Minggu, 20 Februari 2011

Anak adalah fotokopi

Dalam kehidupan sehari-hari di kampung, kata-kata “Iki ki anake sopo”(ini anak siapa sih), “anak kog ora iso diatur”(anak tidak bisa atur), bahkan ekstremnya sampai muncul “anak setan iki pancen”(ini bener-bener anak setan).

Kata-kata di atas merupakan umpatan orang tua yang kesal kepada anak-anak mereka sendiri. Kata-kata tersebut masih terhitung sedikit sebab banyak orang tua yang mengobral kata-kata kasar manakala mereka kesal atau kecewa terhadap anak-anaknya. Sebenarya absah-absah saja orang tua untuk mengumpat sedemikian rupa pada anaknya wong itu hak orang tua terhadap anaknya sendiri. Tapi apakah pantas kata-kata kasar tersebut dialamatkan pada anak yang nota bene adalah anak kandung mereka sendiri?

Dalam teks kitab suci, anak harus hormat dan berbakti pada orang tua, dan ini harga mati. Apapun keadaan orang tua, anak tetap harus menghormati orang tuanya. Bahkan dalam teks suci juga dikatakan bahwa surga anak berada di bawah kaki ibu yang tak lain dan tidak bukan adalah salah satu dari orang tuanya. Teks ini berlaku di dunia dan akhirat. Artinya kunci keberhasilan anak di dunia dan akhirat sedikit banyak tergantung pada seberapa jauh dia bisa ngawulo (menghormati, menjaga perlakuan baik lainnya) pada orang tuanya. Keberhasilan ini tentu tidak diukur seberapa banyak harta yang dimiliki tetapi seberapa jauh dia merasa bahagia dalam hidupnya. Saya percaya seseorang yang berkonfrontasi dengan orang tuanya bisa kaya harta, tapi saya tidak percaya seseorang orang yang berkonfrontasi sama orang tuanya tersebut bisa merasakan kebahagian sebenarnya. Ungkapan kebahagian anak berada pada telapak kaki ibu tidak bermakna apa adanya. Tapi suatu ungkapan bahwa kebahagian benar-benar berada pada ridlo seorang ibu.

Kendati demikian, orang tua tidak bisa seenaknya mengumpat dengan kata-kata yang jelek. Umpatan-umpatan seperti tertera di atas merupakan umpatan yang tidak seharusnya keluar dari mulut orang tua. Biarpun orang tua kesal, seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada anaknya. Bisa dibayangkan bila kata-kata kasar tersebut berbinih doa dan berbuah kenyataan. Anak-anak yang tadinya nurut, lalu menjadi tidak bisa diatur, anak-anak tumbuh dewasa dengan mewarisi sifat jahat setan umpanya, siapa yang akan menanggung kerugian? Akhirnya, orang tua jua yang akan menanggung kesedihan karena ulah anaknya.

Sebenarnya, tidak ada salahnya bila orang tua (ayah-bunda) untuk melihat ke belakang alias introspeksi diri. Banyak hal yang dulu dilakukan oleh orang tua berulang pada anaknya baik sifat jelek maupun sifat bagus. Seseorang yang tukang “ngeyel” jangan kaget kalo di kemudian punya anak sukanya ngeyel. Seseorang yang senang menebar kebohongan, hendaknya juga jangan heran kalau anaknya berbohong, begitu juga sifat lainnya. Sifat-sifat apapun yang dimiliki orang tua berkecenderungan untuk diwariskan pada anak-anaknya.

Jadi, sebagai orang tua hendaknya hati-hati bila momong (merawat) anak. Ternyata, anak adalah fotokopi dari diri kita sebagai orang tua.

Jika sekarang anak-anak kita malas sekolah, kritis dengan pertanyaan yang aneh-aneh, kadang enggak nurut sama orang tuanya, maka tidak usah menyalahkan mereka habis-habisan karena kitapun dulu juga demikian.

Seperti yang saya alami sekarang ini, anak-anak malas sekolah, terlalu pede pada pendapatnya sendiri, atau kadang bertanya pada hal yang aneh-aneh untuk anak seusianya, maka saya hanya tersenyum seraya ngomong sendiri “oh jadi begini juga yang dirasakan orang tua saya terhadap kelakuan saya saat kecil”.

Minggu, 13 Februari 2011

Surga

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata surga. Dalam pandangan sehari-hari pula, surga dipahami sebagai suatu tempat yang disediakan oleh Allah bagi mereka yang beriman dan berbuat baik waktu hidup di dunianya. Surga berada di alam akhirat atau alam dimana umat manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya. Surga diidentikan dengan sesuatu yang indah-indah dan nikmat-nikmat. Tidak mengherankan bila surga dalam bahasa Arab sering disebut sebagai jannah yang berarti kebun.

Istilah jannah berasal dari bahasa Arab. Negara-negara Arab merupakan Negara yang kaya akan kandungan minyak dalam perut buminya, sementara daratannya tandus. Maka tidak berlebihan bila pertanian dan kebun-kebunan yang indah jarang ditemukan di sana. Daerah yang gersang seperti Negara-negara Arab sangat mendambakan lahan pertanian dan kebun. Kebun-kebunan dan pertanian barangkali identik dengan kemewahan untuk di daerah tersebut. Atas alasan inilah padanan jannah dipilih sebagai padanan kata surga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI) surga merupakan alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yg hendak tinggal di dalamnya (dl keabadian). KBBI juga menyebut surga dengan jannah yang berarti alam akhirat tempat jiwa (roh) manusia mengenyam kebahagiaan sebagai pahala perbuatan baiknya semasa hidup di dunia.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju batasan yang diberikan oleh KBBI, yang jelas surga berada di alam akhirat bukan dunia. Desain tersebut tentu bukan tanpa maksud. Bila surga di dunia dan bisa dilihat secara kasat mata tentu semua orang pasti akan berbuat baik dan serta merta meninggalkan perbuatan jelek. Keberadaan surga di akhirat dimaksudkan untuk menguji integritas orang di dunia apakah mereka akan melakukan tindakan baik atau jelek.

Surga dikenal sebagai tempat kompensasi bagi mereka yang berbuat baik, sebagaimana yang seringkali diceramahkan oleh para mubaligh atau para penceramah agama. Dalam setiap ceramah, nyaris, mereka tidak pernah melupakan untuk menyebut kata surga. Kata surga ini sebagai iming-iming agar orang mau berbuat baik. Sehingga muncul kesan bahwa surga merupakan tujuan akhir segala bentuk kebaikan.

Surga oriented sepertinya mengingatkan saya pada suatu pernyataan seorang sufi, Rabiatul Adawiyah, yang mengatakan:

“Allah, kalau sekiranya saya beribadah karena ingin surgaMu, maka masukkan saya dalam nerakaMu”

Pernyataan di atas sepertinya aneh dan tidak biasa kita dengarkan dalam forum pengajian, bahkan kita akan mengatakan betapa beraninya seorang sufi tersebut untuk menolak surga padahal hampir semua orang menginnginkannya.

Namun, bila penrnyataan di atas direnungkan justru membimbing kita pada suatu kenyataan bahwa Allah adalah orientasi dari segala kebaikan. Allah dan surga adalah berbeda. Allah adalah pencipta, sementara surga adalah ciptaan, begitu juga neraka dan kita semua sebagai manusia. Alangkah ruginya kita sebagai makhluk bila berbuat baik karena surga yang notabene juga makhluk.

So, sekarang terserah kita, mau karena Allah atau karena surga. Allah a’lam