Selasa, 26 Oktober 2010

Buku Elektronik Jadi Tren Positif

Semarang, CyberNews. Buku elektronik kini dipandang menjadi tren potif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas masyarakat. Berkembangnya buku elektronik tak lepas dari perkembangan teknologi sehingga internet kini tak jadi perangkat istimewa lagi.

"Dengan internet, mahasiswa dan dosen bisa mengakses buku elektronik secara gratis dan tak perlu susah mencari buku di beberapa toko buku. Tinggal mengklik suatu alamat website, kita bisa mendapat pengetahuan luas dalam buku elektronik, apalagi buku ini bisa dikirimkan lewat file digital secara langsung ke banyak orang," kata Prof Dr Abu Suud, mantan Rektor Unimus dalam seminar nasional "Eksistensi Buku dan Ebook di Era Globalisasi" di aula gedung Muhammadiyah Semarang.

Guru besar Emeritus Unnes sekaligus kolumnis rubrik Gayeng Semarang Suara Merdeka CyberNews itu menuturkan, dengan maraknya buku elektronik, seharusnya wawasan dan rasionalitas masyarakat semakin berkembang. "Namun, rasionalitas itu harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, norma yang berlaku, dan ajaran agama. Kalau tidak, akan timbul persepsi yang salah kaprah terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, seperti munculnya orang-orang liberal dan teroris," ujar Prof Abu.

Sementara Dosen Ilmu Perpustakaan Undip, Bahrul Ulumi mengatakan, buku elektronik memiliki kelebihan yang tak dimiliki buku cetak, yakni mudah dibawa dan diduplikasi, ukuran fisik relatif lebih kecil, dan pencarian lebih mudah. Meki demikian, Bahrul memandang, perlu ada perbaikan pada sistem dan konten buku elektronik. Sebab, kedepan diprediksi buku elektronik akan lebih menonjol ketimbang buku versi cetak.
"Jangan sampai kita ketinggalan dengan bangsa lain," kata dia.

Lalu, kapan nasib buku elektronik bisa lebih dominan ketimbang buku cetak? Menurut Bahrul, buku elektronik akan menggantikan buku cetak manakala produksi buku elektronik murah dan kemudahan penggunaan buku elektronik lebih baik.

"Di Indonesia, penulis buku elektronik masih sangat jarang dan baru Kemendiknas yang berani secara massal membuatnya dalam buku elektronik sekolah (BSE), karena masalah hak cipta dan pemberian royalti belum diperhatikan. Padahal, dalam membuat buku elektronik, penulis juga butuh upaya yang sama sepeti penulis buku cetak," ujarnya.

available at http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/10/03/6677703 Oktober 2010 | 22:46 wib

Senin, 11 Oktober 2010

Profesi VS Pekerjaan

bahrul ulumi

“Sule... sule.... sule....”
Kata sule sangat akrab di telinga saya sebab setiap hari penjaja sule selalu lewat depan rumah. Sule di sini bukanlah nama seorang komedian terkenal yang ada di TV, tapi merupakan akronim dari susu kedelai. Penjaja sule saat ini tergolong kreatif. Rasa sule tidak terjebak dengan rasa kedelai saja, tapi sekarang sudah bervareasi. Ada rasa melon, strowberry atau yang lainnya. Kalaupun warnanya putih, rasa kedelainya tidak dominan.

Sebenarnya yang menarik perhatian saya bukan pada rasa sule, tapi pada penjaja sulenya. Dulu, pekerjaan penjaja sule adalah sebagai karyawan pabrik tekstil terkenal yang terletak di Kaliwungu. Namun karena pemilik modal bangkrut, maka penjaja sule ganti pekerjaan. Kalau dihitung, barangkali penjaja sule sudah berganti pekerjaan beberapa kali, dari menjadi pegawai pabrik seleb (gilingan padi) sampai sebagai asisten ternak bebek. Sering bergantinya pekerjaan tersebut menandakan bahwa penjual sule bukan tipe orang yang mudah menyerah terhadap suatu keadaan. Dalam perhatian saya, dia tipe pekerja keras dan tidak terlalu mikir gengsi dirinya. Yang penting baginya punya kerjaan yang menghasilkan uang secara halal.

Seperti biasanya, pagi ini dia menjajakan sulenya lewat depan rumah. Dia sudah melewati jalan yang benar sebab anak saya termasuk penggemar susu kedelai racikannya, di samping tetangga kanan kiri menyukai susu kedelainya. Ketika dia mengambilkan sulenya ada seseorang bertanya padanya:

“Ji, ganti profesi ni”
Penjaja sulepun secara tangkas menjawab
“Ya, untuk ngubah nasib”

JI merupakan panggilan singkat Haji. Dari sini ketahuan kalau penjaja sule adalah seseorang yang bergelar haji. Memang dia sudah berangkat haji pada tahun 2006. Penjaja sule memang tergolong beruntung sebab dia mendapatkan ongkos dari orang tuanya untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima.

Dari perbincangan singkat di atas ada istilah yang menggelitik, yaitu kata profesi untuk menanyakan pekerjaan penjaja sule. Kata profesi ini sebenarnya tidak pas bila dilekatkan dengan pekerjaan penjaja sule. Seseorang tidak perlu sekolah pada jurusan tertentu untuk menjajakan sule. Marketing bisa dipelajari secara akademis, tapi kalau sekedar berjualan sule keliling kampung tidak perlu untuk memasuki kuliah pada jurusan tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan dsb) tertentu. Sedang pekerjaan adalah barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dsb.).

Singkat kata, menjual sule bukanlah suatu profesi tapi pekerjaan. Jadi bila ada seseorang menanyakan profesi pada penjaja sule rasanya tidak tepat. Sesuatu dikatakan profesi manakala dilakukan dengan berlatar bekalang pendidikan terntentu, yang tentu membutuhkan keahlian khas. Penjaja sule tidak memerlukan keahlian yang khas. Hal ini sangat berbeda dengan profesi pengacara umpamanya. Seseorang boleh membela orang lain karena suatu kasus tertentu. Tapi pembela kasus tersebut tidak mesti disebut sebagai pengacara. Pengacara berlatang belakang pendidikan Sarjana Hukum. Jadi dia berlatar belakang pendidikan tertentu dalam hal ini adalah kajian hukum, dan dia harus bergelar sarjana hukum.

Katagori profesipun tidak terbatas pada kelulusan kesarjanaan. Sulistyo basuki (2009) mensinyalir ada 3 ciri yang mendasari sebuah profesi, yaitu 1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimuali ketika seseorang selesai memperoleh gelar kesarjanaannya. 2. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahlian yang rata-rata tidak diketahui oleh orang awam. 3. Tenaga terlatih memberikan jasa pada masyarakat. Profesi berorientasi memberikan jasa pada kepentingan umum.

Di samping ketiga ciri di atas masih ada 3 ciri tambahan lainnya, yaitu 1. Adanya proses lisensi atau sertifikat. 2. Adanya organisasi profesi, dan 3. Otonom dalam pekerjaanya.

Masyarakat pada umumnya mencampuradukkan penggunaan istilah profesi dan pekerjaan, termasuk lembaga pemerintahan. Sebagai ilustrasi, profesi/pekerjaan dalam kartu tanda penduduk (KTP) hanya ada beberapa saja, yaitu swasta, pegawai negeri sipil, polisi, TNI, dan mungkin dokter. KTP yang di dalamnya tertera tanda tangan camat ternyata hanya mengenal profesi tersebut di atas.

Dari beberapa profesi di atas, mungkin yang agak janggal adalah pegawai negeri sipil dan swasta. Bisa jadi seseorang dimasukkan sebagai pegawai negeri sipil karena mengajar di perguruan tinggi negeri, sementara seorang lainnya dimasukkan swasta sebab dia mengajar di perguruan tinggi swasta. Mereka dibedakan menjadi PNS dan swasta, padalah mereka sama-sama sebagai pengajar perguruan tinggi.

Pemilihan istilah yang tidak tepat kadang membuat telinga kita tidak nyaman mendengarnya.

Jadi, tidak usah kaget kalau nanti ada istilah “berprofesi sebagai PSK” atupun “pekerjaanya sebagai dokter” muncul di media massa, sebab memang kedua istilah tersebut digunakan secara tidak tepat.


Bibliografi

Profesi tersedia di http://kamusbahasaindonesia.org/profesi (12-10-10)
Sulistyo-Basuki (2009) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.