Jumat, 05 Agustus 2011

Bonek

Bonek singkatan dari bondo nekat. Bonek digunakan untuk menyebut para supporter sepakbola yang terkenal sangat fanatik dalam mendukung tim kesebelasannya. Bonek tidak berarti suporter tidak bertiket ketika menonton tim kesayangannya bertanding. Mereka tetap menyiapkan uang tiket Cuma saja yang tidak mereka siapkan adalah biaya ketika mereka harus menginap kala tim bermain tandang.

aku kira, masing-masing dari diri kita pernah mengalami menjadi bonek dalam hidup kita sehari-hari. Akupun pernah menjadi bonek, atau tepatnya aku sekeluarga. Petengahan tahun 2007 aku berkesempatan mendapatkan beasiswa kuliah di Depok. Siapa sih yang tidak senang mendapat kesempatan kuliah? Aku termasuk satu dari sekian orang yang sangat beruntung mendapat kesempatan tersebut. Sebenarnya mendapat kesempatan kuliah saat itu mengandung dua kemungkinan, yaitu menyenangkan sekaligus menyedihkan. Senangnya pasti bisa ditebak, berkesempatan kuliah lanjut setelah mengikuti rangkaian tes. Sedihnya juga bisa ditebak, sebab berpisah dengan keluarga.
Kesempatan berpisah dengan keluarga menjadi kenyataan. Aku harus menjalani rutinitas di depok sementara istri dan anak-anak mesti tinggal di kampung. Dari sini sepertinya aku mulai merintis kebonekan. Beasiswa yang aku andalkan tak kunjung keluar, sementara tunjangan transport dan manejerial dari kantor berhenti total. Jadi gaji yang tinggal tidak seberapa banyak harus dibagi dengan dua dapur yaitu dapur kampung dan dapur Depok disamping untuk biaya kangen yang meliputi pulsa dan transport Kaliwungu-Depok pergi dan pulang.

Rutinitas tersebut bisa bertahan sampai satu semester. Syukur di akhir semester beasiswa cair, namun beasiswa tersebut menjadi sedikit karena untuk menutup biaya semester lalu dan tentu untuk biaya menunggu beasiswa yang kemudian akan turun.
Jauari 2008, aku bersama keluarga nekat memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di Depok. Dengan semangat 17 Agustus, kami semua naik Kereta Fajar Utama dari stasiun Tawang ke Jakarta (Jatinegara). Kereta Fajar menjadi pilihan yang menyenangkan karena bisa menghemat biaya tiket sekaligus mudah dalam membawa barang-barang. Masih segar dalam ingatan, kami membawa property yang kami punyai. aku bawa dua tas, yaitu punggung dan tenteng. Tas punggung spesial berisi piranti kuliah dan sesuatu yang aku pandang penting. Istri juga bawa 2 tas seperti kepunyaanku, tas punggung dan tenteng. Anak-anak tidak kalah keren dalam menenteng tas. Si sulung, 6 tahun, membawa tas sekolah andalan yang tidak lain dan tidak bukan adalah tas punggung dengan gambar Cinderella berwarna pink. Si bungsu 3 tahun membawa tas punggung kesayangan, tas kecil bercapkan panda warna kuning yang hanya cukup untuk menampung 2 buah buku tulis.

##########

Aku pribadi sangat menikmati harapan-harapan yang disampaikan anak-anak, bahwa Jakarta itu indah sebagaimana mereka lihat di layar televisi. Apalagi kalau melihat sinetron yang pemerannya cantik dan ganteng serta rumah tempat mereka tinggal seperti istana. Biar saja mereka yang akan menjawabnya sendiri dengan melihat kenyataan.

Harapan-harapan keindahan anak-anak terhadap Jakarta memudar ketika turun di Stasiun Jatinegara. Baru turun dari Jakarta saja sudah ketahuan bau Jakarta yang diwakili oleh bau stasiun yang kala itu beraroma sangat tidak sedap. Justru kesempatan itu aku gunakan untuk menerangkan Jakarta dari sisi fakta. Kebetulan juga saat itu, ketika menuju ke depok, kami berpapasan dengan kereta KRL yang lagi lewat. Aku tidak tahu persis apa yang dibayangkan anak-anak waktu melihat kereta yang dijejali banyak penumpang. Barangkali saja mereka berpikir bahwa itu bukan kereta, tapi lebih seperti ikan teri diberi tepung. Tak tahulah apa pendapat mereka mengenai kereta KRL. Yang pasti, banyak angan-angan mereka yang tidak sama dengan kenyataannya.
Hingga akhirnya sampailah kami di rumah kontrakan. Rumah kontrakan ini tidak bisa dikatakan ideal sebagai tempat tinggal keluaraga. Rumah kontrakan tersebut sebenarnya rumah petak yang lebih tepat untuk mahasiswa bujangan, bukan keluarga seperti kami. Sudah dari awal kami nekat, maka mencari kontrakan rumahpun dengan modal nekat juga. Yang penting kami bisa mengeluk boyok/tidur di malam hari dan bisa beraktivitas di siang hari. Kami juga tidak bisa membayangkan bagaimana isinya atau tata letak ruangan. Kog bisa? Bisa saja karena waktu itu kami butuh tempat untuk istirahat dan kami hanya pesan temen untuk mencarikan dan akhirnya dapat kontrakan yang kala itu kami tinggali.

Boleh saja pilihan kami dikritik kenapa tidak memilih rumah kontrakan yang layak. Tentu jawabannya sangat sederhana, bahwa uang saku kami tidak bisa menjangkau rumah layak keluarga.

Rumah kontrakan terdiri atas 3 ruang, ruang tamu, ruang tidur, dan ruang belakang. Kalau dilihat dari pembagian ruangan, rumah kontrakan kami tentu tak ada soal. Tapi kalau rumah tersebut diurai fungsinya, baru akan ketahuan bahwa rumah kontrakan jauh dari ideal. Ruang depan yang mungil berfungsi untuk menyimpan komputer personal, sepeda motor, ruang tamu sekaligus tempat anak-anak belajar. Ruang tengah tidak kalah sibuk karena harus menampung kamar tidur, pakaian kami, perkakas rumah tangga de el el. Ruang belakang merupakan ruang yang paling multi guna. Peruntukan awalnya adalah kamar mandi. Namun Karen akami butuh kamar mandi dan juga dapur, maka ruang tersebut kami maksimalkan untuk fungsi keduanya. Sebenarnya sangat susah untuk dibayangkan apalagi dipraktikkan sebuah ruang sempit untuk fungsi kamar mandi dan dapur sekaligus gudang penyimpanan property dapur. Sayang tak ada pilihan lain kecuali bertahan dengan fasilitas yang ada. aku sangat tahu solusinya, yaitu pindah dari situ dan cari tempat yang lebih layak. Namun sayang, kelayakan selalu berbanding lurus dengan uang.

Kadang susah juga untuk menjalani hidup secara rasional buta berdasar kalkulasi matematika. Tapi akhirnya kami bisa menjalani hidup dengan hepi-hepi ajah.

Tentu saja, kami di Depok tidak sendirian. Banyak temen-temen yang secara ikhlas membantu kami semua. Thanks buat temen-temen yang selalu ada untuk kami semua.

Minggu, 20 Februari 2011

Anak adalah fotokopi

Dalam kehidupan sehari-hari di kampung, kata-kata “Iki ki anake sopo”(ini anak siapa sih), “anak kog ora iso diatur”(anak tidak bisa atur), bahkan ekstremnya sampai muncul “anak setan iki pancen”(ini bener-bener anak setan).

Kata-kata di atas merupakan umpatan orang tua yang kesal kepada anak-anak mereka sendiri. Kata-kata tersebut masih terhitung sedikit sebab banyak orang tua yang mengobral kata-kata kasar manakala mereka kesal atau kecewa terhadap anak-anaknya. Sebenarya absah-absah saja orang tua untuk mengumpat sedemikian rupa pada anaknya wong itu hak orang tua terhadap anaknya sendiri. Tapi apakah pantas kata-kata kasar tersebut dialamatkan pada anak yang nota bene adalah anak kandung mereka sendiri?

Dalam teks kitab suci, anak harus hormat dan berbakti pada orang tua, dan ini harga mati. Apapun keadaan orang tua, anak tetap harus menghormati orang tuanya. Bahkan dalam teks suci juga dikatakan bahwa surga anak berada di bawah kaki ibu yang tak lain dan tidak bukan adalah salah satu dari orang tuanya. Teks ini berlaku di dunia dan akhirat. Artinya kunci keberhasilan anak di dunia dan akhirat sedikit banyak tergantung pada seberapa jauh dia bisa ngawulo (menghormati, menjaga perlakuan baik lainnya) pada orang tuanya. Keberhasilan ini tentu tidak diukur seberapa banyak harta yang dimiliki tetapi seberapa jauh dia merasa bahagia dalam hidupnya. Saya percaya seseorang yang berkonfrontasi dengan orang tuanya bisa kaya harta, tapi saya tidak percaya seseorang orang yang berkonfrontasi sama orang tuanya tersebut bisa merasakan kebahagian sebenarnya. Ungkapan kebahagian anak berada pada telapak kaki ibu tidak bermakna apa adanya. Tapi suatu ungkapan bahwa kebahagian benar-benar berada pada ridlo seorang ibu.

Kendati demikian, orang tua tidak bisa seenaknya mengumpat dengan kata-kata yang jelek. Umpatan-umpatan seperti tertera di atas merupakan umpatan yang tidak seharusnya keluar dari mulut orang tua. Biarpun orang tua kesal, seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata kasar pada anaknya. Bisa dibayangkan bila kata-kata kasar tersebut berbinih doa dan berbuah kenyataan. Anak-anak yang tadinya nurut, lalu menjadi tidak bisa diatur, anak-anak tumbuh dewasa dengan mewarisi sifat jahat setan umpanya, siapa yang akan menanggung kerugian? Akhirnya, orang tua jua yang akan menanggung kesedihan karena ulah anaknya.

Sebenarnya, tidak ada salahnya bila orang tua (ayah-bunda) untuk melihat ke belakang alias introspeksi diri. Banyak hal yang dulu dilakukan oleh orang tua berulang pada anaknya baik sifat jelek maupun sifat bagus. Seseorang yang tukang “ngeyel” jangan kaget kalo di kemudian punya anak sukanya ngeyel. Seseorang yang senang menebar kebohongan, hendaknya juga jangan heran kalau anaknya berbohong, begitu juga sifat lainnya. Sifat-sifat apapun yang dimiliki orang tua berkecenderungan untuk diwariskan pada anak-anaknya.

Jadi, sebagai orang tua hendaknya hati-hati bila momong (merawat) anak. Ternyata, anak adalah fotokopi dari diri kita sebagai orang tua.

Jika sekarang anak-anak kita malas sekolah, kritis dengan pertanyaan yang aneh-aneh, kadang enggak nurut sama orang tuanya, maka tidak usah menyalahkan mereka habis-habisan karena kitapun dulu juga demikian.

Seperti yang saya alami sekarang ini, anak-anak malas sekolah, terlalu pede pada pendapatnya sendiri, atau kadang bertanya pada hal yang aneh-aneh untuk anak seusianya, maka saya hanya tersenyum seraya ngomong sendiri “oh jadi begini juga yang dirasakan orang tua saya terhadap kelakuan saya saat kecil”.

Minggu, 13 Februari 2011

Surga

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata surga. Dalam pandangan sehari-hari pula, surga dipahami sebagai suatu tempat yang disediakan oleh Allah bagi mereka yang beriman dan berbuat baik waktu hidup di dunianya. Surga berada di alam akhirat atau alam dimana umat manusia dibangkitkan kembali dari kematiannya. Surga diidentikan dengan sesuatu yang indah-indah dan nikmat-nikmat. Tidak mengherankan bila surga dalam bahasa Arab sering disebut sebagai jannah yang berarti kebun.

Istilah jannah berasal dari bahasa Arab. Negara-negara Arab merupakan Negara yang kaya akan kandungan minyak dalam perut buminya, sementara daratannya tandus. Maka tidak berlebihan bila pertanian dan kebun-kebunan yang indah jarang ditemukan di sana. Daerah yang gersang seperti Negara-negara Arab sangat mendambakan lahan pertanian dan kebun. Kebun-kebunan dan pertanian barangkali identik dengan kemewahan untuk di daerah tersebut. Atas alasan inilah padanan jannah dipilih sebagai padanan kata surga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI) surga merupakan alam akhirat yang membahagiakan roh manusia yg hendak tinggal di dalamnya (dl keabadian). KBBI juga menyebut surga dengan jannah yang berarti alam akhirat tempat jiwa (roh) manusia mengenyam kebahagiaan sebagai pahala perbuatan baiknya semasa hidup di dunia.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju batasan yang diberikan oleh KBBI, yang jelas surga berada di alam akhirat bukan dunia. Desain tersebut tentu bukan tanpa maksud. Bila surga di dunia dan bisa dilihat secara kasat mata tentu semua orang pasti akan berbuat baik dan serta merta meninggalkan perbuatan jelek. Keberadaan surga di akhirat dimaksudkan untuk menguji integritas orang di dunia apakah mereka akan melakukan tindakan baik atau jelek.

Surga dikenal sebagai tempat kompensasi bagi mereka yang berbuat baik, sebagaimana yang seringkali diceramahkan oleh para mubaligh atau para penceramah agama. Dalam setiap ceramah, nyaris, mereka tidak pernah melupakan untuk menyebut kata surga. Kata surga ini sebagai iming-iming agar orang mau berbuat baik. Sehingga muncul kesan bahwa surga merupakan tujuan akhir segala bentuk kebaikan.

Surga oriented sepertinya mengingatkan saya pada suatu pernyataan seorang sufi, Rabiatul Adawiyah, yang mengatakan:

“Allah, kalau sekiranya saya beribadah karena ingin surgaMu, maka masukkan saya dalam nerakaMu”

Pernyataan di atas sepertinya aneh dan tidak biasa kita dengarkan dalam forum pengajian, bahkan kita akan mengatakan betapa beraninya seorang sufi tersebut untuk menolak surga padahal hampir semua orang menginnginkannya.

Namun, bila penrnyataan di atas direnungkan justru membimbing kita pada suatu kenyataan bahwa Allah adalah orientasi dari segala kebaikan. Allah dan surga adalah berbeda. Allah adalah pencipta, sementara surga adalah ciptaan, begitu juga neraka dan kita semua sebagai manusia. Alangkah ruginya kita sebagai makhluk bila berbuat baik karena surga yang notabene juga makhluk.

So, sekarang terserah kita, mau karena Allah atau karena surga. Allah a’lam

Selasa, 26 Oktober 2010

Buku Elektronik Jadi Tren Positif

Semarang, CyberNews. Buku elektronik kini dipandang menjadi tren potif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas masyarakat. Berkembangnya buku elektronik tak lepas dari perkembangan teknologi sehingga internet kini tak jadi perangkat istimewa lagi.

"Dengan internet, mahasiswa dan dosen bisa mengakses buku elektronik secara gratis dan tak perlu susah mencari buku di beberapa toko buku. Tinggal mengklik suatu alamat website, kita bisa mendapat pengetahuan luas dalam buku elektronik, apalagi buku ini bisa dikirimkan lewat file digital secara langsung ke banyak orang," kata Prof Dr Abu Suud, mantan Rektor Unimus dalam seminar nasional "Eksistensi Buku dan Ebook di Era Globalisasi" di aula gedung Muhammadiyah Semarang.

Guru besar Emeritus Unnes sekaligus kolumnis rubrik Gayeng Semarang Suara Merdeka CyberNews itu menuturkan, dengan maraknya buku elektronik, seharusnya wawasan dan rasionalitas masyarakat semakin berkembang. "Namun, rasionalitas itu harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, norma yang berlaku, dan ajaran agama. Kalau tidak, akan timbul persepsi yang salah kaprah terhadap suatu masalah yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak, seperti munculnya orang-orang liberal dan teroris," ujar Prof Abu.

Sementara Dosen Ilmu Perpustakaan Undip, Bahrul Ulumi mengatakan, buku elektronik memiliki kelebihan yang tak dimiliki buku cetak, yakni mudah dibawa dan diduplikasi, ukuran fisik relatif lebih kecil, dan pencarian lebih mudah. Meki demikian, Bahrul memandang, perlu ada perbaikan pada sistem dan konten buku elektronik. Sebab, kedepan diprediksi buku elektronik akan lebih menonjol ketimbang buku versi cetak.
"Jangan sampai kita ketinggalan dengan bangsa lain," kata dia.

Lalu, kapan nasib buku elektronik bisa lebih dominan ketimbang buku cetak? Menurut Bahrul, buku elektronik akan menggantikan buku cetak manakala produksi buku elektronik murah dan kemudahan penggunaan buku elektronik lebih baik.

"Di Indonesia, penulis buku elektronik masih sangat jarang dan baru Kemendiknas yang berani secara massal membuatnya dalam buku elektronik sekolah (BSE), karena masalah hak cipta dan pemberian royalti belum diperhatikan. Padahal, dalam membuat buku elektronik, penulis juga butuh upaya yang sama sepeti penulis buku cetak," ujarnya.

available at http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/10/03/6677703 Oktober 2010 | 22:46 wib

Senin, 11 Oktober 2010

Profesi VS Pekerjaan

bahrul ulumi

“Sule... sule.... sule....”
Kata sule sangat akrab di telinga saya sebab setiap hari penjaja sule selalu lewat depan rumah. Sule di sini bukanlah nama seorang komedian terkenal yang ada di TV, tapi merupakan akronim dari susu kedelai. Penjaja sule saat ini tergolong kreatif. Rasa sule tidak terjebak dengan rasa kedelai saja, tapi sekarang sudah bervareasi. Ada rasa melon, strowberry atau yang lainnya. Kalaupun warnanya putih, rasa kedelainya tidak dominan.

Sebenarnya yang menarik perhatian saya bukan pada rasa sule, tapi pada penjaja sulenya. Dulu, pekerjaan penjaja sule adalah sebagai karyawan pabrik tekstil terkenal yang terletak di Kaliwungu. Namun karena pemilik modal bangkrut, maka penjaja sule ganti pekerjaan. Kalau dihitung, barangkali penjaja sule sudah berganti pekerjaan beberapa kali, dari menjadi pegawai pabrik seleb (gilingan padi) sampai sebagai asisten ternak bebek. Sering bergantinya pekerjaan tersebut menandakan bahwa penjual sule bukan tipe orang yang mudah menyerah terhadap suatu keadaan. Dalam perhatian saya, dia tipe pekerja keras dan tidak terlalu mikir gengsi dirinya. Yang penting baginya punya kerjaan yang menghasilkan uang secara halal.

Seperti biasanya, pagi ini dia menjajakan sulenya lewat depan rumah. Dia sudah melewati jalan yang benar sebab anak saya termasuk penggemar susu kedelai racikannya, di samping tetangga kanan kiri menyukai susu kedelainya. Ketika dia mengambilkan sulenya ada seseorang bertanya padanya:

“Ji, ganti profesi ni”
Penjaja sulepun secara tangkas menjawab
“Ya, untuk ngubah nasib”

JI merupakan panggilan singkat Haji. Dari sini ketahuan kalau penjaja sule adalah seseorang yang bergelar haji. Memang dia sudah berangkat haji pada tahun 2006. Penjaja sule memang tergolong beruntung sebab dia mendapatkan ongkos dari orang tuanya untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima.

Dari perbincangan singkat di atas ada istilah yang menggelitik, yaitu kata profesi untuk menanyakan pekerjaan penjaja sule. Kata profesi ini sebenarnya tidak pas bila dilekatkan dengan pekerjaan penjaja sule. Seseorang tidak perlu sekolah pada jurusan tertentu untuk menjajakan sule. Marketing bisa dipelajari secara akademis, tapi kalau sekedar berjualan sule keliling kampung tidak perlu untuk memasuki kuliah pada jurusan tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan dsb) tertentu. Sedang pekerjaan adalah barang apa yang dilakukan (diperbuat, dikerjakan dsb.).

Singkat kata, menjual sule bukanlah suatu profesi tapi pekerjaan. Jadi bila ada seseorang menanyakan profesi pada penjaja sule rasanya tidak tepat. Sesuatu dikatakan profesi manakala dilakukan dengan berlatar bekalang pendidikan terntentu, yang tentu membutuhkan keahlian khas. Penjaja sule tidak memerlukan keahlian yang khas. Hal ini sangat berbeda dengan profesi pengacara umpamanya. Seseorang boleh membela orang lain karena suatu kasus tertentu. Tapi pembela kasus tersebut tidak mesti disebut sebagai pengacara. Pengacara berlatang belakang pendidikan Sarjana Hukum. Jadi dia berlatar belakang pendidikan tertentu dalam hal ini adalah kajian hukum, dan dia harus bergelar sarjana hukum.

Katagori profesipun tidak terbatas pada kelulusan kesarjanaan. Sulistyo basuki (2009) mensinyalir ada 3 ciri yang mendasari sebuah profesi, yaitu 1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi. Pelatihan ini dimuali ketika seseorang selesai memperoleh gelar kesarjanaannya. 2. Pendidikan dan pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan. Komponen intelektual merupakan karakteristik profesional yang bertugas utama memberikan nasehat dan bantuan menyangkut bidang keahlian yang rata-rata tidak diketahui oleh orang awam. 3. Tenaga terlatih memberikan jasa pada masyarakat. Profesi berorientasi memberikan jasa pada kepentingan umum.

Di samping ketiga ciri di atas masih ada 3 ciri tambahan lainnya, yaitu 1. Adanya proses lisensi atau sertifikat. 2. Adanya organisasi profesi, dan 3. Otonom dalam pekerjaanya.

Masyarakat pada umumnya mencampuradukkan penggunaan istilah profesi dan pekerjaan, termasuk lembaga pemerintahan. Sebagai ilustrasi, profesi/pekerjaan dalam kartu tanda penduduk (KTP) hanya ada beberapa saja, yaitu swasta, pegawai negeri sipil, polisi, TNI, dan mungkin dokter. KTP yang di dalamnya tertera tanda tangan camat ternyata hanya mengenal profesi tersebut di atas.

Dari beberapa profesi di atas, mungkin yang agak janggal adalah pegawai negeri sipil dan swasta. Bisa jadi seseorang dimasukkan sebagai pegawai negeri sipil karena mengajar di perguruan tinggi negeri, sementara seorang lainnya dimasukkan swasta sebab dia mengajar di perguruan tinggi swasta. Mereka dibedakan menjadi PNS dan swasta, padalah mereka sama-sama sebagai pengajar perguruan tinggi.

Pemilihan istilah yang tidak tepat kadang membuat telinga kita tidak nyaman mendengarnya.

Jadi, tidak usah kaget kalau nanti ada istilah “berprofesi sebagai PSK” atupun “pekerjaanya sebagai dokter” muncul di media massa, sebab memang kedua istilah tersebut digunakan secara tidak tepat.


Bibliografi

Profesi tersedia di http://kamusbahasaindonesia.org/profesi (12-10-10)
Sulistyo-Basuki (2009) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Selasa, 31 Agustus 2010

Toko Buku dan Perpustakaan: sebuah analogi

bahrul ulumi

Toko buku merupakan bangunan rumah atau ruang tempat penjualan buku. Dalam perkembangannya toko buku tidak hanya menjual buku saja, tapi juga menjual pernak-pernik terkait dengan buku atau barang-barang yang dibutuhkan oleh dunia akademik. Tidak mengherankan bila toko buku menjual tas, alat-alat tulis, mesin penghitung, desktop komputer dan sebagainya. Bahkan saat ini, toko buku juga menjual barang-barang yang tidak terkait dengan buku itu sendiri atau barang-barang terkait dengan kegiatan akademik lainnya seperti alat-alat musik dan alat-alat olah raga. Tidak jarang mereka juga menjual audio visual untuk keperluan hiburan, bukan pendidikan.

Tentu tak ada masalah dan juga tidak ada larangan bila toko buku mengembangkan jasanya dengan menjual barang-barang lainnya di luar buku. Bila menjual barang-barang tersebut mengungtungkan bagi toko buku, kenapa tidak menjualnya? Kalau perlu, toko buku berubah menjadi toko lainnyapun tidak mengapa sehingga buku tidak menjadi ujung tombak item penjualan, tapi merupakan salah satu bagian dari penjualan toko tersebut.

Dalam penataanya, toko buku punya cara yang khas. Penataan buku tidak didasarkan pada kesamaan kajian ilmu yang ada dalam isi buku (subyek buku) secara konsisten. Penataan didasarkan pada selera toko buku yang bersangkutan, bukan pada suatu kaidah tertentu. Kebijakan dalam penataan antara satu toko buku yang satu dengan yang lainnya juga berlainan. Toko buku tidak terikat oleh suatu kaedah apapun kecuali kaedah yang telah dia ciptakan sendiri dan kaedah tersebut tidak mengikat toko buku lain di luar kelompok usahanya.

Sebagai ilustrasi, banyak buku yang dijajarkan berdasarkan pada subyek yang sama seperti buku-buku berisi ilmu hukum dijajarkan dalam barisan rak yang sama, atau kalaupun tidak dalam satu rak, tapi buku dijajarkan secara berdekatan. Namun demikian, tidak jarang buku-buku di toko buku dijajarkan karena kebaruan bukan karena subyeknya.

Toko buku biasanya menjajarkan koleksi terbaru di depan pintu masuk pengunjung. Kebijakan ini dimaksudkan agar pengunjung langsung bisa melihat koleksi terbaru yang dimiliki toko buku tersebut. Cara toko buku menarik pembeli tidak hanya menjajarkan koleksi terbarunya di depan pintu masuk. Buku-buku edisi diskon juga sering dijajarkan di depan pintu masuk. Tujuannya adalah untuk menarik pengunjung bahwa dengan dana yang sedikit pengunjung bisa mendapatkan buku bermutu.

Lalu, apakah perpustakaan juga melakukan seperti yang telah dipraktikan oleh toko buku?

Perpustakaan dalam bahasa Inggris adalah library yang berasal dari liber (Latin), bibliotheca (Romawi), bibliotehque (Perancis) bermakna buku. Menurut ODLIS (Online Dictionary for Library and Information Science) perpustakaan adalah koleksi atau sekelompk koleksi dari buku, dan atau bahan tercetak maupun noncetak yang diorganisasi dan dirawat untuk keperluan bacaan, konsultasi, studi, riset dsb. Perpustakaan dikelola untuk memfasilitasi akses pemustaka, dikelola oleh pustakawan atau pegawai terlatih lainnya guna memenuhi keperluan pemustaka.

Ketika menyebut toko buku, sebagian orang pasti beranggapan bahwa toko buku hanya menjual buku saja. Sama halnya bila menyebut perpustakaan, sebagian orang akan membayangkan bahwa perpustakaan adalah tumpukan buku untuk dipinjamkan. Anggapan orang tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Bila di toko buku yang dijajarkan adalah buku, maka bukupun dijajarkan di perpustakaan. Namun demikian, walau keduanya sebagai tempat buku, namun sangat terbuka lebar bagi keduanya untuk menjual atau melayankan sesuatu yang bukan buku.

Kalau melihat isitilah yang melekat pada keduanya, maka keduanya sama-sama berarti buku. Dalam “toko buku” jelas sekali terdapat kata buku. Demikian halnya dalam “perpustakaan” terdapat kata pustaka yang berarti buku. Dalam Bahasa Inggris, padanan perpustakaan adalah library. Library berasal dari kata liber yang berarti buku. Bila ada kata yang lebih tepat untuk mewakili kata “buku” barangkali adalah dokumen. Dokumen dimaksudkan untuk menyebut media apa saja yang bisa digunakan untuk menyimpan informasi. Buku disebut dokumen karena dalam buku tersebut menyimpan informasi. Majalah, ebook, rekaman suara, audio visual juga disebut dokumen sebab perkakas tersebut digunakan untuk menyimpan informasi. Kendati demikian, biarpun isitlah dokumen lebih tepat, namun sebagian orang merasa tidak nyaman menyebut dokumen sebab dokumen sering dipahami sebagai media penyimpan informasi rahasia.

Toko buku tidak mensyaratkan pengunjungnya untuk membeli buku atau barang lainnya yang tersedia dalam toko buku tersebut. Pengunjung bebas untuk membeli buku serta bebas untuk tidak membelinya pula. Toko buku membuka peluang bagi pengunjung untuk melakukan window shopping dimana pengunjung boleh melihat-lihat buku, membaca buku sepuasanya (tentu tanpa fasilitas tempat duduk) atau bahkan hanya sekedar mengecek harga. Cara ini sengaja diambil oleh toko buku tersebut agar pengunjung tidak menyelesaikan bacaannya kecuali setelah mereka membeli terlebih dulu.

Dalam pemanfaatan buku, perpustakaan sangat mengakomodasi kepentingan pengunjung maupun pengguna. Maka tidak mengherankan perpustakaan menyediakan tempat duduk dengan meja besar agar pemakai bisa membuka-buka bukunya dengan nyaman. Perpustakaan juga masih memberi meja khusus (meja karel) agar pengunjung merasa lebih nyaman dengan menyendiri tanpa diganggu oleh pengunjung perpustakaan lainnya.

Toko buku & perpustakaan (Perbandingan)

Toko buku tidak perlu merancang suatu sistem apapun setelah penjualan. Toko buku hanya berusaha bagaimana cara menjual buku sebanyak-banyaknya tanpa merisaukan buku yang sudah dibeli oleh pelanggannya. Hal ini sangat berbeda dengan perpustakaan. Perpustakaan tidak hanya berusaha bagaimana perpustakaan dikunjungi oleh banyak penggunanya, tapi juga berusaha bagaimana caranya pemustaka memanfaatkan koleksi secara maksimal.

Layanan di perpustakaan menuntut perpustakaan agar bisa menciptakan suatu sistem yang memungkinkan pengunjung browsing dan meminjam koleksi. Layanan inilah yang secara prinsip berbeda dengan toko buku. Toko buku hanya menjual sementara perpustakaan meminjamkan koleksi untuk kemudian dalam waktu tertentu harus dikembalikan.

Untuk memungkinkan pemakai (pemustaka) bisa melakukan browsing dan meminjam koleksi atau buku, maka perpustakaan harus memberi tanda tertentu berupa ciri-ciri fisik dan isi. Ciri fisik adalah ciri yang berasal dari data fisik buku seperti siapa penulis buku tersebut, apa penerbitnya, dimana diterbitkan, kapan diterbitkan, berapa tebal halaman, apa nomor ISBNnya.

Ciri isi adalah subyek atau kajian suatu buku. Subyek ini diwakili dengan suatu notasi yang berasal dari suatu bagan klasifikasi tertentu, misalnya Dewey Decimal Classification, Universal Classification dan sebagainya. Disamping notasi sebagai wakil isi buku, ada wakil buku yang diekspresikan dengan kata-kata verbal. Kata-kata tersebut berasal dari suatu daftar subyek yang di Indonesia dikenal dengan Daftar Tajuk Subyek Indonesia.

Ciri-ciri yang diungkapkan di atas merupakan isi dari suatu katalog perpustakaan. Jadi, katalog merupakan wakil buku/dokumen. Berdasar katalog tersebut, pemakai bisa melihat judul-judul buku apa saja yang ada di perpustakaan, pengarang-pengarang mana yang karyanya tersimpan dalam perpustakaan, karya apa saja yang tersimpan dalam perpustakaan.

Katalog diciptakan untuk memudahkan temu kembali bagi pemakai perpustakan, di samping jajaran buku di rak yang justru sering menjadi sarana yang paling banyak dipakai oleh pemakai perpustakaan dalam temu kembali informasi.

Pembuatan ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas merupakan cara agar setiap buku memiliki ciri yang khas yang berbeda dengan lainnya biarpun dalam judul yang sama.

Ternyata kegiatan-kegiatan yang dilakukan di toko buku dan perpustakaan identik. Toko buku membutuhkan tenaga yang terhitung banyak karena harus melayani pengunjung, dari cleaning service, waiter/waitress, kasir sampai manajer. Bahkan dalam pemandangan sehari-hari waiter/waitress, dalam jumlah banyak, harus selalu sigap melayani pertanyaan dan pembelian disamping harus selalu menertibkan jajaran koleksi dalam raknya.

Perpustakaan juga melakukan hal yang sama dengan toko buku. Perpustakaan harus memiliki staf cleaning service untuk membersihkan ruangan, staf khusus yang mengembalikan dan menjajarkannya dalam rak agar terjaga kerapiannya. Dan tentu pekerjaan di perpustakaan lebih banyak dari toko buku karena pembeli di toko buku tidak perlu mengembalikan buku tersebut sedang peminjam perpustakaan harus memproses peminjaman dan pengembalian buku-buku yang sudah disirkulasikan.

Toko buku dan perpustakaan memerlukan sentuhan profesional untuk menjadikan keduanya digandrungi oleh konsumennya dengan menyediakan sumber informasi bermanfaat terkini. Barangkali, ada sebagian kita yang berpikir bahwa toko buku lebih hebat karena mereka hanya bisa melihat keuntungan finansial secara kasat mata, sementara keuntungan perpustakaan tidak bisa dilihat secara kasad mata. Seseorang yang terinspirasi karena membaca buku di perpustakaan, atau seseorang menjadi hebat karena fasilitas perpustakaan tidak pernah diperhitungkan.

Cara pandang ini, tentu, akan berakibat bahwa perpustakaan hanya urusan pengelolanya, bukan urusan orang banyak biarpun kemanfaatannya bisa dirasakan orang banyak.

Senin, 31 Mei 2010

Semua tersedia di internet?

Bahrul Ulumi

1.Pengantar

Dalam sebuah percakapan di kios depan rumah, ada teman, sebut saja Suroso memberitahu kepada teman-temannya kalau Manchester United unggul tipis atas Mancester City 1-0. Dia merasa puas karena sudah tahu lebih dulu daripada teman-temannya. Karena curious, akhirnya saya bertanya padanya.

“Darimana Kamu tahu MU (sebutan Manchester United) unggul tipis atas City (Manchester City) ?”
“Dari internet”. Jawab Surosa.

Saya tidak bertanya jauh padanya apa yang dimaksud dengan internet, tapi dia nampaknya sangat bangga bisa menyebut istilah tersebut. Dalam pandangannya, dia menyimpulkan bahwa internet itu alat yang bisa untuk mengetahui apa saja, termasuk bagaimana cara mengetahui skor pertandingan sepak bola sampai untuk mengetahui bumbu sayuran tertentu.

Saya tidak menyalahkan pendapat kawan saya soal internet sebab teknologi ini mampu menyajikan infromasi yang dia butuhkan yaitu skor pertandingan sepakbola dan racikan bumbu untuk masakan tertentu. Saya juga tidak menanyakan padanya apa itu internet. Yang menjadi persoalan apakah benar ekspektasi kawan saya bahwa internet adalah segalanya? dan semua tersedia dalam line internet?

2.Internet bukan segalanya
Internet merupakan kependekan dari interconnected-networking. Menurut Wikipedia (2010) internet adalah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking.

Saat ini, akses internetpun semakin mudah. Awalnya akses hanya bisa dengan Personal Computer, namun sekarang jauh lebih mudah. Internet bisa diakses melalui Handphone (HP) menggunakan fasilitas GPRS (General Packet Radio Service). GPRS merupakan salah satu standar komunikasi wireless (tanpa kabel) yang memiliki kecepatan koneksi 115 kbps dan mendukung aplikasi yang lebih luas (grafis dan multimedia). Teknologi GPRS dapat diakses yang mendukung fasilitas tersebut. Pen-setting-an GPRS pada ponsel, tergantung dari operator (Telkomsel, Indosat, XL, 3) yang digunakan. Biaya akses Internet dihitung melalui besarnya kapasitas (per-kilobite) yang didownload.

Melihat peran dan kemudahan dalam memanfaatkan internet pada saat ini, orang akan semakin beranggapan bahwa internet adalah segalanya sebab banyak informasi mengenai banyak hal tersedi adi dalamnya. Tapi bila dikaji lebih jauh, ternyata tidak demikian. Banyak hal juga yang tidak bisa terliput oleh internet. Doran (1995) dan Reuser (2008) mencatat bahwa internet punya keterbatasan dalam menyediakan informasi. Maka mereka menggunakan istilah interNOT untuk membuktikan bahwa teknologi internet bukan segalanya. Selanjutmya Reuser mngemukakan bahwa internet bukanlah internasional, internet tidak mudah, internet tidak hanya google, internet tidak obyektif dan internet bukan tanpa jejak. InterNOT tersebut adalah:

a.Internet tidak identik dengan internasional.
Sebagian orang meyakini bahwa semua informasi berkaitan dengan dunia internasional ada di internet. Internet banyak menyediakan informasi mengenai dunia internasional, tapi tidak berarti segalanya ada di internet. Penggunaan internet di tingkat internasional juga tidak merata sehingga mungkin saja dalam suatu negara tertentu mengenal internet dengan baik, namun di daerah lain tidak mengenal sama sekali. Berikut ini statistik penetrasi internet di belahan dunia : Africa 8.7 %; Asia 20.1%; Eropa 53%; Timur Tengah 28.8%; Amerika Utara 76.2%; Amerika Latin/Karibia 31.9%; Oseania/Australia 60.8%. Total rata-rata sekitar 26.6%. selanjutnya lihat di: http://www.internetworldstats.com/stats.htm

Data di atas menunjukkan bahwa penetrasi internet di dunia internasional tidak sangat besar. Menurut data yang dihimpun oleh World Internet Users and Population Stats pada akhir tahun 2009 penetrasi internet di dunia hanya mencapai 26,6% saja. Data tersebut membuktikan bahwa penyebaran internet tidak merata dan tidak mengalami perkembanganyang sangat besar.

b.Internet tidak mudah
Seseorang boleh saja mengemukakan bahwa internet itu mudah. Alasannya sederhana bahwa hanya dengan meng-click saja akan terbuka semua jendela informasi dunia. Agaknya pendapat ini berlebihan sebab pemanfaatan internet tidak semudah itu. Ketika seseorang searching di internet dia harus sudah memiliki “masalah” untuk ditanyakan pada suatu search engine. Search engine akan membantu pemakainya mencarikan jawaban atas pertanyaan berdasarkan query yang telah dia tulis dalam query box. Lalu hasilnya? Bisa ditebak, bahwa pencarian yang asal-asalan hanya akan mendapatkan perolehan (recall) yang banyak sekali sementara ketelitiannya sangat kecil (precise). Hal ini terjadi karena pemakai tidak tahu strategi pencarian informasi di internet.

Untuk memanfaatkan internet memerlukan strategi agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Cara yang paling mudah untuk mengetahui strategi tersebut adalah dengan mengikuti training strategi mencari informasi di internet.

c.Internet itu tidak hanya google
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering menggunakan istilah “digoogling” saja, atau “coba tanya sama Om Goolge”. Dua ungkapan di atas menunjukkan bahwa mesin pencari google sangat terkenal di kalangan para netter (sebutan pengguna internet). Setiap kali membuka internet, rata-rata pemakai selalu mengandalkan google. Google memang besar tapi tidak berarti bahwa internet itu ya google. Masih banyak mesin pencari lainnya yang bisa digunakan dalam mencari informasi di internet seperti www.jux2.com, Yahoo!, MSN, AlltheWeb, AltaVista, dan sebagainya, yang kesemuanya punya ciri khas tersendiri dibandingkan dengan mesin pencari google.

Sebenarnya ada banyak mesin pencari di internet yang mempunyai kekhasan tersendiri. Mereka punya kelemahan dan tentu juga keunngulan dibanding mesin pencari lainnya.

d.Internet tidak obyektif
Suatu negara memiliki kebijakan tersendiri terkait dengan internet. Ada yang membuka internet seluas-luasnya untuk rakyatnya, ada juga yang memproteksi informasi tertentu untuk rakyatnya dengan cara memblokir suatu situs tertentu. Biasanya suatu negara akan memblokir suatu situs tertentu karena pertimbangan politik ataupun moral.

Apapun alasannya, baik dari sisi politik maupun moral, negara melarang suatu situs tertentu karenn akawatir kepentingannya terganggu. Dalam perspektif internasional, tentu alasan ini tidak obyektif sebab pemblokiran alamat di internet sangat dikaitkan dengan kepentingan negara masing-masing, tidak dikaitkan dengan kepentingan penggunanya.

e.Internet tidak besar
Sudah menjadi anggapan umum bahwa informasi yang disediakan dalam inetnet sangat besar. Anggapan tersebut benar bila yang dimaksud besar adalah internet selalu menyediakan informasi apa saja yang diminta oleh penggunanya dengan mengesampingkan keusangan ataupun kualitas informasinya. Pengguna bisa saja mencari informasi apa saja dalam internet, lalu perhatikan apakah informasi tersebut adalah informasi terkini? Ternyata internet tidak selalu menghadirkan yang terbaru. Internet menghadirkan informasi yang sudah usang, bahkan selalu menghadirkan informasi yang tidak diminta seklaipun. Hal ini menandakan internet menghadirkan informasi sampah (data smog).

f.Internet bukan tanpa jejak.
Perhatian pengguna internet hanya tertuju apakah informasi yang dibutuhkan tersedia atau tidak. Mereka tidak berpikir apakah sejarah browsing yang pernah dilakukan meniggalkan jejak atau tidak. Apalagi sebagian besar pemakai internet di Indonesia, mereka tidak peduli terhadap sejarah browsingnya. Sejarah browsing ini nampaknya sangat sepele, namun sebenarnya sangat bermakna bagi pengelola suatu situs atau perusahaan. Adalah sangat mungkin pengelola situs menjual informasi berupa sejarah browsing pada suatu perusahaan. Berdasarkan informasi tersebut suatu perusahaan mengeluarkan kebijakan mengenai produk tertentu yang akan ditawarkan pada masyarakat.


3.Penutup
Ketika membincangkan internet, sebenarnya, sebagian kita hanya membincangkan visible web. Visible web atau surfable web merupakan world wide web yang diindeks oleh mesin pencari. Untuk mencari informasi melalui visible web ini mudah sebab tanpa syarat apapun. Pengguna tinggal menggunakan fasilitas klik saja. Kemudahan dalam meanfaatkan visible web berbanding lurus dengan perolehan informasinya, artinya kemudahan ini seringkali hanya menghasilkan informasi yang kualitasnya perlu dipertanyakan.

Reuser mengemukakan data dan tentang internet, seperti dikemukan di atas, bahwa visible web hanya memberikan sebagian informasi yang ada dalam internet. Untuk mendapatkan informasi yang terkini dan berkualitas, tentu pengguna harus melakukan browsing di invisible web. Informasi yang ada di dalam invisible web jauh lebih banyak daripada yang ada dalam visible web. Menurut studi yang diadakan di University of California, Berkeley tahun 2000 bahwa invisible web menyediakan kira kira 91.000 terabyte data sementara visible web hanya 167 terabyte. (en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web).

Invisible web atau deep web merupakan world wide web yang tidak bisa dijangkau oleh mesin pencari standard pada umumnya. Invisible web menysaratkan bagi pengguna untuk membayar untuk mendapatkan informasi yang ada di dalamnya.

Barangkali, kita sering melupakan invisible web sebab kita sudah merasa terpuaskan dengan menggunakan Yahoo Messenger dan Facebook saja titik.



Bacaan

Internet (2010) tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Internet akses 1 Juni 2010.

Deep web (2010) http://en.wikipedia.org/wiki/Invisible_web akses 1 Juni 2010.

Surface web (2010) tersedia di http://en.wikipedia.org/wiki/Visible_web akses 1 Juni 2010.

Reuser, A.. (2008, January). When InterNET Is InterNOT. Online, 32(1), 32-36. Retrieved April 29, 2010, from ABI/INFORM Global. (Document ID: 1417200761).

Doran, Kirk. (1995, June). The Internot: Helping library patrons understand what the Internet is not (yet). Computers in Libraries, 15(6), 22. Retrieved April 29, 2010, from ProQuest Computing. (Document ID: 6782733).