Selasa, 17 Juli 2012

INSTITUTIONAL REPOSITORY (IR) PERGURUAN TINGGI

Bahrul Ulumi


PENGANTAR

Perpustakaan selalu diidentikan dengan koleksi buku dan bahan cetakan lainnya. Anggapan ini tidak salah karena asal istilah perpustakaan(library) adalah pustaka(libri) yang kedua kata tersebut berarti buku. Sampai saat ini, mayoritas koleksi yang ada di perpustakaan adalah bahan tercetak yakni buku, majalah, koran poster dengan segala ukurannya dan sebagainya. Namun demikian, saat ini, media penyimpan informasi sudah mulai bertambah banyak, tidak hanya terbatas pada bahan cetakan saja, tapi juga bahan-bahan digital. Konversi ini tidak ekstrim dalam artian biarpun media digital  sudah tumbuh sangat cepat, namun tetap saja kita tidak bisa meninggalkan bahan cetakan (buku) karena beberapa hal yaitu, umumnya ringan dan mudah untuk dijinjing, tidak memerlukan penerangan kecuali bila ruangan gelap, tidak memerlukan alat bantu  baca, merupakan sumber yang merangsang imajinasi, mudah dalam  penyimpanan, dapat ditulisi, dan masih banyak keunggulan lainnya.

Perpustakaan perguruan tinggi sebagai tempat mengumpulkan media informasi baik berupa buku maupun nonbuku memiliki tujuan sebagaimana dikemukakan Sulistyo Basuki (2009) sebagai berikut :
  •  Memenuhi keperluan informasi masyarakat perguruan tinggi, yang terdiri atas staf pengajar, mahasiswa, dan tenaga administrasi perguruan tinggi.
  •  Menyediakan materi perpustakaan rujukan pada semua tingkat pendidikan di perguruan tinggi dari strata 1 sampai jenjang strata 3 dan juga pengajar.
  • Menyediakan ruang baca/belajar untuk pemakai perpustakaan.
  • Menyediakan jasa peminjaman yang tepat bagi semua pemakai.
Sebagai lembaga pengelola informasi, perpustakaan tidak hanya wajib melestarikan semua fisik penyimpan informasi saja, termasuk di dalamnya Institutional  repository, tapi juga merawat dan menyebarluaskan Institutional repository tersebut untuk memperkaya khazanah pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi seluruh civitas akademika sebuah perguruan tinggi khususnya, dan umumnya bagi siapa saja yang mencari pengetahuan. Institutional repository atau IR juga merupakan koleksi yang unik karena sangat mencerminkan lembaga dimana IR tersebut bernaung. Institutional repository  univeristas misalnya, akan mencerminkan keilmuan yang menjadi perhatian utama civitas akademika universitas tersebut. Tulisan ini akan mengupas mengenai IR, tujuan  IR, kemanfaatan IR, dan kepemilikan IR.

DEFINISI SEPUTAR INSTITUTIONAL REPOSITORY

Menurut Crow dalam (Pinfield, Tt) mendefinisikan IR sebagai “digital collections that preserve and provide access the intellectual output of an institution.” Sementara menurut  pandangan Reitz (2010) IR adalah 
“satu set layanan yang ditawarkan oleh universitas atau kelompok perguruan tinggi untuk anggota komunitas untuk pengelolaan dan penyebaran materi ilmiah dalam format digital yang diciptakan oleh institusi dan anggota masyarakat, seperti e-prints, laporan teknis, tesis, dan disertasi, data set, serta  bahan ajar

            Dua batasan seperti dikemukan Crow dan Reitz menunjukkan bahwa IR merupakan karya yang dihasilkan oleh masyarakat universitas yang berupa laporan teknis, skripsi, tesis, disertasi, bahan ajar. Batasan di atas juga mensyaratkan satu lagi unsur yang ada dalam layanan IR yaitu diakses secara mudah karena terpasang (online). Keberadan IR sebenarnya sudah lama. Namun istilah ini lebih banyak muncul sekarang, terlebih didukung oleh teknologi yang memungkinkan penyebaran IR tersebut secara luas, murah, dan mudah. Kalaupun tidak ada teknologi yang mendukung untuk penyebaranpun, sebenarnya IR tetap harus disebarluaskan kepada masyarakat kampus, karena dari merekalah asal IR tersebut. Hanya saja perlu diakui tanpa bantuan teknologi informasi, barangkali kontrol terhadap IR tidak maksimal. Kontrol yang bisa dilakukan terhadap karya civitas akademika barangkali hanya bisa dilakukan secara konvensional  oleh unit yang bertanggung jawab atas karya yang dikeluarkannya saja. Misalnya lembaga penelitian hanya  mengongtrol karya penelitian saja sebab lembaga penelitian punya buku induk terkait penelitian di perguruan tinggi tempat dia bernaung, di samping lembaga tersebut yang bertanggung jawab atas pengelolaan penelitian. Sementara, lembaga penelitian tidak bisa mengawasi karya akhir mahasiswa. Karya akhir mahasiswa lebih banyak dikelola oleh fakultas atau program pascasarjana. Dengan cara konvensional, fakultas atau program pasca sarjana hanya bisa mengontrol karya akhir mahasiswa.  Itu saja barangkali hanya bisa dilakukan untuk karya  yang diterbitkan pada lima tahun terakhir, lalu apakah fakultas masih bisa menjamin bahwa skripsi yang diterbitkan 5 tahun lalu tidak ditiru oleh skripsi sekarang? Atau atas alasan apa skripsi yang lama-lama tidak lagi ada di koleksi fakultas? Di sinilah letak kesulitan bila tidak berbantuan teknologi. 

            Memang diakui, tanpa teknologi, lembaga penelitian hanya bisa mengontrol karya penelitian sebatas pada apakah tema penelitian yang telah lalu itu sama dengan penelitian yang sekarang dilakukan sebagaimana terdaftar dalam buku induk. Bila ada kesamaan, maka lembaga penelitian bisa mengarahkan peneliti untuk meneliti yang lainnya, atau dalam tema yang  sama tapi bisa menggunakan tempat atau ada sisi lain yang belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Demikian juga fakultas yang ada di perguruan tinggi hanya bisa mengawasi judul skripsi yang lalu saja untuk mengecek apakah skripsi yang sekarang merupakan duplikasi dari skripsi sebelumnya atau tidak.

          Teknologi informasi memungkinkan suatu unit dalam suatu lembaga bisa mengecek karya yang dikeluarkan oleh unit lain dalam lembaga tersebut. Misalnya saja, perpustakaan sangat mungkin bisa mengecek apakah suatu skripsi  sudah pernah ditulis oleh mahasiswa atau belum.

Melihat keadaan perguruan tinggi yang tidak semuanya sudah berbasis teknologi informasi, maka saya melihat bahwa akses secara terpasang atau online  bukan sebagai persyaratan adanya IR sebagaimana dikemukan oleh wikipedia maupun Reitz.  Adalah sangat mungkin IR diakses secara konvensional, dimana masyarakat kampus bisa mengakses karya IR dengan cara langsung mendatangi dimana IR tersebut disimpan. 

            Namun, untuk masa sekarang ini, idealnya, batasan IR mengacu pada batasan wikipedia maupun Reitz. Dalam pengertian tersebut, IR tidak hanya memegang peran sebagai out put  atau hasil dari karya suatu civitas akademika saja, tapi juga sebagai sarana yang bisa dijadikan komunikasi ilmiah atau penerbitan ilmiah. Alasannya adalah bahwa anggota civitas akademika bisa mengoreksi, dan mengkritik terbitan yang berasal dari IR. Sarana inilah yang memungkinkan terjadinya komukasi ilmiah antar pengajar atau peneliti.

            Ada beberapa tujuan mengapa mesti ada IR, sebagaimana dicatat Wikipedia (2012) yaitu:
  •  Menyediakan akses terbuka kepada hasil penelitian kelembagaan
  •  Menciptakan visibilitas global untuk penelitian ilmiah suatu lembaga.
  • Untuk mengumpulkan content dalam satu lokasi.
  • Untuk menyimpan dan melestarikan aset kelembagaan digital lainnya termasuk di dalamnya grey literature, tesis, maupun laporan teknis.
MANFAAT IR

Crow dalam Pinfield (Tt) mencatat beberapa manfaat yang bisa diambil dari IR, yaitu: adanya perluasan penyebaran karya ilmiah sehingga memungkinkan untuk disitir oelh pihak lain; penyebaran bisa dilakukan dengan cepat;  nilai tambah layanan informasi. Di luar kemanfaatan yang bisa diambil, ada kemanfaatn lain dengan adanya IR yaitu untuk kepentingan pribadi penyumbang IR dan untuk kepentingan lembaga. Untuk kepentingan pribadi, seorang penyumbang bisa menerbitkan hasil penelitian atau karya tulisnya melalui IR perguruan tingginya. Mengingat IR memungkinkan semua orang membaca karya orang lain, maka secara potensial seseorang tersebut akan mendapat pengesahan dari pembaca bahwa dia otoritatif dalam bidangnya. Seseorang yang dalam kurun waktu tertentu selalu menerbitkan bidang filsafat misalnya, secara potensial pembaca  akan menahbiskan dirinya sebagai penulis yang otoritatif dalam bidang filsafat.

Lembaga yang menaungi IR juga akan mendapatkan keuntungan dari membuka akses IR kepada publik. Keuntungan tersebut tentu bukan keuntungan finansial, tapi lebih kepada keuntungan reputasi universitas. Semakin banyak penulis mensitir karya akademisi universitas tertentu, maka univeritas tersebut semakin diakui sebagai universitas yang punya reputasi dalam bidang   pengetahuan tertentu. Reputasi baik akan membuat peringkat universitas tersebut semakin naik dan akan diperhitungkan oleh masyarakat. Dan untuk komunitas peneliti, sesungguhnya IR menghindarkan dari duplikasi karya penelitian.

IR, MILIK SIAPA?
            Ada pertanyaan menarik berkaitan dengan IR, siapa pemilik karya akhir mahasiswa baik dari strata1 sampai strata3? Siapa pula pemilik hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh pengajar?

            Sekilas kita tidak pernah mempersoalkan kepemilikan karya akhir mahasiswa dan hasil penelitian, padahal menurut saya ada hal-hal yang perlu dicermati dari dua karya tersebut. Semua orang sudah tahu bahwa, katakan, skripsi, tesis, atau disertasi adalah milik mahasiswa dan pemegang hak ciptanya adalah mahasiswa. Namun bila dicermati mengenai proses peneyelesaian karya tersebut, maka perlu dipertanyakan ulang, apakah benar mahasiswa merupakan pihak yang benar-benar menulis karya akhir  tersebut tanpa campur tangan dari pihak lain, dalam hal ini adalah dosen pembimbing. 

            Dalam proses pembuatan skripsi, pasti mahasiswa dipandu oleh dosen tentang cara pengutipan, penulisan serta diarahkan medote apa yang mesti digunakan dalam penelitian. Tidak hanya itu, dalam ujian seminar, pembimbing juga berusaha membela mahasiswa  bimbingannya agar proposal skripsi, tesis, atau disertasi  lolos dari ujian. Dari sini saja terlihat jelas bahwa mahasiswa bukan satu-satunya pihak yang berkontribusi  menyelesaikan sebuah karya akhir. Bila faktanya demikian, maka mahasiswa tidak berhak mengklaim 100% bahwa karya akhir adalah karyanya semata. Ternyata ada kolaborasi pihak lain dalam penyelesaian karya tersebut.

            Hak cipta   meliputi dua hal yaitu, hak ekonomi dan hak moral yang melekat pada diri penulis suaru karya. Dalam pandangan saya, dalam kasus karya akhir, ada kelonggaran kepemilikan pada karya tersebut. Selama karya terebut masih dalam bentuk aslinya yaitu skripsi. Kepemilikan skripsi ada pada penulisnya sebab penulis tetap sebagai “aktor intelektual” atas skripsi yang ditulisnya. Sementara bila ada reproduksi akan karya tersebut, misalnya dijadikan buku umpamanya, tentu kepemilikan harusnya berubah tidak hanya penulisnya saja, tapi harus mencantumkan pembimbing sebagai pengarang keduanya. Dengan cara ini, maka jelas, bahwa kepemilikan hak moral melekat pada dua pihak yaitu penulis dan pembimbing. Sementara hak ekonomi bisa saja melekat pada penulis skripsi dan pihak lain yang menerbitkan karya tersebut.

            Lalu bagaimna dengan hasil penelitian? Hasil penelitian berbeda dengan karya akhir (skripsi, tesis, disertasi). Penyusunan laporan penelitian tidak memerlukan pembimbing sebagaimana skripsi.

            Sejauh ini, penelitian yang dilakukan oleh para dosen adalah penelitian yang dibiayai oleh negara (DIPA). Artinya bahwa biaya penelitian dosen tidak dibebankan pada dosen yang bersangkutan, melainkan seratus persen dibiayai oleh DIPA.  DIPA disalurkan melalui lembaga penelitian. Mengacu dari sini, lembaga penelitian berkewajiban mendanai biaya penelitian, sementara dosen peneliti wajib menyerahkan hasil penelitian kepada lembaga penelitian.

            Bila benar bahwa pembiayaan penelitian dilakukan oleh lembaga penelitian, maka dosen peneliti hanya punya hak moral saja terhadap hasil penelitiannya, sementara hak ekonomi melekat pada lembaga penelitian. Lembaga penelitian berhak untuk menyebarluaskan hasil penelitian atau bahkan mengkomersilkan hasil penelitian biarpun tanpa persetujuan dosen peneliti. 

PENUTUTP &REKOMENDASI 
         Sebenarnya, perguruan tinggi sangat kaya akan karya ilmiah yang dihasilkan oleh civitas akademikanya. Namun sayang karya ilmiah tersebut belum dimaksimalkan sebagai salah satu rujukan bagi  seluruh masyarakat kampus. Ada dua kemungkinan mengapa karya civitas akademika ini kurang populer sehingga tidak dimaksimalkan penggunaanya, yaitu pertama, universitas atau perguruan tinggi tidak pernah menunjuk unit mana  yang bertanggung jawab atas publikasi IR (karya penelitian disebarluaskan secara bebas), dan kedua, barangkali tidak semua penulis karya/peneliti merasa nyaman bila semua karyanya dipublikasikan melalui fasilitas IR tersebut. 

            Saya sangat berharap univeritas bisa mengembangkan IR semaksimal mungkin. Sebenarnya, selama ini, perpustakaan  sudah banyak mempublikasikan IR perguruan tinggi, namun masih terbatas pada publikasi karya akhir mahasiswa (skripsi) saja dengan fasilitas perpustakaan digital. Sementara karya penelitian belum banyak diekpose untuk pengembangan pengetahuan publik.

            Ke depan, seluruh karya civitas akademika peguruan tinggi harus dikumpulkan dalam IR yang tidak hanya berupa tugas akhir dan hasil penelitian saja, tapi semua karya ilmiah yang pernah dihasilkan termasuk di dalamnya karya orang di luar civitas akademika perguruan tinggi yang  menulis tentang perguruan tinggi tersebut.

            Mengingat perpustakaan merupakan pihak yang paling berpengalaman mengurusi IR, maka tidak berlebihan bila perpustakaan pula yang akhirnya menangani IR civitas akademika perguruan tinggi. Hanya saja, agar usaha ini juga mendukung terhadap pemeringkatan universitas (webometric) maka perguruan tinggi sebagai lembaga induk perpustakaan, harus membantu dengan mengusahakan software yang memungkinkan IR tersebut dicrowler oleh google, sehingga  publikasi IR benar-benar mempengaruhi webometric perguruan tingi yang bersangkutan.




Bibliografi
Drake, Miriam A. (2004). Institutional Repositories: Hidden Treasures. Tersedia di http://www.infotoday.com/searcher/may04/drake.shtml (29-03-12)
Institutional repository. (2012). Tersedia di  http://en.wikipedia.org/wiki/Institutional_repository. (29-03-12)
Johnson, Richard. (2002).” Institutional Repositories: Partnering with Faculty to Enhance Scholarly Communication”. D-Lib Magazine, November 2002. Volume 8 Number 11. Tersedia di http://www.dlib.org/dlib/november02/johnson/11johnson.html (12-06-12).
Pinfield, Stephen. (TT). Creating Institutional Repositories. File presentasi. The University of Notingham.
Reitz, Joan. (2010). Isntitutional repository. Tersedia di http://www.abc-clio.com/ODLIS/searchODLIS.aspx (29-03-12).
Sulistyo-Basuki. (2009). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Ulumi, Bahrul. (2009). Implementasi Hak Cipta oleh pustakawan perguruan tinggi: studi kasus di Perpustakaan UI dan UNJ. FIB Universitas Indonesia. (Tesis).

Tidak ada komentar: