Selasa, 09 Desember 2008

Pustakawan dan Google: Rivalitas atau komplementer

Oleh Bahrul ulumi

Pengantar

Sulistyo Basuki (1993:1) memberi batasan perpustakaan sebagai sebuah sebagai ruangan, bagian sebuah gedung atau gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca bukan untuk dijual. Sungguh berbeda nuansa batasan perpustakaan pada awal tahun 1990an dengan sekarang ini. Tahun 1990an tekanan batasan perpustakaan adalah pada ruangan serta koleksi tercetaknya. Batasan di atas berpengaruh kepada pustakawan dalam arti bahwa keahlian pustakawan sangat tergantung dalam memaksimalkan keterpakaian koleksi tercetaknya kepada pemakai perpustakaan. Tuntutan tugasnya tentu terbatas pada bagaimana pustakawan menggunakan koleksi tercetak tersebut sebaik mungkin serta bagaimana mengajari pemakainya bisa memanfaatkan koleksi yang ada.

Keadaan lima belas tahun lalu sangat berbeda dengan sekarang. Dahulu, secara kasat mata, pemakai melihat perpustakaan yang “bagus” adalah perpustakaan yang koleksi tercetaknya berjejer panjang dan tebal-tebal. Syarat tidak tertulisnya adalah mengoleksi Encyclopedia American dan Britanica. Gagah sekali rasanya bila sudah mengoleksi kedua judul ensiklopedi yang sudah sangat mendunia tersebut, walau sebenarnya bisa dipertanyakan sejauhmana kedua ensiklopedi tersebut memberi kemanfaatan kepada pemakai, atau setidaknya sebagai tempat untuk “konsultasi” pemakai dalam menjawab kebutuhan informasinya. Sebagai perbandingan, seberapa mudahkah menggunakan Encyclopedia Britanica tercetak dibanding dengan edisi elektronik, yang hanya sekeping Compact disc? Jawabannya pasti bisa ditebak bahwa versi elektronik akan jauh lebih mudah daripada versi cetaknya. (lihat kemudahan penggunaan Encyclopedia Britanica versi elektronik pada Ultimate Reference Suite. 2008. Chicago: Encyclopedia Britanica). Untuk mencari satu entri versi cetaknya, dibutuhkan beberapa saat lamanya sebab pemakai harus mengecek dulu indeks yang ada dalam satu jilid buku sendiri, setalah itu baru mengikuti petunjuk dalam indeks. Berbeda dengan versi elektronik yang hanya tinggal memasukan kata yang ingin dicari pada query box tersedia. Setelah itu ensiklopedi akan menyediakan informasi mengenai kata yang sudah di masukkan dalam query tersebut dalam suatu pemaparan yang relatif lengkap.

Sekarang ini, kebutuhan pemakai sudah tidak terpaku pada ensiklopedi-ensiklopedi seperti disebut di atas. Rata-rata pemakai dalam mencari informasi sudah semakin bebas tanpa tergantung pada format tercetak saja. Mereka ingin bebas dalam mengekspresikan penelusuran informasinya sebab teknologi internet sudah sangat memanjakan mereka dalam berkelana mencari informasi dengan perantara mesin pencari atau search engine. Singkat kata, apa sih yang tidak bisa dicari dari mesin pencari? Justru yang menjadi masalah berikutnya, apakah peran pustakawan sebagai intermediary antara pemakai dengan informasi yang disimpan dalam perpustakaan akan diambil alih oleh mesin pencari karena pemakai lebih senang menggunakan mesin pencari sebagai intermediary dalam memenuhi kebutuhan informasi pemakainya? Atau bisa saling melengkapi antara keduanya?

Intermediary itu bernama google

Webster (2008) mengartikan intermediary bertindak sebagai mediator dan agen penghubung. Sementara dictionary reference (2008) memberi arti menjadi diantara; bertindak diantara dua orang, atau dua kelompok. Batasan ini bisa lebih kongkrit bila diterjemahkan dalam bentuk nyata sehari-hari yaitu (dalam konteks perpustakaan), bahwa perpustakaan merupakan gudang informasi. Agar gudang informasi bisa berkomunikasi dan dimanfaatkan oleh pemakai, maka perlu ada penghubung/intermediary antara pemakai dengan gudang informasi tersebut. Maka pustakawan adalah intermediary.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa tidak semua informasi yang dibutuhkan oleh pemakai ada di perpustakaan, begitu juga sebaliknya informasi yang ada di internet tidak semua ada di perpustakaan. Untuk mencari informasi yang ringan-ringan berupa berita politik, keuangan ataupun gosip selebritis, sekaligus yang bisa memberi informasi dalam waktu singkat adalah internet. Dengan intermediary mesin pencarilah informasi di atas bisa dengan mudah diapatkan. Dan mesin pencari yang paling banyak digunakan di seluruh dunia adalah google. Tak mengherankan bila kemudian ketika seseorang kebingungan mencari informasi mengenai topik tertentu disarankan untuk digoogling saja. Sebenarnya banyak sekali mesin pencari yang lebih dulu ada sebelum google, namun pada perkembangannya, google yang paling user friendly dan paling memanjakan pemakainya dengan menyediakan banyak fasilitas disamping mesin crawler google paling canggih sehingga mampu menghadirkan banyak sekali ragam informasi. Tinggal terserah pada pemakai, mana yang mau dibuang dan mana yang mau diambil. Fasilitas dalam google yang begitu komplit inilah akhirnya menjadikan the netters (sebutan untuk penggila internet) selalu loyal pada google.

Kemampuan google yang demikian, sering menjadikan posisi pustakawan terancam olehnya. Asumsinya bahwa pemakai potensial perpustakaan lebih senang menggunakan intermediary google dari pada pustakawan. Bahkan berita yang paling terbaru dari suatu kejahatan teroris terorganisasi adalah penyerangan teroris terhadap orang asing di Hotel Taj Mahal di Mumbai India yang menewaskan 195 orang. Menurut berita yang dilansir AN TV bahwa informasi mengenai peta kota dan Hotel Taj Mahal diperoleh dari fasilitas Google Earth.

Jadi, pustakawan mempunyai “wilayah” kekuasaan dan googlepun punya “wilayah” kekuasan tersediri. Dalam hal ini nampak keduanya bukan sebagai rivalitas namun lebih sebagai komplementer, saling mengisi.

Ketika google menjadi inter-not.

Bila diteliti lebih jauh, sebenanya pustakawan tidak perlu merasa terancam oleh kehadiran google. Justru kehadirannya membantu tugas pustakawan sehari-hari karena google sedikit banyak membantu dalam pencarian informasi kepada pemakainya yang juga pemakai perpustakaan.

Lebih dari itu, sebenarnya google seringkali tidak mampu menjaring informasi yang ada dalam suatu web tertentu. Ungkapan “google menjadi inter-not” bermakna bahwa tidak selamanya mesin crowler google bisa menjangkau web-web tersembunyi. Walau di google punya fasilitas google scholar, dan fasilitas lainnya. Namun tetap saja tidak bisa menjangkau web-web tersembunyi yang sering disebut invisible web, deep web atau hidden web, yaitu web yang tidak dapat diakses dari mesin pencari dan direktori.

Dari sisi kuantitas, Bright Planet, sebagaimana dikemukakan Boswell (2008) mencatat bahwa jumlah invisible web sekitar 500 kali lebih besar dari surface web. Surface web digunakan untuk menyebut lawan kata invisible web atau deep web. Dari sisi kualitas, tentu juga harus dipertanyakan sejauhmana google menyediakan informasi yang otoritatif, bukan yang sampah (data smog). Berbeda dengan invisible web yang hampir semua informasinya otoritatif. Namun sayang belum banyak pemakai yang memulai mencari informasi dengan memanfaatkan invisible web ini.

Peluang pustakawan

Berdasar data yang dikemukakan oleh Bright Planet bahwa invisible web jauh lebih banyak menyediakan informasi berharga dibandingkan dengan surface web. Inilah kesempatan pustakawan untuk mengambil hati pemakainya dengan mengekplorasi lebih dalam invisible web. Masalah berikutnya adalah bagaimana pustakawan bisa mengunakan sumber-sumber dalam invisible web tadi?

Selanjutnya Boswell menawarkan beberapa cara untuk memanfaatkan invisible web dengan melihat gateway berikut:

  • Situs Direct Search yang homepagenya selalu ditampilkan menarik berdasarkan kategori tertentu, serta diupdate secara rutin. Situs ini dibuat oleh Gary Price, seorang pustakawan dan konsultan pencarian informasi di internet.
  • Situs Invisible Web Directory, yang merupakan direktori database yang bisa disearch (searhable) berdasar pada subyek. Situs ini dikembangkan oleh Gary Price dan Chris Sherman.
  • Situs Resource Discovery Network yang kebanyakan sumber informasinya berasal dari Inggris.
  • Situs InfoMine yang dikembangkan oleh The University of California. Situs ini setidaknya mencakup lebih dari 100.000 link dan akses databases.
  • Situs Virtual Library yang menyediakan link subyek.

Melihat tawaran Boswell, nampaknya, tidak ada yang perlu dirisaukan dengan pertumbuhan internet yang semakin maju, sebab internet tidak mengancam keberadaan pustakawan. Yang menjadi bahan kerisauan adalah sejauh mana pustakawan mampu beradaptasi terhadap perkembangan teknologi informasi yang ada. Selama pustakawan mempunyai kualifikasi untuk mengekplorasi informasi di internet, rasanya tak perlu ada yang perlu dikawatirkan. Bahkan dalam banyak hal antara pustakawan dan mesin pencari punya peran yang sama yakni sama sama sebagai intermediary. Pustakawan sebagai intermediary antara perpustakaan dengan pemakai, dan mesin pencari dalam hal ini google menjadi intermediary bagi netters dengan vast library di dunia maya.

Lebih dari itu, pustakawan bisa merangkap perannya sebagai intermediary di perpustakaan sekaligus, sebagai pemandu pemakai internet untuk mendapatkan informasi yang lebih berkualitas dengan mengenalkan invisible web.

Penutup

Posisi pustakawan menjadi strategis dalam era internet seperti sekarang ini. Namun akhirnya terpulang juga kepada mereka, apakah mereka akan memahami prilaku dan tuntutan informasi pemakainya atau mereka sudah merasa mapan kerja di perpustakaan sehingga tidak perlu ada kerja lagi selain menunggu koleksi saja.

Penulis yakin bahwa pustakawan akan memahmi kekuatan informasi yang ada di lembaganya serta kekuatan informasi yang ada di surface web maupun invisible web, yang dari sinilah nantinya akan diketahui bahwa keberadaan pustakawan diperlukan oleh pemakai perpustakaan. Semoga.

Sumber bacaan

Boswell, Wendy. (2008) The Invisible web: How to find and search the invisible web. http://websearch.about.com/od/invisibleweb/a/invisible_web.htm (7 Desember 2008).

Intermediary. http://www.merriam-webster.com/dictionary/intermediary (7 Desesember 2008)

Intermediary. http://dictionary.reference.com/browse/intermediary (7 Desember 2008)

Lackie, Robert J. (2008). Those Dark Hiding Places: The Invisible Web Revealed. http://library.rider.edu/scholarly/rlackie/Invisible/Inv_Web.html (7 Desmber 2008)

Reitz, Joan M. (2008) Online Dictionary for Library and Information Science. http://lu.com/odlis/search.cfm (7 Desember 2008)

Sherman, Chris., Gary Price. (2002). The invisible web; Uncovering information sources search engines can’t see. Medford: Information Today Inc.

3 komentar:

YOESLAN mengatakan...

ass... pak saya yuslan, mahasiswa bapak prodi D3 kom, lokal IE semester I. pak saya iri pada bapak, bapak bisa dalam bidang teknologi, teknisi komputer.. bagaimana sich pak agar bisa lebih maksimal lagi dalam belajar teknologi informasi,, sedangkan saya tidak mempunyai laptop bahkan komputer sekalipun untuk belajar lebih dalam lagi di bidang informasi ini,bapak ngerti kan mksudnya..!! tolong yo pak..
Wasslam...

YOESLAN mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
YOESLAN mengatakan...

saya kagum sama bapak....!!