Rabu, 24 Februari 2010

Fiksi

Rupanya mendung pagi ini malas turun sehingga matahari bersinar sangat cerah. Tentu pagi sangat hepi sebab dia akan tampak ceria. Pagi ceria, sebenarnya, juga tidak selalu berbanding lurus dengan penikmat matahari pagi. Tak percaya? Datang saja ke rumah sakit. Biarpun matahari mencoba tersenyum semeriah mungkin, tetap saja orang sakit kelihatan pucat bahkan matahari menjadi pengganggu tidur paginya.
Artinya, kecerian sinar matahari bisa dipandang “ceria” atau “tidak ceria” sangat tergantung pada perspektif. Matahari yang cerah bagi orang yang hepi adalah benar-benar menceriakan suasana hati, begitupun sebaliknya, kecerian matahari bisa menjadi pengganggu nomor satu bagi mereka yang sedang gundah gulana. Kehadiran matahari hanya menagih si gundah gulana untuk kembali mengingat mimpi buruk atau pengalaman buruk yang sedang menimpanya.

Konon, ada sebuah istilah yang digunakan untuk mensifati sebuah karya tulis semacam, fiksi dan nonfiksi. Barangkali secara singkat dapat dikatakan bahwa karya nonfiksi adalah karya ilmiah yang benar-benar nyata, dan bisa dibuktikan dengan eksperimen, sementara karya fiksi adalah karya rekayasa khayalan seorang penulis saja, yang kebenarannya tidak bisa dibuat eksperimen ulang dengan menggunakan metode ilmiah.
Masih menurutku pastinya. Karya nonfiksi selalu dikonfrontasikan dengan karya fiksi yang berarti bahwa nonfiksi itu nyata sedang fiksi adalah tidak nyata. Dari novel (sebagai contoh karya fiksi) yang aku baca, diakui memang ada novel yang sangat bombastis, romantis dan melangit ceritanya seolah berlatar belakang angkasa langit sana. Novel jenis ini tentu langsung bisa diputusi terlalu menghayal dan tidak membumi. Lalu bagaimana novel-novel lainnya?

Novel-novel tersebut bisa jadi merupakan cerminan masyarakat pada umumnya. Bila isi sebuah novel itu mengurai suatu kebobrokan moral masyarakat, maka seharusnya kita tidak usah pake emosi dulu dengan menentang keras ini novel tersebut. Ada baiknya kita mengoreksi diri terlebih dulu apakah novel tersebut memang cerminan suatu fakta atau khayalan belaka. Bila isinya merupakan cerminan fakta, tentu seharusnya kita berterima kasih pada penulis memang seperti itulah kejadian yang ada di masyarakat. Demikian juga sebaliknya, bila novel tersebut hanya rekaan atau khayalan belaka, bahkan berisi fitnah, tentu harus ditolak.

Seorang pengarang bisa menulis sesuatu karena dia telah memotret apa yang terjadi di masyarakat. Aku tetap berpendapat bahwa novel seringkali merupakan fakta sosial yang dikemas dalam bahasa dan gaya seorang penulis. Penulis mencoba memotret peristiwa di tengah masyarakat lalu disuguhkan kepada masyarakat kembali. Tinggal masyarakat itu menyadari ada sesuatu yang tidak beres atau tidak. Itu semua dikembalikan kepada pembaca yang tak lain dan tidak bukan adalah masyarakat juga.