Selasa, 23 Agustus 2011

WC bagi sebagian warga desa



Desa yang saya tinggali sekarang ini sepertinya desa nanggung. Maksudnya mau dibilang desa kenyataannya tidak desa-desa amat. Dibilang kota juga bukan benar-benar kota. Cara berpakaian misalnya, tidak ada yang membedakan pakaian warga desa saya dengan kota. Apa yang menjadi tren di kota, maka menjadi tren juga di desa saya. Sepertinya tidak ada bedanya antara desa dan kota dalam hal fashion. Justru karena posisi “nanggung” itulah terjadi banyak keunikan yang barangkali tidak akan di jumpai di masyarakat perkotaan.

PNPM mandiri mengelompokkan desa saya sebagai perkotaan. Saya tidak tahu persis dasar apa yang digunakan untuk menyebut desa saya sebagai kota. Barangkali saja berdasar pajak tanah yang lebih mahal dibanding dengan desa sebelah. Atau barangkali desa saya lebih dekat dengan jalan Daendles sehingga menjadi lebih mahal dari yang jaraknya lebih jauh dari jalan Daendles. (lihat di nb)

Salah satu keunikan yang saya lihat langsung adalah bahwa masyarakat saya lebih suka membangun fisik rumah bagian depan, sementara bagian tengah dan belakang dikesampingkan. Misalnya teras rumah dikeramik mulus bukan main, tapi dalam rumah sebagai tempat kumpul keluarga setiap hari dibiarkan beralaskan tanah. Padahal kalau dipikir, jarang-jarang teras dijadikan tempat ngumpul keluarga. Tempat ngumpul keluarga paling strategis adalah di ruang tengah. Tapi sayang prioritas pembangunan justru di depan, bukan di ruang tengah.

Ada keunikan lain yang membuat saya terheran-heran. Yaitu ada keluarga yang rumahnya bagus ditandai dengan bangunan rumah yang permanen, lantai rumah juga sudah dikeramik mulus. Bahkan keuarga tersebut terhitung punya dua kendaraan bermotor. Namun sayang, keluarga tersebut tidak punya wc.

Yang lebih menggelikan lagi adalah ada tetangga yang bangunan fisik rumahnya bagus. Dan tidak ada tanda-tanda kalau keluarga tersebut dikategorikan “tidak punya”. Dia juga punya 2 kendaraan bermotor yang tergolong masih baru. Lagi-lagi saya katakan sayang sebab rumahya tidak dilengkapi fasilitas WC.

Dari sinilah saya merasa lucu sekaligus terheran-heran dengan prilaku masyarakat saya. Kebanyakan mereka selalu menjaga bangunan fisik rumah sedemikian rupa sehingga menampakkan sesuatu yang baik- baik saja, sementara sesuatu yang letaknya di belakang, biarpun punya peran sangat penting tidak pernah diperhatikan, apalagi dimodali dengan sejumlah uang. Padahal kalau dipikir lebih jauh, hajat punya tampang rumah bagus dan punya kendaraan baru bisa ditangguhkan, sementara hajat untuk buang air besar ataupun kecil tak bisa ditunda. Barangkali saja mereka beralasan kalau tampang rumah ataupun kendaraan baru menunjuk pada status sosial mereka ke tempat yang lebih tinggi sementara WC tidak menunjuk status sosial apapun sehingga diabaikan.

nb. Cerita jalan Daenles mengingatkan saya ketika kuliah dulu. Dalam buku pelajaran sejarah sih sudah maklum dan tidak perlu digugat bahwa jalan Daendles itu sangat panjang membentang dang dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (jawa Timur). Namun di kemudian hari, ada dokumen lain mengenai jalan Daendles. Daenles mengklaim bahwa dia telah membangun jalan yang sangat panjang. Berita itu pula yang dia sampaikan pada ratunya di Belanda sana. Dari itu maka semua terlena bahwa jalur utama jalan raya pulau Jawa dibangun oleh Daendles. Untuk itulah nama jalan menjadi Daendles. Menurut catatan sejarah yang ada di Perancis, konon jalan yang dibangun oleh Daendles bukan dari Anyer sampai Panarukan, tapi dari Anyer sampai Cirebon. Itu saja cara membangunnya tidak dengan berdarah-darah, tapi dengan pembangunan yang melibatkan kuli bayar yang berasal dari Solo dan Yogyakarta. Dengan harapan Daendles mendapat pujian dari ratunya maka dia memanipulasi sejarah pembangunan jalan raya sepanjang pulau Jawa tersebut.

Tidak ada komentar: