Kamis, 22 April 2010

Perspektif

Padanan kata perspektif adalah sudut pandang, cara pandang atau sering disebut point of view. Cara pandang ini sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang tentang sesuatu hal. Bilamana seseorang mendasarkan pada sudut pandang yang tepat nisaya dia akan mendapatkan pemahaman terhadap sesuatu hal secara baik. Tapi sebaliknya, bila cara pandangnya salah, niscaya dia akan masuk dalam perangkap salah.

Dulu, ada seorang filosuf yang punya cara pandang seperti yang dia ungkapkan “saya ada karena saya berpikir saya ada”

Cara pandang ini tidak hanya menjadi cara pandang dia saja. Bisa jadi ribuan bahkan jutaan orang menggunakan cara pandangnya dalam melihat keberadaan dirinya. Alangkah naifnya bila cara pandang ini diterapkan untuk melihat surga dan neraka. Bila diterapkan, tentu menjadi “Surga dan neraka ini ada karena saya berpikir surga neraka itu ada”. Lalu coba saja cara pandang ini diambil kebalikannya, maka “surga neraka itu tidak ada karena saya berpikir surga neraka tidak ada”. Jadi keberadaan surga dan neraka hanya didasarkan pada “menurut saya, atau karena saya berpikir”.

Ada cara pandang lain yang kadang membuat ketidaknyamanan. Seperti halnya penyebaran ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagian yang tidak menyukai Islam pasti akan mengambil suatu kesimpulan sederhana bahwa Islam disebarkan dengan pedang karena sering kali simbol Islam ditandai dengan pedang.

Tidak hanya Islam saja yang diasosiasikan jahat, Kristenpun demikian. Kristen juga diasosiakan sebagai agama yang disebarluaskan dengan kekerasan. Kasus di Indonesia umpamanya. Kristen masuk Indonesia bersama penjajah. Lalu, banyak orang mengambil kesimpulan kristen itu agama kolonial, agama yang disebarkan dengan penjajahan.

Tak terkecuali demokrasi sebagai ”agama” dunia ketiga. Demokrasi diagungkan dengan segala cara. Asal pakai label demokrasi nampaknya berbuat apapun tidak apa-apa walau perbuatan itu tak sesuai dengan jiwa demokrasi itu sendiri. Kalau kita mengambil contoh di Irak niscaya kita sepakat bahwa demokrasi didirikan dengan panser, bom dan teror. Bukankah atas nama demokrasi pula negara berdaulat seperti Irak dihancurkan?

Apa memang sedemikian sederhana untuk mempercayai surga dan neraka? Dan apa memang sesederhana itu untuk melihat penyebaran agama, demokrasi dan sebagainya? Itulah sebuah perspektif.

Beda halnya bila menggunakan perspektif lain semisal buat apa berbuat baik di dunia ini bila tidak ada surga & neraka di kelak kemudian hari. Jika menggunakan cara pandang terakhir ni, bisa jadi manusia akan hidup menurut kehendaknya sendiri tanpa berpikir panjang mengenai keadaan orang lain.

Begitu juga sebaliknya, bila seseorang berpikir bahwa masih ada seri kehidupan setelah kehidupan di dunia, maka saya yakin kehidupan seseorang akan semakin teratur, akan semakin baik sebab dia merasa bahwa apa yang dilakukannya di dunia akan sangat berpengaruh untuk kehidupan di akhirat. Semakin seseorang meyakini surga neraka, semakin kuat dia menjaga kehidupannya agar tidak berbuat jahat pada orang lain dan juga dirinya sendiri.

Anak-Anak Dan Masjid

Sekarang ini sebenarnya saya sedang prihatin dengan masjid yang ada di desa saya walau masjid itu bukan tempat yang biasa aku salat Jum’at sedari kecil. Saya prihatin bukan karena bangunan masjid tersebut sudah usang dan tidak layak huni lagi. Justru bangunan sekarang sudah bagus banget dibanding beberapa tahun sebelumnya. Yang menjadikan saya prihatin adalah sikap yang diambil oleh pengurus atau takmir masjid yang melarang anak-anak main di sana. Ada tulisan besar yang siap menghadang anak-anak ke masjid, yaitu tulisan “DILARANG BERMAIN”. Tulisan tersebut sangat jelas maknanya bahwa anak-anak dilarang bermain di Masjid, bahkan di halaman masjidpun sepi dari anak-anak.

Ketika anak-anak main di masjid, banyak jamaah yang merasa bahagia, tapi ada juga anggota jamaah yang tidak tidak senang dengan kehadiran mereka. Salah satu alasan ketidak sukaan jama’ah terhadap anak-anak adalah karena anak-anak itu senang membuat gaduh. Kadang mereka tertawa cekikikan waktu para jamaah sedang salat, bahkan tak jarang mereka menangis karena suatu sebab.

Para jamaah merasa bahwa kegaduhan anak-anak membuat kekhusukan mereka terganggu. Seraya mengatakan “Masjid itu kan tempat ibadah, bukan tempat main apalagi untuk untuk cekikikan”.

Menurut saya, sebenarnya anak-anak boleh saja main ke masjid atau musala. Kalau mereka belum bisa bilang kalau mau pipis, maka orang tuanya bertanggung jawab penuh mendampinginya agar sewaktu-waktu pipis, air pipisnya tidak mengenai jamaah lainnya. Kalaupun anak-anak sudah bisa bilang ketika mau pipis juga tetap diawasi sebab siapa tahu masih senang iseng terhadap jamaah lainnya.

Barangkali pengawasannya tidak cukup dengan itu. Orang tua juga harus mengambil posisi barisan belakang saja untuk menjaga kekhusukan para jamaah.

Anak-anak usia TK/SD juga perlu diajak ke masjid dengan pendampingan orang tuanya. Demikian juga anak-anak yang lebih besar, mereka seharusnya bisa diajak ke masjid. Mengapa mereka harus ke masjid?

Saya pribadi tidak pernah melarang anak-anak saya ikut ke masjid biarpun mereka perempuan. Bagi saya tidak ada bedanya antara perempuan dan laki-laki dalam kasus ini. Mereka sama-sama berhak untuk kenal masjid sebagai tempat untuk salat. Mereka berhak menyaksikan orang-orang salat berjamaah.

Bila akhirnya mereka itu melakukan sedikit iseng atau melakukan sesuatu yang membuat gaduh, maka harus disadari bahwa mereka itu anak-anak yang masih senang bermain. Rasa ingin bermain mereka sedikit banyak akan berkurang sejalan dengan pertambahan kedewasaan mereka. Bila anak-tidak main, justru itu menandakan bukan sebagai anak-anak.

Saya punya pengalaman yang kurang menyenangkan dalam kasus anak-anak dan masjid. Ada salah satu keluarga saya yang tidak sering diajak ke masjid atau musalla waktu kecil. Alasan kenapa tidak diajak juga masuk akal, yaitu agar tidak mengganggu jamaah yang lagi salat. Karena pertimbangan inilah maka dia yang paling jarang ke masjid.

Sekarang akibatnya sudah bisa dirasakan, dari seluruh anggota keluarga yang tidak disiplin dalam menjalankan ibadah adalah saudara saya yang tidak di ajak ke masjid waktu masih kecil.

Kejadian yang menimpa keluarga saya ini seharusnya menjadi pelajaran kepada siapa saja bahwa bila kita ingin anak-anak kita atau generasi muda ingin menjadi yang taat ibadah, maka sedari kecil sudah harus kita ajak ke masjid. Bagaimana mereka akan menambatkan hatinya di masjid manakala mereka tidak mengenal masjid kecuali dari corong microphone yang keluar setiap awal waktu salat tiba.

Apalah artinya ngepel lantai masjid sementara kemudian anak-anak kita bisa menjadi orang-orang yang ahli ibadah lantaran mereka adalah bagian dari masjid itu sendiri.

Minggu, 04 April 2010

Keyakinan

Keyakinan atau iman merupakan kepercayaan mutlak terhadap sesuatu. Iman kepada Allah berarti percaya secara mutlak kepada Allah tanpa ada syarat apapun. Dalam keseharian, kata iman sangat mudah diucapkan namun sangat sulit diimplementasikan. Lebih lagi, iman susah dikontrol oleh orang lain. Yang tahu keimanan seseorang adalah seseorang tersebut dengan Maha Pencipta alias Allah. Boleh jadi seorang mengumbar kata kata iman, tapi tetap saja susah dibuktikan secara fisik bahwa dia beriman.

Sebagai contoh adalah seseorang yang berpuasa. Sebenarnya, yang tahu seseorang berpuasa adalah antara pelaku dengan Allah. Bila puasa ditandai dengan tidak makan, minum atau perbuatan lainnya yang membatalkan puasanya di hadapan orang lain, maka sesungguhnya sangat mudah mengecoh dengan berpura-pura puasa. Misalnya, pergi ke ruang tertutup, maka sangat mungkin untuk makan atau minum tanpa diketahui oleh orang lain.

Nampaknya keimanan mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sebagai ilustrasi banyak sekali orang dewasa yang tidak bekerja mengeluarkan keringat tidak berpuasa sehari penuh pada bulan Ramadan. Sedang sebagian anak kecil mampu melaksanakan puasa selama sebulan penuh tanpa ada lubang sekalipun. Dalam suatu keluarga umpamanya, ada salah satu anggota keluarga yang sudah dewasa namun tidak mampu puasa penuh dalam satu bulan dengan alasan yang tidak jelas. Sementara dua keponakannya mampu melaksanakan puasa sebulan penuh padahal mereka baru berumur 7 dan 8 tahun.

Yang menjadi tanda tanya mengapa orang dewasa tidak kuat puasa Ramadan sebulan penuh sementara anak kecil yang berumur 7 dan 8 tahun mampu puasa sebulan penuh.

Saya tetap berpendapat bahwa hanya keimanan yang mampu menggerakkan seseorang berpuasa atau melaksanakan ibadah lainya secara sempurna. Seorang dewasa tidak mampu puasa karena tidak yakin penuh bahwa puasa Ramadan itu titah Yang Maha Kuasa yang harus dijalankan, sementara anak-anak biarpun mereka masih kecil, namun mereka percaya penuh bahwa perintah puasa itu dari Allah yang tidak boleh ditinggalkan.

Keimanan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan atau yang akan ditinggalkan. Keimanan inilah yang akan mengontrol semua perbuatan. Seorang beriman akan merasa malu bila melakukan perbuatan yang nista. Dia merasa malu bukan karena dilihat orang lain, tapi lebih merasa bahwa apa yang dilakukannya selalu diawasi oleh Yang Maha Melihat.

Sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, seorang beriman akan sangat terikat dengan keimanannya. Semakin dia menjaga keimanannya, semakin kuat dia mengontrol perbuatannya.

Jadi, bila ada seseorang selalu beribadah sepertinya sangat khusuk tapi masih tega mengambil sesuatu yang bukan haknya, menyakiti orang lain tanpa alasan yang jelas, atau berbuat maksiat lainnya, baik yang merugikan dirinya maupun orang lain, maka sesungguhnya dia memperlihatkan bahwa dirinya masih menyimpan persoalan keimanan dalam dirinya.

So, Apakah benar kita sudah beriman?