakti pada orang tua, dan ini harga mati. Apapun keadaan orang tua, anak tetap harus menghormati orang tuanya. Bahkan dalam teks suci juga dikatakan bahwa surga anak berada di bawah kaki ibu yang tak lain dan tidak bukan adalah salah satu dari orang tuanya. Teks ini berlaku di dunia dan akhirat. Artinya kunci keberhasilan anak di dunia dan akhirat sedikit banyak tergantung pada seberapa jauh dia bisa ngawulo (menghormati, menjaga perlakuan baik lainnya) pada orang tuanya. Keberhasilan ini tentu tidak diukur seberapa banyak harta yang dimiliki tetapi seberapa jauh dia merasa bahagia dalam hidupnya. Saya percaya seseorang yang berkonfrontasi dengan orang tuanya bisa kaya harta, tapi saya tidak percaya seseorang orang yang berkonfrontasi sama orang tuanya tersebut bisa merasakan kebahagian sebenarnya. Ungkapan kebahagian anak berada pada telapak kaki ibu tidak bermakna apa adanya. Tapi suatu ungkapan bahwa kebahagian benar-benar berada pada ridlo seorang ibu.

Kendati demikian, orang tua tidak bisa seenaknya mengumpat dengan kata-kata yang jelek. Umpatan-umpatan seperti tertera di atas merupakan umpatan yang tidak seharusnya keluar dari mulut orang tua. Biarpun orang tua kesal, seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada anaknya. Bisa dibayangkan bila kata-kata kasar tersebut berbinih doa dan berbuah kenyataan. Anak-anak yang tadinya nurut, lalu menjadi tidak bisa diatur, anak-anak tumbuh dewasa dengan mewarisi sifat jahat setan umpanya, siapa yang akan menanggung kerugian? Akhirnya, orang tua jua yang akan menanggung kesedihan karena ulah anaknya.

Sebenarnya, tidak ada salahnya bila orang tua (ayah-bunda) untuk melihat ke belakang alias introspeksi diri. Banyak hal yang dulu dilakukan oleh orang tua berulang pada anaknya baik sifat jelek maupun sifat bagus. Seseorang yang tukang “ngeyel” jangan kaget kalo di kemudian punya anak sukanya ngeyel. Seseorang yang senang menebar kebohongan, hendaknya juga jangan heran kalau anaknya berbohong, begitu juga sifat lainnya. Sifat-sifat apapun yang dimiliki orang tua berkecenderungan untuk diwariskan pada anak-anaknya.

Jadi, sebagai orang tua hendaknya hati-hati bila momong (merawat) anak. Ternyata, anak adalah fotokopi dari diri kita sebagai orang tua.

Jika sekarang anak-anak kita malas sekolah, kritis dengan pertanyaan yang aneh-aneh, kadang enggak nurut sama orang tuanya, maka tidak usah menyalahkan mereka habis-habisan karena kitapun dulu juga demikian.

Seperti yang saya alami sekarang ini, anak-anak malas sekolah, terlalu pede pada pendapatnya sendiri, atau kadang bertanya pada hal yang aneh-aneh untuk anak seusianya, maka saya hanya tersenyum seraya ngomong sendiri “oh jadi begini juga yang dirasakan orang tua saya terhadap kelakuan saya saat kecil”.

Minggu, 13 Februari 2011

Surga

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata surga. Dalam pandangan sehari-hari pula, surga dipahami sebagai suatu tempat yang disediakan oleh Allah bagi mereka yang beriman dan berbuat baik waktu hidup di dunianya. Surga berada di alam akhirat atau alam dimana umat manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya. Surga diidentikan dengan sesuatu yang indah-indah dan nikmat-nikmat. Tidak mengherankan bila surga dalam bahasa Arab sering disebut sebagai jannah yang berarti kebun.

Istilah jannah berasal dari bahasa Arab. Negara-negara Arab merupakan Negara yang kaya akan kandungan minyak dalam perut buminya, sementara daratannya tandus. Maka tidak berlebihan bila pertanian dan kebun-kebunan yang indah jarang ditemukan di sana. Daerah yang gersang seperti Negara-negara Arab sangat mendambakan lahan pertanian dan kebun. Kebun-kebunan dan pertanian barangkali identik dengan kemewahan untuk di daerah tersebut. Atas alasan inilah padanan jannah dipilih sebagai padanan kata surga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI) surga merupakan alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yg hendak tinggal di dalamnya (dl keabadian). KBBI juga menyebut surga dengan jannah yang berarti alam akhirat tempat jiwa (roh) manusia mengenyam kebahagiaan sebagai pahala perbuatan baiknya semasa hidup di dunia.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju batasan yang diberikan oleh KBBI, yang jelas surga berada di alam akhirat bukan dunia. Desain tersebut tentu bukan tanpa maksud. Bila surga di dunia dan bisa dilihat secara kasat mata tentu semua orang pasti akan berbuat baik dan serta merta meninggalkan perbuatan jelek. Keberadaan surga di akhirat dimaksudkan untuk menguji integritas orang di dunia apakah mereka akan melakukan tindakan baik atau jelek.

Surga dikenal sebagai tempat kompensasi bagi mereka yang berbuat baik, sebagaimana yang seringkali diceramahkan oleh para mubaligh atau para penceramah agama. Dalam setiap ceramah, nyaris, mereka tidak pernah melupakan untuk menyebut kata surga. Kata surga ini sebagai iming-iming agar orang mau berbuat baik. Sehingga muncul kesan bahwa surga merupakan tujuan akhir segala bentuk kebaikan.

Surga oriented sepertinya mengingatkan saya pada suatu pernyataan seorang sufi, Rabiatul Adawiyah, yang mengatakan:

“Allah, kalau sekiranya saya beribadah karena ingin surgaMu, maka masukkan saya dalam nerakaMu”

Pernyataan di atas sepertinya aneh dan tidak biasa kita dengarkan dalam forum pengajian, bahkan kita akan mengatakan betapa beraninya seorang sufi tersebut untuk menolak surga padahal hampir semua orang menginnginkannya.

Namun, bila penrnyataan di atas direnungkan justru membimbing kita pada suatu kenyataan bahwa Allah adalah orientasi dari segala kebaikan. Allah dan surga adalah berbeda. Allah adalah pencipta, sementara surga adalah ciptaan, begitu juga neraka dan kita semua sebagai manusia. Alangkah ruginya kita sebagai makhluk bila berbuat baik karena surga yang notabene juga makhluk.

So, sekarang terserah kita, mau karena Allah atau karena surga. Allah a’lam