Minggu, 14 Desember 2008

PERPUSTAKAAN HIBRIDA: Alternatif solusi akses informasi di perpustakaan perguruan tinggi


Oleh: Bahrul Ulumi

LATAR BELAKANG

Keterbatasan akses di perpustakaan perguruan tinggi adalah masalah klasik yang belum terselesaikan dengan baik. Masalah ini muncul mengingat pemakai perpustakaan banyak, namun ketersediaan bahan perpustakaan terbatas. Sebagai ilustrasi, seorang dosen memberi tugas pada mahasiswa untuk membuat makalah dengan tema ”Pemikiran salah satu tokoh kritis dalam filsafat”. Tugas ini harus dikumpulkan satu minggu kemudian. Yang terbayang dalam benak mahasiswa adalah dia harus cepat-cepat untuk meminjam buku yang ada di perpustakaan fakultas maupun di perpustakan pusat. Langkah yang diambil adalah bergegas cepat-cepat melihat katalog (OPAC) untuk browsing apakah buku yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Hati mahasiswa lega ternyata buku filsafat yang dibutuhkan ada sehingga dia harus cepat-cepat pergi untuk mengambil buku tersebut. Namun sayang, buku yang jelas-jelas dia butuhkan ternyata sudah dipinjam rekannya yang akan dikembalikan setidaknya 2 minggu kemudian.

Dia meneruskan pencariannya ke perpustakaan pusat. Langkahnya sama dengan yang ditempuh dengan di perpustakaan fakultas, yaitu brwosing OPAC dulu. Tanpa membuang waktu, dia menuju koleksi filsafat. Dia sudah merasa tenang melihat deretan buku-buku filsafat. Namun untuk kedua kalinya dia harus kecewa karena hanya ada sebuah buku yang memuat pemikiran tokoh krtitis. Itu saja teman sekelasnya sudah mengantri mau pinjam. Tentu kebingungannya tidak berhenti di situ saja. Tugas-tugas lain ternyata juga sudah menunggu, di luar mata kuliah filsafat, yaitu dia harus menyelesaikan sebuah paper untuk tugas mata kuliah Metodologi Penelitian.

Mengacu dari kasus di atas, ternyata ketersediaan buku atau koleksi yang ada`di perpustakaan mengenai topik tertentu sangat terbatas. Keterbatasan inilah menyebabkan akses untuk mendapatkan informasi tertentu jadi terhambat. Maka harus ada upaya lain untuk membuat akses informasi tersedia.

PERPUSTAKAAN KONVENSIONAL, DIGITAL DAN HIBRIDA

A. Perpustakaan Konvensional

Ketika membincangkan perpustakaan konvensional (perpustakaan berbahan kertas dan tinta), tentu kita tidak pernah bisa melepaskan unsur tempat karena eksistensi perpustakan konvensional ditandai dengan tempat. Dalam suatu batasan perpustakaan, adalah ruangan, ataupun bagian sebuah gedung atau gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca bukan untuk dijual (Sulistyo-Basuki, 1991: 3). Dari batasan ini saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa aspek tempat menjadi utama karena sebuah perpustakan didefiniskan sebagai ruangan atau gedung yang koleksinya terdiri atas bahan tercetak.

Dilihat dari tahun dimana buku ini diterbitkan masih sangat relevan untuk menonjolkan aspek tempat sebagai batasan utama sebuah perpustakaan., yakni pada tahun 1990an.

Maka tak jarang ditemui gedung perpustakaan sangat besar karena perancang dan pengelolanya berpikir bahwa koleksi buku akan bertambah sekian persen dari koleksi yang sudah ada. Asumsi ini tidak salah, sebab bisa jadi ke depan buku akan semakin banyak jumlahnya, dan pasti akan membutuhkan perluasan tempat.

Kendati demikian, tidak ada salahnya pengelola dan perancang gedung perpustakaan harus memikirkam kemungkinan lain bahwa perkembangan teknologi seperti sekarang jauh lebih maju dari yang dipridiksi sebelumnya. Dahulu, orang tidak mengira bahwa media penyimpan data yang secara fisik sebesar setengah dari buplen mampu menyimpan data yang begitu besar. Dan media penyimpan itu sudah menjadi kebutuhan bagi setiap mahasiswa dewasa ini. Tak jarang mereka punya banyak informasi yang begitu beragam mengenai banyak subyek yang hanya disimpan dalam sekeping flasdisk kecil.

Dahulu pula orang terheran-heran dan kagum melihat koleksi perpustakan yang rak-raknya dipenuhi oleh Encyclopedia Americana atau Britanica. Sehingga koleksi ini pula sering dijadikan ukuran hebat tidaknya sebuah perpustakaan berdasar pada punya tidaknya Encyclopedia Americana atau Britanica. Dalam konteks dahulu, tentu tidak berlebihan karena edisi cetak ensiklopedia ini memang mengagumkan dengan selalu meng up date data yang ada di dalamnya. Bahkan untuk karya ensiklopedi tercetak, maka ensiklopedia di atas selalu berada di depan dibanding ensiklopedi sejenis lainnya.

Namun ketika media penyimpanan tidak mengandalkan cetakan satu-satunya cara menyimpan informasi, maka kedua ensiklopedia di atas terasa kurang memberi informasi yang sempurna karena hanya menyediakan narasi dan gambar mati saja.

Sebagai perbandingan, berikut ini bisa dilihat keunggulan ensiklopedia berbahan cetakan dan ensiklopedi noncetak.

Ukuran

Cetak

Noncetak

Media

Kertas

Keping CD, Hard Disk, digital

Volume

Besar

Minim

Harga

Mahal

Terjankau

Tampilan

Visual

Audio Visual

Isi (content)

Besar

Sangat besar

Up date

Cetak ulang

Up date cepat

Akses Informasi

Lewat indeks, Terbatas oleh tempat dan waktu, serta tidak bisa dipakai secara bersamaan.

Mudah, tidak terkendala tempat dan waktu sebab tersedia dalam online, dan dapat diakses banyak pemakai pada saat yang bersamaan Langsung

B. Perpustakaan Digital

Konsep perpustakaan digital, perpustakan elektronik ataupun perpustakaan hibrida sering dianggap sama atau sinonim. Artinya bila menyebut satu istilah di atas maka istilah itu megacu pada perpustakaan yang sama. Namun sekarang, konsep perpustakaan digital lebih sering didengar dari istilah lainnya, karena kebanyakan orang berharap ada ada kemajuan besar dalam dunia perpustakaan..

Dari sinilah para ahli mulai membatasi istilah perpustakaan digital. Batasan yang paling sederhana adalah definisi Lesk sebagaimana dikemukakan Pendit dalam Perpustakaan digital: perspektif perpustakaan perguruan tinggi, yaitu ”Organized colections of digital information” (2007:29). Batasan lain yang lebih luas disampaikan Arms seperti dikemukakan Deegan (2002:20) yaitu:

“A Managed collection of information, with associated services, where the information is stored in digital formats and accessible over network. A crucial part of this definition is that the information is managed.”

Federasi perpustakaan di Amerika Serikat juga memberi batasan sebagaimana dikutip oleh Deegan (2002:20) sebagai berikut:

“Digital libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by defined community or set of communities”.

Batasan terakhir memberi makna yang lebih luas dari dua terdahulu, yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber digital disamping pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat yang diharapkan dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.

Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit (2007:30), menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:

1) Memakai teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas.

2) Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun sksternal.

3) Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.

Karakter terakhir yang menyebut integrasi berbagai lembaga informasi untuk melayani berbagai masyarakat, merupakan salah satu gambaran paling dicitakan dalam konsep perpustakaan digital. Dari sisi teknologi, maka yang menjadi perhatian utama adalah adanya integrasi dan keterkaitan antar berbagai jenis format data dalam jumlah yang sangat besar; disimpan dan disebarluaskan melalui jaringan telematika yang bersifat global. Mukaiyama (1997) mengemukakan setidaknya ada 7 (tujuh ) teknologi yang menjadi perhatian utama dalam mewujudkan perpustakan digital yaitu:

1) Contents processing technology.

Teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, menemukan kembali informasi digital, baik informasi primer maupun sekunder secara efektif.

2) Information access technology.

Teknologi yang memungkinkan menyediakan akses ke berbagai jenis informasi tanpa batasan waktu dan tempat.

3) Human-friendly, intelellgenet interface.

Antarmuka yang memungkinkan peningkatan produktivitas intelektual dalam bentuk fasilitas yang juga memungkinkan berbagai pengguna melakukan berbagai carian informasi.

4) Interoperability.

Teknologi yang memungkinkan berbagi teknologi yang berbeda-beda saling bertemu dalam lingkungan yang heterogen.

5) Scalability.

Teknologi yang memperluas sebaran informasi dan mmapu meningkatkan jumlah pengguna serta memungkinkan aksesnya.

6) Open system development. Teknologi yang memungkinkan penggunaan standard international dan standar de facto tetapi tidak mengorbankan kinerja keseluruihan. Standardisasi tidak boleh menyebabkan sistem terlalu lambat.

7) Highly system development.

Luasnya cakupan informasi dan cepatnya pertumbuhan perpustakaan digital dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan teknologi yang dengan cepat bisa disesuaikan dengan perkembangan sistem sosial.

Dengan persyaratan yang begitu kompleks untuk mewujudkan suatu perpustakaan digital, maka membangun perpustakaan digital tidak mungkin dikerjakan oleh perpustakaan perguruan tinggi saja. Proyek besar memerlukan kerja sama yang erat antara banyak pihak, Upaya ini bisa mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya mewujudkan perpustakaan digital dengan perjalanan proses yang lumayan panjang.

Mengacu kasus yang terjadi di Amerika, jelas bahwa upaya digitalisasi koleksi (membuat perpustakaan digital) bukan persoalan yang mudah. Perlu dana yang sangat besar disamping didukung kebijakan pemerintah yang kuat. Bisa dibayangkan kalau seandainya semua koleksi yang ada di perpustakaan didigitalkan. Berapa banyak tenaga, dana dan waktu untuk merealisasikan program tersebut. Dan itulah ambisi Amerika sebagai negara terdepan dalam mengembangkan teknologi informasi. Hebatnya negara maju yang mengandalkan informasi sebagai salah satu andalan komoditas ekspor, mempunyai kebijakan yang betul–betul komprehensif. Artinya bahwa pemerintah sepenuh hati berupaya mewujudkan perpustakaan digital. Ada tiga departemen besar dalam pemerintahan menyatu padu dalam berupaya merealisasikan cita-cita tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, barangkali Amerika Serikatlah yang berhasil mewujudkan perpustakan digital yang diimpikan oleh banyak orang.

C. Perpustakaan Hibrida

Sebelum banyak ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak. Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.

Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai format.

Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat, setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:

1) HyLife (Hybrid Library of the Future) Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas layanan lektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

2) Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.

3) HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)

Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.

4) Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)

Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.

5) Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.

Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi tententu. Yang membedakan perpustakaan digital dangan hibrida adalah:

Pertama, hibrida masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital.

Kedua, perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.

Konsep perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.

DIGITALISASI PERPUSTAKAAN

Digitalisasi ini dimaksudkan untuk mencoba mengatasi persoalan mahasiswa yang mengalami keterbatasan akses informasi dalam menyelesaikan tugasnya, sebagaimana diurai pada latar belakang. Bila koleksi perpustakaan berformat digital tentu tidak ada persoalan bagi mahasiswa dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. Sejumlah berapapun dan dari manapun mahasiswa berasal, kepentingan akses mereka terhadap suatu informasi akan mudah diakomodasi oleh koleksi digital.

Mahasiswapun tidak harus datang ke perpustakaan secara fisik, karena mereka bisa saja membuka dengan fasilitas klik di depan ruang kuliah dengan menggunakan lap topnya. Merekapun sangat leluasa dalam mengakses karena perpustakaan digital tidak membatasi waktu akses. Dalam 24 jam perpustakaan digital siap melayani penggunanya tanpa lelah, disamping mereka bisa menghindari penjaga perpustakaan konvenional yang seringkali kurang ramah.

A. Implementasi perpustakan digital

Digitalisasi bahan perpustakaan bisa berupa buku, naskah kuno, peta, foto lukisan dan sebagainya. Digitalisasi bahan-bahan ini dimaksudkan untuk melestarikan informasi yang ada dalam bahan-bahan tersebut. Digitalisasi bahan tercetak seperti buku, majalah ataupun hasil penelitian bisa dilakukan dengan menindai atau menscan. Demikian halnya bahan lainnya seperti peta dan naskah kuno. Untuk karya seperti patung, digitalisasi dilakukan dengan memotret dulu menggunakan kamera digital sehingga nantinya menjadi bahan digital. Cara ini memungkinkan patung dilihat dari banyak sisi.

Secara singkat, Suryandari (2007:234-235) menjelaskan proses digitalisasi bahan-bahan perpustakaan sebagai berikut:

Scanning

Yaitu proses menscan atau menindai bahan-bahan tercetak dan mengubahnya menjadi berkas digital.

Editing

Adalah proses mengolah bahan berkas PDF dalam komputer dengan memberikan password, catatan kaki, daftar isi dan sebagainya. Tentu, pemberian password ataupun catatan kaki disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku di institusi yang bersangkutan.

Proses OCR (Optical Character Recognition) juga dimasukkan dalam kategori editing. Proses OCR adalah proses mengubah gambar menjadi teks.

Uploading

Merupakan proses pengisian metadata serta mengupload berkas dokumen ke dalam perpustakaan digital. Berkas yang diupload ini merupakan berkas PDF yang berisi full text karya akhir dari mulai halaman judul hingga lampiran yang telah melalui proses editing. Dengan demikian file tersebut telah dilengkapi dengan password daftar isi, catatan kaki dan sebagainya.

B. Perlindungan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terhadap Perpustakaan Digital

Hak kekayaan intelektual atau sering disingkat HKI atau akronim HAKI adalah padanan kata Intellectual Property Right, yakni hak yang timbul dari olah pikir manusia untuk menghasilkan suatu karya yang bisa memberi kemanfaatan kepada masyarakat banyak.

Pada hakekatnya HAKI merupakan hak untuk menikmati secara ekonomi dari suatu kreativitas intelektual. Obyek yang diatur dalam HAKI adalah karya-karya yang lahir dari kekayaan intelektual manusia. Secara garis besar, HAKI itu dibagi dua yaitu: Hak cipta (copyright) dan Hak kekayaan industri (Industrial property right). Namun dalam konteks perpustakaan digital, perlu sedikit uraian mengenai hak cipta sebagi perangkat hukum agar tidak menyalahi terhadap kaidah hukum positif yang sudah ada.

Hak cipta ini meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:

  • Buku, program komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  • Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
  • Arsitektur;
  • Peta;
  • Seni batik
  • Fotografi;
  • Sinematografi
  • Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain yang dari hasil pengalihwujudan.(UU No 19/2002 pasal 12).

Pasal dalam UU No 19/2002 pasal 12 jelas memasukkan buku sebagai salah satu karya yang harus dilindungi oleh hukum. Oleh karena pengarang/ pencipta berhak untuk:

  • Perbanyakan (right of reproduction) Hak perbanyakan adalah kekayaan intelektual yang paling dasar dan substansial. Perbanyakan berarti perbanyakan dalam bentuk kongrit melalui cetakan, fotografi, suara, rekaman visual, dan sebagainya. Penerbitan adalah salah satu metode yang paling tua. Umumnya hak hak yang bertalian dengan penerbitan disebut menerbitkan dan hak hak ini adalah salah satu jenis dari hak perbanyakan. Membuat rekaman visual dan atau audio pertunjukan atau siaran, sandiwara, ceramah, dan sebagainya, juga menggunakan hak perbanyakan, bahkan hak ini mencakup berbagai kegiatan yang sangat luas, termasuk menyalin teks atau ilustrasi dengan alat scanner atau mesin fotokopi
  • Hak menyebarkan (right of public transmission)

Pencipta punya hak untuk menyebarluaskan ciptaannya di depan umum. Karena menyebarluaskan kepada umum berarti menyebarluaskan melalui radio, televisi dan sebagainya.

  • Hak mencantumkan nama pencipta. Bila sebuah ciptaan diumumkan. Pencipta memiliki ak untuk menentukan apakah nama pencipta haru dicantumkan atau tidak. Dan apakah nama sebenarnya atau nama sebenarnya yang digunakan, atau tidak. Pencipta juga memiliki hak untuk menetukan hal ini bila sebuah ciptaan turunan diumumkan. Ak ini bukan berarti keharusan menggunakan nama penciptanya.
  • Hak melindungi integritas ciptaan. Artinya pencipta memiliki hak melindungi untuk integritas ciptaannya dari distorsi atau perubahan. Dalam hal ini penerbitan atau musik dapat menimbulkan masalah bila diperlukan perubahan atau pembetulan ejaan, istilah, atau ungkapan. Dengan berjalannya waktu berubah pula norma-norma sosial dan bahkan kosa kata dan ejaan yang kita pakai. Penerbit dan editor, barangkali akan mengubah suatu karya agar lebih mudah dibaca (Hozumi, 2004: 24).

Rangkaian pasal pasal di atas sangat jelas bahwa hasil karya manusia perlu dilindungi oleh payung hukum, agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntugan secara pribadi. Persoalan yang kemudian muncul bekaitan dengan aspek hukum ini, adalah apakah digitalisasi bahan-bahan koleski perpustakaan dikatagorikan sebagai kegiatan melawan hukum?

Dalam pasal-pasal hukum selalu saja ada pengecualian. Salah satu pengecualian dalam UU Hak Cipta adalah tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (UU No 19/2002 pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan oilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norms kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)

Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum yaitu tidak berhak cipta.

Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Kegiatan digitalasi ini berarti perbanyakan dari suatu ciptaan. Setiap perbanyakan ciptaan harus diketahui oleh penciptanya/pemegang hak ciptanya karena disana ada nilai ekonominya. Bila semua perbanyakan mengandung nilai ekonomi maka pihak manapun yang memperbanyak, perlu ijin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Konsekwensinya adalah bila suatu perpustakaan ingin mendigitalkan seluruh koleksinya dari tercetak ke digital, maka harus ijin pada pencipta atau pada pemegang hak cipta koleksi yang ada di perpustakaaan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan yang dihadapi oleh perpustakaan untuk merealisasikan sebuah perpustakaan digital, karena sebelum pekerjaan di mulai saja harus mengurusi ijin yang begitu banyak, terlebih bila penerbit koleksi perpustakaan tersebut dari luar negeri.

Singkat kata, ada persoalan pelik bila digitalisasi dipaksakan untuk semua bahan koleksi. Bagaimana ijin terhadap karya yang tercetak dalam buku umpamanya, padahal karya itulah yang paling banyak mendomiasi koleksi perpustakaan. Apakah koleksi umum yang diterbitkansebelum tahun 1990an didigitalkan? Apakah koleksi skripsi, tesis dan disertasi tahun 1990an juga akan didigitalkan?

Bila jawaban atas pertanyaan di atas adalah “tidak semuanya”, maka langkah ideal yang ditempuh oleh perpustakaan harus mulai memilih dan memilah bahan-bahan apa saja yang akan didigitalkan. Menurut hemat saya, karya tulis apapun baik berupa skripsi, tesis, disertasi, buku, artikel, hasil penelitian atau karya apa saja dari civitas akademika universitas harus didigitalkan. Alasannya adalah bahwa karya seluruh sivitas akademik suatu universitas benar-benar dibaca oleh masyarakat, baik masyarakat kampus maupun masyarakat luas.

Pilihan ini berdampak posistif karena perijinan digitalisasi tidak pelik sebab menyangkut sivitas akademik saja, disamping untuk menjauhkan diri dari jeratan pasal UU HAKI dalam hal pengalihbentukan maupun perbanyakan. Diharapkan digitalisasi ini pulalah nanti akan mengangkat reputasi suatu universitas karena banyak karyanya dibaca banyak orang.

Digitalisasi ini tentu tidak membuat semua orang legowo atau ikhlas kalau karyanya didgitalkan dengan dalih sama seperti dalih yang dikemukakan oleh penulis atau pemegang hak cipta suatu karya, yaitu kekhawatiran adanya pelanggaran terhadap HAKI berupa plagiat dan sejenisnya.

Alasan keberatan itu masuk akal, karena apa yang sering terjadi selama ini adalah mahasiswa selalu memenuhi ruang koleksi skripsi/tesis untuk sekedar mengambil inspirasi dari suatu ciptaan sampai menjiplak semua isi dari konsep maupun redaksinya.

Apa yang terjadi di ruang koleksi skripsi memang terjadi dan bahkan tidak jarang skripsi baru hanya sekedar daur ulang saja dari skripsi terdahulu. Hal ini sangat wajar terjadi karena tidak ada kontrol dari perpustakaan, disamping univeristas bersangkutan tidak punya kebijakan kongkrit dalam mengatasi penjiplakan atau plagiat. Bagaimana mungkin seorang pembimbing skripsi mampu mengawasi dan mematahkan argumentasi mahasiswa bahwa skripsinya bukan daur ulang dari skripsi terdahulu bila tidak punya alat untuk mengontrol. Apakah catatan manual yang ada di buku induk atau database skripsi yang ada di komputer mampu mengontrol skripsi seluruh mahasiswa yang ada di lingkungan suatu univesitas?

Di sinilah sebenarnya perpustakaan digital punya peran penting dalam mengontrol karya ilmiah seluruh sivitas akademika universitas, dari mahasiswa sampai dosen. Ketika mahasiswa mengajukan proposal skripsi umpamanya, maka dosen pembimbing dengan sangat mudah untuk mengetahui apakah karya tersebut sudah ada yang membahasnya atau belum. Kalaupun dari redaksi judul, umpamanya, berbeda, maka pembimbing juga bisa mengecek isi dari skripsi tadi dengan membuka koleksi digitalnya dalam subyek sejenis.

Di samping untuk keperluan mahasiswa, perpustakaan digital juga bisa dijadikan sarana mengontrol penelitian dosen, apakah penelitin itu adalah hasil duplikasi atau pengulangan penelitian terdahulu. Umpama yang berhak menguji kelayakan penelitian yang dilakukan oleh dosen adalah lembaga penelitian universitas atau Lemlit, maka Lemlitpun bisa dengan mudah mengecek proposal dosen yang bersangkutan guna dicocokkan di data yang ada di perpustakan digital apakah tema itu sudah ada atau belum, kalau sudah ada apakah penelitian itu perluasan dari penelitian sebulmnya atua hanya perulangan saja. Di sinilah sebenarnya Lemlit punya alasan valid kenapa harus meloloskan atau tidak meloloskan proposal penelitian.

Yang lebih penting lagi dari sisi kontrol adalah bahwa kontrol tidak hanya dilakukan oleh dosen pembimbing atau Lemlit saja tapi semua orang bisa mengontrol, terhadap karya atau ciptaan karena perpustakaan digital menyediakan akses yang seluas luasnya kepada siapapun.

Alasan di atas sesungguhnya bisa digunakan untuk mematahkan kekhawatiran akan adanya plagiat atau kegiatan perbanyakan karya tanpa seijin pemegang hak ciptanya.

Bila argumenatsi di atas juga belum bisa diterima, maka pepustakaan harus membuat suatu aturan bahwa koleksi perpustakaan digital hanya boleh dibaca tanpa boleh dikopi/download dengan cara memberi ID dan password bagi yang mendaftar dan tidak boleh mengkopi seluruhnya.

DIMANA POSISI KITA

Melihat profil perpustakaan perguruan tinggi di tanah air, sepertinya belum ada satupun yang berani mengatakan menjadi pioner (pioneer) dalam mengembangkan perpustakaan digital untuk keseluruhan koleksinya. Alasannya sangat logis bahwa terlalu tinggi cost (biaya) yang dibutuhkan untuk itu.

Perpustakaan perguruan tinggi/universitas sangat menyadari bahwa koleksi tercetak berkembang pesat apalagi karya sivitas akademika yang berupa skripsi, tesis dan disertasi. Bila kebijakan pengumpulan hardcopy skripsi, tesis dan disertasi dipertahankan, maka bisa dibayangkan berapa luas gedung yang harus disediakan untuk menampung hardcopy tadi. Dalam sepuluh tahun ke depan, barangkali gedung perpustakaan penuh sesak dengan koleksi skripsi, tesis dan disertasi.

Sekarang ini, sudah tidak bisa ditunda lagi bahwa perpustakaan harus ambil kebijakan yang didukung rektor untuk mengatasi persoalan tempat. Kebijakan tersebut adalah:

1) Setiap mahasiswa harus menyerahkan file skripsi, tesis dan disertasi kepada perpustakaan.

2) Setiap dosen harus mengumpulkan file artikel, penelitian atau catatan ilmiah lainnya kepada perpustakaan.

3) Sivitas akademika membuat pernyataan bahwa mereka akan mengalihkan hak cipta non eksklusif kepada pihak universitas untuk disimpan, diperbanyak, dan disebarluaskan secara sebagian atau keseluruhan dalam format elektronik ataupun tercetak.

Cara ini sangat efektif karena perpustakaan tidak perlu tenaga dan waktu yang lama untuk mendigitalkan bahan tersebut. Sekali lagi, Tentu saja aturan seperti ini harus sepenuhnya didukung oleh kebijakan rektor agar semua sivitas akademika taat terikat oleh peraturan rektor.

Langkah ini adalah upaya kongkrit yang diambil oleh perpustakaan untuk mewujudkan suatu perpustakaan digital di masa mendatang.

Dari sini nampak jelas bahwa kita sangat menginginkan untuk merealisasikan suatu perpustakaan digital secara komprehensif. Tapi pilihan itu jadi berat karena biaya yang sangat tinggi untuk mewujudkannya. Melihat hal ini maka langkah yang paling rasional adalah menjelmakan perpustakaan kita dalam bentuk perpustakaan hibrida, dimana koleksi tercetak, elektronik dan digital menyatu. Adalah suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa pemakai perpustakaan di negara maju sekalipun tetap menggunakan bahan tercetak sebagai andalan koleksinya, karena tak selamanya pemakai bisa membaca secara nyaman di depan layar komputer. Apakah pemakai perpustakaan mampu membaca habis novel karya Dan Brown dalam Da Vinci Code di depan layar komputer? Apakah pemakai juga mampu membaca habis Harry Potter di depan layar komputer?

Dua contoh di atas membuktikan bahwa kita belum bisa meninggalkan perpustatakaan berbasis kertas dan tinta. Tapi kita mampu mengombinasikan bahan koleksi perpustakaan dengan bahan berbasis kertas dan tinta, elektronik dan tentu juga bahan digital.

PENUTUP

Setiap ada temuan baru dalam bidang apapun pasti akan mengundang suara sepakat dan tidak sepakat (pro & kontra). Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya orang bisa menerima juga. Tergantung sejauh mana kemanfaatannya. Kehadiran internet umpamanya, dulu orang begitu kawatir terhadap akibat yang ditimbulkan. Salah satu alasannya adalah bahwa internet banyak mengakomodasi situs-situs porno. Ternyata kekhawatiran itu kurang beralasan sebab internet juga menyajikan banyak kebaikan dalam bidang ilmiah maupun bidang sosial.

Itu artinya memang inernet mempunyai dua muka yang berbeda, tinggal muka mana yang akan dipilih. Ibarat pisau, bisa digunakan untuk memotong sayur, tapi bisa juga digunakan untuk memotong nadi sebagai cara bunuh diri.

Sama halnya perpustakaan digital, orang begitu khwatir bila terjadi plagiat atas karya orang lain. Bukankah yang namanya kegiatan plagiat sudah ada sebelum perpustakaan digital ada? Justru perpustakaan digital ada untuk meminimalkan plagiat dalam bidang ilmiah.

Upaya mendigitalkan karya sivitas akademika suatu perguruan tinggi yang berupa skripsi, tesis, disertasi, hasil penelitian atau karya apapun (local contents) adalah langkah yang paling strategis untuk mewujudkan perpustakaan digital.

Bilbiografi

Borgman, Christine I. (2003). Designing digital libraries for usability dalam Digital library use. Messachusetts: The MIT press.

Chowdury, Gobunda., Sudatta Chowdhury. (2003). Introduction to digital libraries. London: Facet Publishing.

Deegan, Marilyn., Simon Tanner. (2002). Digital futures: strategy for information age. London: Library Association Publishing.

Digital library. tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Digital_library (19-06-08)

Hozumi, Tomatsu. (2006). Asian copyright handbook: Buku panduan hak cipta Asean. Jakarta: Asia Pasific Cultural Center for Unesco & IKAPI.

Mukaiyama, Hiroshi. (1997). Technical Aspect of Next Generation Digital Library Project. tersedia di http://www.dl.slis.tsukuba.ac.jp/ISDL97/proceedings/hiro/hiro.html (08-08-08)

Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

Pendit, Putu Laxman, (2008). Perpustakaan digital dari A sampai Z, Jakarta: Cita Kami.

Purnomo, Agung.(2006). Perpustakaan digital sebagai solusi keterbatasan informasi. Tersedia di http://agungpurnomo.wordpress.com/ ( 26 November 2007).

Realizing the Hybrid Library. (1998). D-Lib Magazine October. Tersedia di http://www.dlib.org/dlib/october98/10pinfield.html (08-08-08)

Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suryandari, Ari. (2007). Aspek manajemen perpustakaan digital dalam Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007) Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

UU HAKI: Hak Atas Kekayaan Itelektual. (2003), Jakarta: Sinar Grafika.

PERPUSTAKAAN HIBRIDA

(Alternatif solusi akses informasi di perpustakaan perguruan tinggi)

Oleh: Bahrul Ulumi

LATAR BELAKANG

Keterbatasan akses di perpustakaan perguruan tinggi adalah masalah klasik yang belum terselesaikan dengan baik. Masalah ini muncul mengingat pemakai perpustakaan banyak, namun ketersediaan bahan perpustakaan terbatas. Sebagai ilustrasi, seorang dosen memberi tugas pada mahasiswa untuk membuat makalah dengan tema ”Pemikiran salah satu tokoh kritis dalam filsafat”. Tugas ini harus dikumpulkan satu minggu kemudian. Yang terbayang dalam benak mahasiswa adalah dia harus cepat-cepat untuk meminjam buku yang ada di perpustakaan fakultas maupun di perpustakan pusat. Langkah yang diambil adalah bergegas cepat-cepat melihat katalog (OPAC) untuk browsing apakah buku yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Hati mahasiswa lega ternyata buku filsafat yang dibutuhkan ada sehingga dia harus cepat-cepat pergi untuk mengambil buku tersebut. Namun sayang, buku yang jelas-jelas dia butuhkan ternyata sudah dipinjam rekannya yang akan dikembalikan setidaknya 2 minggu kemudian.

Dia meneruskan pencariannya ke perpustakaan pusat. Langkahnya sama dengan yang ditempuh dengan di perpustakaan fakultas, yaitu brwosing OPAC dulu. Tanpa membuang waktu, dia menuju koleksi filsafat. Dia sudah merasa tenang melihat deretan buku-buku filsafat. Namun untuk kedua kalinya dia harus kecewa karena hanya ada sebuah buku yang memuat pemikiran tokoh krtitis. Itu saja teman sekelasnya sudah mengantri mau pinjam. Tentu kebingungannya tidak berhenti di situ saja. Tugas-tugas lain ternyata juga sudah menunggu, di luar mata kuliah filsafat, yaitu dia harus menyelesaikan sebuah paper untuk tugas mata kuliah Metodologi Penelitian.

Mengacu dari kasus di atas, ternyata ketersediaan buku atau koleksi yang ada`di perpustakaan mengenai topik tertentu sangat terbatas. Keterbatasan inilah menyebabkan akses untuk mendapatkan informasi tertentu jadi terhambat. Maka harus ada upaya lain untuk membuat akses informasi tersedia.

PERPUSTAKAAN KONVENSIONAL, DIGITAL DAN HIBRIDA

A. Perpustakaan Konvensional

Ketika membincangkan perpustakaan konvensional (perpustakaan berbahan kertas dan tinta), tentu kita tidak pernah bisa melepaskan unsur tempat karena eksistensi perpustakan konvensional ditandai dengan tempat. Dalam suatu batasan perpustakaan, adalah ruangan, ataupun bagian sebuah gedung atau gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca bukan untuk dijual (Sulistyo-Basuki, 1991: 3). Dari batasan ini saja sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa aspek tempat menjadi utama karena sebuah perpustakan didefiniskan sebagai ruangan atau gedung yang koleksinya terdiri atas bahan tercetak.

Dilihat dari tahun dimana buku ini diterbitkan masih sangat relevan untuk menonjolkan aspek tempat sebagai batasan utama sebuah perpustakaan., yakni pada tahun 1990an.

Maka tak jarang ditemui gedung perpustakaan sangat besar karena perancang dan pengelolanya berpikir bahwa koleksi buku akan bertambah sekian persen dari koleksi yang sudah ada. Asumsi ini tidak salah, sebab bisa jadi ke depan buku akan semakin banyak jumlahnya, dan pasti akan membutuhkan perluasan tempat.

Kendati demikian, tidak ada salahnya pengelola dan perancang gedung perpustakaan harus memikirkam kemungkinan lain bahwa perkembangan teknologi seperti sekarang jauh lebih maju dari yang dipridiksi sebelumnya. Dahulu, orang tidak mengira bahwa media penyimpan data yang secara fisik sebesar setengah dari buplen mampu menyimpan data yang begitu besar. Dan media penyimpan itu sudah menjadi kebutuhan bagi setiap mahasiswa dewasa ini. Tak jarang mereka punya banyak informasi yang begitu beragam mengenai banyak subyek yang hanya disimpan dalam sekeping flasdisk kecil.

Dahulu pula orang terheran-heran dan kagum melihat koleksi perpustakan yang rak-raknya dipenuhi oleh Encyclopedia Americana atau Britanica. Sehingga koleksi ini pula sering dijadikan ukuran hebat tidaknya sebuah perpustakaan berdasar pada punya tidaknya Encyclopedia Americana atau Britanica. Dalam konteks dahulu, tentu tidak berlebihan karena edisi cetak ensiklopedia ini memang mengagumkan dengan selalu meng up date data yang ada di dalamnya. Bahkan untuk karya ensiklopedi tercetak, maka ensiklopedia di atas selalu berada di depan dibanding ensiklopedi sejenis lainnya.

Namun ketika media penyimpanan tidak mengandalkan cetakan satu-satunya cara menyimpan informasi, maka kedua ensiklopedia di atas terasa kurang memberi informasi yang sempurna karena hanya menyediakan narasi dan gambar mati saja.

Sebagai perbandingan, berikut ini bisa dilihat keunggulan ensiklopedia berbahan cetakan dan ensiklopedi noncetak.

Ukuran

Cetak

Noncetak

Media

Kertas

Keping CD, Hard Disk, digital

Volume

Besar

Minim

Harga

Mahal

Terjankau

Tampilan

Visual

Audio Visual

Isi (content)

Besar

Sangat besar

Up date

Cetak ulang

Up date cepat

Akses Informasi

Lewat indeks, Terbatas oleh tempat dan waktu, serta tidak bisa dipakai secara bersamaan.

Mudah, tidak terkendala tempat dan waktu sebab tersedia dalam online, dan dapat diakses banyak pemakai pada saat yang bersamaan Langsung

B. Perpustakaan Digital

Konsep perpustakaan digital, perpustakan elektronik ataupun perpustakaan hibrida sering dianggap sama atau sinonim. Artinya bila menyebut satu istilah di atas maka istilah itu megacu pada perpustakaan yang sama. Namun sekarang, konsep perpustakaan digital lebih sering didengar dari istilah lainnya, karena kebanyakan orang berharap ada ada kemajuan besar dalam dunia perpustakaan..

Dari sinilah para ahli mulai membatasi istilah perpustakaan digital. Batasan yang paling sederhana adalah definisi Lesk sebagaimana dikemukakan Pendit dalam Perpustakaan digital: perspektif perpustakaan perguruan tinggi, yaitu ”Organized colections of digital information” (2007:29). Batasan lain yang lebih luas disampaikan Arms seperti dikemukakan Deegan (2002:20) yaitu:

“A Managed collection of information, with associated services, where the information is stored in digital formats and accessible over network. A crucial part of this definition is that the information is managed.”

Federasi perpustakaan di Amerika Serikat juga memberi batasan sebagaimana dikutip oleh Deegan (2002:20) sebagai berikut:

“Digital libraries are organizations that provide the resources, including the specialized staff, to select, structure, offer intellectual access to, interpret, distribute, preserve the integrity of, and ensure the persistence over time of collections of digital works so that they are readily and economically available for use by defined community or set of communities”.

Batasan terakhir memberi makna yang lebih luas dari dua terdahulu, yaitu bahwa perpustakaan digital menyediakan sumber-sumber digital disamping pegawai dengan tatakerja dan tujuan kerja serta masyarakat yang diharapkan dapat memanfaatkan layanan perpustakaan.

Selanjutnya Tedd dan Large, seperti dikutip Pendit (2007:30), menyebut ada tiga karakter untuk menyebut perpustakaan sebagai perpustakaan digital yaitu:

1) Memakai teknologi yang mengintegrasiakan kemampuan menciptakan, mencari, dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dalam sebuah jaringan digital yang tersebar luas.

2) Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data, baik di lingkungan internal maupun sksternal.

3) Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya jasa untuk memenuhi kebutuhan informai masyarakat tersebut karenanya peprustakaan digital merupakan integrasi institusi museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola, merawat dan menyedikan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.

Karakter terakhir yang menyebut integrasi berbagai lembaga informasi untuk melayani berbagai masyarakat, merupakan salah satu gambaran paling dicitakan dalam konsep perpustakaan digital. Dari sisi teknologi, maka yang menjadi perhatian utama adalah adanya integrasi dan keterkaitan antar berbagai jenis format data dalam jumlah yang sangat besar; disimpan dan disebarluaskan melalui jaringan telematika yang bersifat global. Mukaiyama (1997) mengemukakan setidaknya ada 7 (tujuh ) teknologi yang menjadi perhatian utama dalam mewujudkan perpustakan digital yaitu:

1) Contents processing technology.

Teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, menemukan kembali informasi digital, baik informasi primer maupun sekunder secara efektif.

2) Information access technology.

Teknologi yang memungkinkan menyediakan akses ke berbagai jenis informasi tanpa batasan waktu dan tempat.

3) Human-friendly, intelellgenet interface.

Antarmuka yang memungkinkan peningkatan produktivitas intelektual dalam bentuk fasilitas yang juga memungkinkan berbagai pengguna melakukan berbagai carian informasi.

4) Interoperability.

Teknologi yang memungkinkan berbagi teknologi yang berbeda-beda saling bertemu dalam lingkungan yang heterogen.

5) Scalability.

Teknologi yang memperluas sebaran informasi dan mmapu meningkatkan jumlah pengguna serta memungkinkan aksesnya.

6) Open system development. Teknologi yang memungkinkan penggunaan standard international dan standar de facto tetapi tidak mengorbankan kinerja keseluruihan. Standardisasi tidak boleh menyebabkan sistem terlalu lambat.

7) Highly system development.

Luasnya cakupan informasi dan cepatnya pertumbuhan perpustakaan digital dengan perkembangan masyarakat, maka diperlukan teknologi yang dengan cepat bisa disesuaikan dengan perkembangan sistem sosial.

Dengan persyaratan yang begitu kompleks untuk mewujudkan suatu perpustakaan digital, maka membangun perpustakaan digital tidak mungkin dikerjakan oleh perpustakaan perguruan tinggi saja. Proyek besar memerlukan kerja sama yang erat antara banyak pihak, Upaya ini bisa mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya mewujudkan perpustakaan digital dengan perjalanan proses yang lumayan panjang.

Mengacu kasus yang terjadi di Amerika, jelas bahwa upaya digitalisasi koleksi (membuat perpustakaan digital) bukan persoalan yang mudah. Perlu dana yang sangat besar disamping didukung kebijakan pemerintah yang kuat. Bisa dibayangkan kalau seandainya semua koleksi yang ada di perpustakaan didigitalkan. Berapa banyak tenaga, dana dan waktu untuk merealisasikan program tersebut. Dan itulah ambisi Amerika sebagai negara terdepan dalam mengembangkan teknologi informasi. Hebatnya negara maju yang mengandalkan informasi sebagai salah satu andalan komoditas ekspor, mempunyai kebijakan yang betul–betul komprehensif. Artinya bahwa pemerintah sepenuh hati berupaya mewujudkan perpustakaan digital. Ada tiga departemen besar dalam pemerintahan menyatu padu dalam berupaya merealisasikan cita-cita tersebut. Dalam waktu yang tidak lama, barangkali Amerika Serikatlah yang berhasil mewujudkan perpustakan digital yang diimpikan oleh banyak orang.

C. Perpustakaan Hibrida

Sebelum banyak ahli membincangkan perpustakaan digital, sesungguhnya mereka sudah mewacanakan perpustakaan hibrida. Istilah perpustakaan hibrida (Hybrid library) pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-Lib Magazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan noncetak. Perpustakaan hibrida adalah campuran bahan-bahan cetakan seperti buku, majalah, dan juga bahan-bahan berupa jurnal elektronik, e-book dan sebagainya.

Perpustakaan hibrida merupakan continuum antara perpustakaan konvensional dan perpustakaan digital, dimana informasi yang dikemas dalam media elektronik maupun cetak digunakan secara bersamaan. Tantangan pengelola perpustakaan hibrida adalah mendorong pemakai untuk menemukan informasi dalam berbagai format.

Inggris merupakan negara yang paling aktif melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan digital. D-lib Magazine edisi Oktober 1998 mencatat, setidaknya ada lima proyek yang Inggris coba untuk mewujudkan impiannya menciptakan perpustakaan hibrida. Yaitu:

1) HyLife (Hybrid Library of the Future) Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas layanan lektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

2) Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.

3) HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)

Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.

4) Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)

Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.

5) Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.

Dari temuan di atas akhirnya para pustakawan dan para teknolog berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perpustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus menomorduakan macam koleksi tententu. Yang membedakan perpustakaan digital dangan hibrida adalah:

Pertama, hibrida masih memiliki koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya, dimana perpustakaan digital berusaha ingin mengubah semua koleksinya ke dalam bentuk digital.

Kedua, perpustakan hibrida memperluas konsep cakupan jasa informasi sehingga perubahan koleksi elektronik dan digital serta penggunaan teknologi komputer tidak dipisahkan dari yang berbasis tercetak.

Konsep perpustakaan hibrida sangat jelas yaitu mempertahankan keberadaan perpustakaan tercetak dengan alasan bahwa pemakai masih saja memerlukan koleksi tercetak untuk memenuhi keperluan mereka. Tetap saja buku tercetak tidak tergantikan dengan buku digital. Untuk itulah koleksi tercetak harus tetap dipertahankan.

DIGITALISASI PERPUSTAKAAN

Digitalisasi ini dimaksudkan untuk mencoba mengatasi persoalan mahasiswa yang mengalami keterbatasan akses informasi dalam menyelesaikan tugasnya, sebagaimana diurai pada latar belakang. Bila koleksi perpustakaan berformat digital tentu tidak ada persoalan bagi mahasiswa dalam mengakses informasi yang dibutuhkan. Sejumlah berapapun dan dari manapun mahasiswa berasal, kepentingan akses mereka terhadap suatu informasi akan mudah diakomodasi oleh koleksi digital.

Mahasiswapun tidak harus datang ke perpustakaan secara fisik, karena mereka bisa saja membuka dengan fasilitas klik di depan ruang kuliah dengan menggunakan lap topnya. Merekapun sangat leluasa dalam mengakses karena perpustakaan digital tidak membatasi waktu akses. Dalam 24 jam perpustakaan digital siap melayani penggunanya tanpa lelah, disamping mereka bisa menghindari penjaga perpustakaan konvenional yang seringkali kurang ramah.

A. Implementasi perpustakan digital

Digitalisasi bahan perpustakaan bisa berupa buku, naskah kuno, peta, foto lukisan dan sebagainya. Digitalisasi bahan-bahan ini dimaksudkan untuk melestarikan informasi yang ada dalam bahan-bahan tersebut. Digitalisasi bahan tercetak seperti buku, majalah ataupun hasil penelitian bisa dilakukan dengan menindai atau menscan. Demikian halnya bahan lainnya seperti peta dan naskah kuno. Untuk karya seperti patung, digitalisasi dilakukan dengan memotret dulu menggunakan kamera digital sehingga nantinya menjadi bahan digital. Cara ini memungkinkan patung dilihat dari banyak sisi.

Secara singkat, Suryandari (2007:234-235) menjelaskan proses digitalisasi bahan-bahan perpustakaan sebagai berikut:

Scanning

Yaitu proses menscan atau menindai bahan-bahan tercetak dan mengubahnya menjadi berkas digital.

Editing

Adalah proses mengolah bahan berkas PDF dalam komputer dengan memberikan password, catatan kaki, daftar isi dan sebagainya. Tentu, pemberian password ataupun catatan kaki disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku di institusi yang bersangkutan.

Proses OCR (Optical Character Recognition) juga dimasukkan dalam kategori editing. Proses OCR adalah proses mengubah gambar menjadi teks.

Uploading

Merupakan proses pengisian metadata serta mengupload berkas dokumen ke dalam perpustakaan digital. Berkas yang diupload ini merupakan berkas PDF yang berisi full text karya akhir dari mulai halaman judul hingga lampiran yang telah melalui proses editing. Dengan demikian file tersebut telah dilengkapi dengan password daftar isi, catatan kaki dan sebagainya.

B. Perlindungan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) terhadap Perpustakaan Digital

Hak kekayaan intelektual atau sering disingkat HKI atau akronim HAKI adalah padanan kata Intellectual Property Right, yakni hak yang timbul dari olah pikir manusia untuk menghasilkan suatu karya yang bisa memberi kemanfaatan kepada masyarakat banyak.

Pada hakekatnya HAKI merupakan hak untuk menikmati secara ekonomi dari suatu kreativitas intelektual. Obyek yang diatur dalam HAKI adalah karya-karya yang lahir dari kekayaan intelektual manusia. Secara garis besar, HAKI itu dibagi dua yaitu: Hak cipta (copyright) dan Hak kekayaan industri (Industrial property right). Namun dalam konteks perpustakaan digital, perlu sedikit uraian mengenai hak cipta sebagi perangkat hukum agar tidak menyalahi terhadap kaidah hukum positif yang sudah ada.

Hak cipta ini meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:

  • Buku, program komputer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
  • Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
  • Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
  • Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
  • Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
  • Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan;
  • Arsitektur;
  • Peta;
  • Seni batik
  • Fotografi;
  • Sinematografi
  • Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain yang dari hasil pengalihwujudan.(UU No 19/2002 pasal 12).

Pasal dalam UU No 19/2002 pasal 12 jelas memasukkan buku sebagai salah satu karya yang harus dilindungi oleh hukum. Oleh karena pengarang/ pencipta berhak untuk:

  • Perbanyakan (right of reproduction) Hak perbanyakan adalah kekayaan intelektual yang paling dasar dan substansial. Perbanyakan berarti perbanyakan dalam bentuk kongrit melalui cetakan, fotografi, suara, rekaman visual, dan sebagainya. Penerbitan adalah salah satu metode yang paling tua. Umumnya hak hak yang bertalian dengan penerbitan disebut menerbitkan dan hak hak ini adalah salah satu jenis dari hak perbanyakan. Membuat rekaman visual dan atau audio pertunjukan atau siaran, sandiwara, ceramah, dan sebagainya, juga menggunakan hak perbanyakan, bahkan hak ini mencakup berbagai kegiatan yang sangat luas, termasuk menyalin teks atau ilustrasi dengan alat scanner atau mesin fotokopi
  • Hak menyebarkan (right of public transmission)

Pencipta punya hak untuk menyebarluaskan ciptaannya di depan umum. Karena menyebarluaskan kepada umum berarti menyebarluaskan melalui radio, televisi dan sebagainya.

  • Hak mencantumkan nama pencipta. Bila sebuah ciptaan diumumkan. Pencipta memiliki ak untuk menentukan apakah nama pencipta haru dicantumkan atau tidak. Dan apakah nama sebenarnya atau nama sebenarnya yang digunakan, atau tidak. Pencipta juga memiliki hak untuk menetukan hal ini bila sebuah ciptaan turunan diumumkan. Ak ini bukan berarti keharusan menggunakan nama penciptanya.
  • Hak melindungi integritas ciptaan. Artinya pencipta memiliki hak melindungi untuk integritas ciptaannya dari distorsi atau perubahan. Dalam hal ini penerbitan atau musik dapat menimbulkan masalah bila diperlukan perubahan atau pembetulan ejaan, istilah, atau ungkapan. Dengan berjalannya waktu berubah pula norma-norma sosial dan bahkan kosa kata dan ejaan yang kita pakai. Penerbit dan editor, barangkali akan mengubah suatu karya agar lebih mudah dibaca (Hozumi, 2004: 24).

Rangkaian pasal pasal di atas sangat jelas bahwa hasil karya manusia perlu dilindungi oleh payung hukum, agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntugan secara pribadi. Persoalan yang kemudian muncul bekaitan dengan aspek hukum ini, adalah apakah digitalisasi bahan-bahan koleski perpustakaan dikatagorikan sebagai kegiatan melawan hukum?

Dalam pasal-pasal hukum selalu saja ada pengecualian. Salah satu pengecualian dalam UU Hak Cipta adalah tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.

Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (UU No 19/2002 pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan oilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norms kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)

Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.

Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

Kegiatan digitalasi ini berarti perbanyakan dari suatu ciptaan. Setiap perbanyakan ciptaan harus diketahui oleh penciptanya/pemegang hak ciptanya karena disana ada nilai ekonominya. Bila semua perbanyakan mengandung nilai ekonomi maka pihak manapun yang memperbanyak, perlu ijin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Konsekwensinya adalah bila suatu perpustakaan ingin mendigitalkan seluruh koleksinya dari tercetak ke digital, maka harus ijin pada pencipta atau pada pemegang hak cipta koleksi yang ada di perpustakaaan. Bisa dibayangkan betapa rumitnya pekerjaan yang dihadapi oleh perpustakaan untuk merealisasikan sebuah perpustakaan digital, karena sebelum pekerjaan di mulai saja harus mengurusi ijin yang begitu banyak, terlebih bila penerbit koleksi perpustakaan tersebut dari luar negeri.

Singkat kata, ada persoalan pelik bila digitalisasi dipaksakan untuk semua bahan koleksi. Bagaimana ijin terhadap karya yang tercetak dalam buku umpamanya, padahal karya itulah yang paling banyak mendomiasi koleksi perpustakaan. Apakah koleksi umum yang diterbitkansebelum tahun 1990an didigitalkan? Apakah koleksi skripsi, tesis dan disertasi tahun 1990an juga akan didigitalkan?

Bila jawaban atas pertanyaan di atas adalah “tidak semuanya”, maka langkah ideal yang ditempuh oleh perpustakaan harus mulai memilih dan memilah bahan-bahan apa saja yang akan didigitalkan. Menurut hemat saya, karya tulis apapun baik berupa skripsi, tesis, disertasi, buku, artikel, hasil penelitian atau karya apa saja dari civitas akademika universitas harus didigitalkan. Alasannya adalah bahwa karya seluruh sivitas akademik suatu universitas benar-benar dibaca oleh masyarakat, baik masyarakat kampus maupun masyarakat luas.

Pilihan ini berdampak posistif karena perijinan digitalisasi tidak pelik sebab menyangkut sivitas akademik saja, disamping untuk menjauhkan diri dari jeratan pasal UU HAKI dalam hal pengalihbentukan maupun perbanyakan. Diharapkan digitalisasi ini pulalah nanti akan mengangkat reputasi suatu universitas karena banyak karyanya dibaca banyak orang.

Digitalisasi ini tentu tidak membuat semua orang legowo atau ikhlas kalau karyanya didgitalkan dengan dalih sama seperti dalih yang dikemukakan oleh penulis atau pemegang hak cipta suatu karya, yaitu kekhawatiran adanya pelanggaran terhadap HAKI berupa plagiat dan sejenisnya.

Alasan keberatan itu masuk akal, karena apa yang sering terjadi selama ini adalah mahasiswa selalu memenuhi ruang koleksi skripsi/tesis untuk sekedar mengambil inspirasi dari suatu ciptaan sampai menjiplak semua isi dari konsep maupun redaksinya.

Apa yang terjadi di ruang koleksi skripsi memang terjadi dan bahkan tidak jarang skripsi baru hanya sekedar daur ulang saja dari skripsi terdahulu. Hal ini sangat wajar terjadi karena tidak ada kontrol dari perpustakaan, disamping univeristas bersangkutan tidak punya kebijakan kongkrit dalam mengatasi penjiplakan atau plagiat. Bagaimana mungkin seorang pembimbing skripsi mampu mengawasi dan mematahkan argumentasi mahasiswa bahwa skripsinya bukan daur ulang dari skripsi terdahulu bila tidak punya alat untuk mengontrol. Apakah catatan manual yang ada di buku induk atau database skripsi yang ada di komputer mampu mengontrol skripsi seluruh mahasiswa yang ada di lingkungan suatu univesitas?

Di sinilah sebenarnya perpustakaan digital punya peran penting dalam mengontrol karya ilmiah seluruh sivitas akademika universitas, dari mahasiswa sampai dosen. Ketika mahasiswa mengajukan proposal skripsi umpamanya, maka dosen pembimbing dengan sangat mudah untuk mengetahui apakah karya tersebut sudah ada yang membahasnya atau belum. Kalaupun dari redaksi judul, umpamanya, berbeda, maka pembimbing juga bisa mengecek isi dari skripsi tadi dengan membuka koleksi digitalnya dalam subyek sejenis.

Di samping untuk keperluan mahasiswa, perpustakaan digital juga bisa dijadikan sarana mengontrol penelitian dosen, apakah penelitin itu adalah hasil duplikasi atau pengulangan penelitian terdahulu. Umpama yang berhak menguji kelayakan penelitian yang dilakukan oleh dosen adalah lembaga penelitian universitas atau Lemlit, maka Lemlitpun bisa dengan mudah mengecek proposal dosen yang bersangkutan guna dicocokkan di data yang ada di perpustakan digital apakah tema itu sudah ada atau belum, kalau sudah ada apakah penelitian itu perluasan dari penelitian sebulmnya atua hanya perulangan saja. Di sinilah sebenarnya Lemlit punya alasan valid kenapa harus meloloskan atau tidak meloloskan proposal penelitian.

Yang lebih penting lagi dari sisi kontrol adalah bahwa kontrol tidak hanya dilakukan oleh dosen pembimbing atau Lemlit saja tapi semua orang bisa mengontrol, terhadap karya atau ciptaan karena perpustakaan digital menyediakan akses yang seluas luasnya kepada siapapun.

Alasan di atas sesungguhnya bisa digunakan untuk mematahkan kekhawatiran akan adanya plagiat atau kegiatan perbanyakan karya tanpa seijin pemegang hak ciptanya.

Bila argumenatsi di atas juga belum bisa diterima, maka pepustakaan harus membuat suatu aturan bahwa koleksi perpustakaan digital hanya boleh dibaca tanpa boleh dikopi/download dengan cara memberi ID dan password bagi yang mendaftar dan tidak boleh mengkopi seluruhnya.

DIMANA POSISI KITA

Melihat profil perpustakaan perguruan tinggi di tanah air, sepertinya belum ada satupun yang berani mengatakan menjadi pioner (pioneer) dalam mengembangkan perpustakaan digital untuk keseluruhan koleksinya. Alasannya sangat logis bahwa terlalu tinggi cost (biaya) yang dibutuhkan untuk itu.

Perpustakaan perguruan tinggi/universitas sangat menyadari bahwa koleksi tercetak berkembang pesat apalagi karya sivitas akademika yang berupa skripsi, tesis dan disertasi. Bila kebijakan pengumpulan hardcopy skripsi, tesis dan disertasi dipertahankan, maka bisa dibayangkan berapa luas gedung yang harus disediakan untuk menampung hardcopy tadi. Dalam sepuluh tahun ke depan, barangkali gedung perpustakaan penuh sesak dengan koleksi skripsi, tesis dan disertasi.

Sekarang ini, sudah tidak bisa ditunda lagi bahwa perpustakaan harus ambil kebijakan yang didukung rektor untuk mengatasi persoalan tempat. Kebijakan tersebut adalah:

1) Setiap mahasiswa harus menyerahkan file skripsi, tesis dan disertasi kepada perpustakaan.

2) Setiap dosen harus mengumpulkan file artikel, penelitian atau catatan ilmiah lainnya kepada perpustakaan.

3) Sivitas akademika membuat pernyataan bahwa mereka akan mengalihkan hak cipta non eksklusif kepada pihak universitas untuk disimpan, diperbanyak, dan disebarluaskan secara sebagian atau keseluruhan dalam format elektronik ataupun tercetak.

Cara ini sangat efektif karena perpustakaan tidak perlu tenaga dan waktu yang lama untuk mendigitalkan bahan tersebut. Sekali lagi, Tentu saja aturan seperti ini harus sepenuhnya didukung oleh kebijakan rektor agar semua sivitas akademika taat terikat oleh peraturan rektor.

Langkah ini adalah upaya kongkrit yang diambil oleh perpustakaan untuk mewujudkan suatu perpustakaan digital di masa mendatang.

Dari sini nampak jelas bahwa kita sangat menginginkan untuk merealisasikan suatu perpustakaan digital secara komprehensif. Tapi pilihan itu jadi berat karena biaya yang sangat tinggi untuk mewujudkannya. Melihat hal ini maka langkah yang paling rasional adalah menjelmakan perpustakaan kita dalam bentuk perpustakaan hibrida, dimana koleksi tercetak, elektronik dan digital menyatu. Adalah suatu fakta yang tak terbantahkan bahwa pemakai perpustakaan di negara maju sekalipun tetap menggunakan bahan tercetak sebagai andalan koleksinya, karena tak selamanya pemakai bisa membaca secara nyaman di depan layar komputer. Apakah pemakai perpustakaan mampu membaca habis novel karya Dan Brown dalam Da Vinci Code di depan layar komputer? Apakah pemakai juga mampu membaca habis Harry Potter di depan layar komputer?

Dua contoh di atas membuktikan bahwa kita belum bisa meninggalkan perpustatakaan berbasis kertas dan tinta. Tapi kita mampu mengombinasikan bahan koleksi perpustakaan dengan bahan berbasis kertas dan tinta, elektronik dan tentu juga bahan digital.

PENUTUP

Setiap ada temuan baru dalam bidang apapun pasti akan mengundang suara sepakat dan tidak sepakat (pro & kontra). Tapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya orang bisa menerima juga. Tergantung sejauh mana kemanfaatannya. Kehadiran internet umpamanya, dulu orang begitu kawatir terhadap akibat yang ditimbulkan. Salah satu alasannya adalah bahwa internet banyak mengakomodasi situs-situs porno. Ternyata kekhawatiran itu kurang beralasan sebab internet juga menyajikan banyak kebaikan dalam bidang ilmiah maupun bidang sosial.

Itu artinya memang inernet mempunyai dua muka yang berbeda, tinggal muka mana yang akan dipilih. Ibarat pisau, bisa digunakan untuk memotong sayur, tapi bisa juga digunakan untuk memotong nadi sebagai cara bunuh diri.

Sama halnya perpustakaan digital, orang begitu khwatir bila terjadi plagiat atas karya orang lain. Bukankah yang namanya kegiatan plagiat sudah ada sebelum perpustakaan digital ada? Justru perpustakaan digital ada untuk meminimalkan plagiat dalam bidang ilmiah.

Upaya mendigitalkan karya sivitas akademika suatu perguruan tinggi yang berupa skripsi, tesis, disertasi, hasil penelitian atau karya apapun (local contents) adalah langkah yang paling strategis untuk mewujudkan perpustakaan digital.

Bilbiografi

Borgman, Christine I. (2003). Designing digital libraries for usability dalam Digital library use. Messachusetts: The MIT press.

Chowdury, Gobunda., Sudatta Chowdhury. (2003). Introduction to digital libraries. London: Facet Publishing.

Deegan, Marilyn., Simon Tanner. (2002). Digital futures: strategy for information age. London: Library Association Publishing.

Digital library. tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Digital_library (19-06-08)

Hozumi, Tomatsu. (2006). Asian copyright handbook: Buku panduan hak cipta Asean. Jakarta: Asia Pasific Cultural Center for Unesco & IKAPI.

Mukaiyama, Hiroshi. (1997). Technical Aspect of Next Generation Digital Library Project. tersedia di http://www.dl.slis.tsukuba.ac.jp/ISDL97/proceedings/hiro/hiro.html (08-08-08)

Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007). Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

Pendit, Putu Laxman, (2008). Perpustakaan digital dari A sampai Z, Jakarta: Cita Kami.

Purnomo, Agung.(2006). Perpustakaan digital sebagai solusi keterbatasan informasi. Tersedia di http://agungpurnomo.wordpress.com/ ( 26 November 2007).

Realizing the Hybrid Library. (1998). D-Lib Magazine October. Tersedia di http://www.dlib.org/dlib/october98/10pinfield.html (08-08-08)

Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Suryandari, Ari. (2007). Aspek manajemen perpustakaan digital dalam Pendit, Putu Laxman, Et al. (2007) Perpustakaan digital: perspektif perpustakan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

UU HAKI: Hak Atas Kekayaan Itelektual. (2003), Jakarta: Sinar Grafika.

Tidak ada komentar: